Sukalama Diberlakukan Tak Wajar, Budi Adnyana: Oknum AKBP Terkesan Diskriminatif, Minta Bertemu Empat Mata

  18 Juni 2023 HUKUM & KRIMINAL Denpasar

Foto kolase: Direktur Utama PT Tebing Mas Estate, Made Sukalama dengan Nyoman Budi Adnyana yang juga Wakil Sekjen Peradi Pusat dan juga Ketua DPC Peradi Denpasar.

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Direktur Utama PT Tebing Mas Estate, Made Sukalama kembali membeberkan ketidakadilan atas apa yang dialami dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga ditetapkan tersangka Reklamasi Pantai Melasti, Badung. Ia bahkan mendengar ada sebutan angka Rp 80 miliar saat berada di ruangan penyidik, juga ajakan bertemu empat mata. 

Hal ini membuat Kuasa Hukum I Nyoman Budi Adnyana, S.H., M.H., CLA., CPL angkat bicara, di Denpasar Minggu (18/6). Budi Adnyana yang juga Wakil Sekjen Peradi Pusat dan juga Ketua DPC Peradi Denpasar menyatakan, Made Sukalama selaku Direktur Utama PT Tebing Mas Estate ternyata diperlakukan tak wajar. 

Salah satunya dilakukan oleh AKBP I Made Witaya selaku Kasubdit II Ditreskrimum Polda Bali. Kejanggalan ini ketika Made Sukalama dipanggil dan memberikan keterangan, sebelum akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

Menurutnya, AKBP I Made Witaya meminta waktu untuk ketemu secara empat mata, tanpa melibatkan tim penasihat hukum yang ada saat itu, di ruangan penyidik Unit 4 Subdit II Ditreskrimum Polda Bali. "Ini sangat aneh. Terkesan mendiskriminasi tim penasihat hukum. Seorang perwira AKBP Witaya tidak mengizinkan tim penasihat hukum untuk ikut," sentil Budi Adnyana.

Perwira tersebut tidak mengikutsertakan tim kuasa hukum dalam pertemuannya dengan Sukalama. Usai berbicara empat mata, Made Sukalama menyampaikan kepada tim penasihat hukum. Bahwa AKBP Witaya membicarakan dan menyampaikan kepada Made Sukalama tentang tanah milik PT TME. "Dia (Witaya) ngomong mengenai Rp 80 miliar. Dia juga mempertanyakan apakah mau dijual lahan seharga 80 miliar," ungkapnya.

Di sisi lain, ketika ada pemeriksaan terhadap salah seorang pemegang saham, seorang penyidik menyampaikan kepada tim kuasa hukum (Budi Adnyana) bahwa AKBP Witaya ingin bertemu empat mata dengan salah seorang pemegang saham. Usai pemeriksaan sebagai saksi saat itu, pemegang saham menolak untuk bertemu empat mata dengan AKBP Made Witaya.

Pemegang saham meminta kepada sang pengacara (Budi Adnyana) agar mewakilinya dalam pertemuan dengan AKBP Witaya. Anehnya, AKBP Witaya justru menolak untuk bertemu. Bahkan kepada Witaya, dalam pesan lisan melalui penyidik, Budi Adnyana menyampaikan agar pemegang saham mau bertemu bertemu dengan AKBP Witaya apabila didampingi oleh Budi Adnyana, namun anehnya kembali permintaan tersebut ditolak oleh AKBP Witaya. 

“Hal ini tentu sangat aneh. Kami pengacara. Juga merupakan aparat penegak hukum sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat," tegasnya seraya menyebut selaku Wakil Sekjen DPN Peradi Pusat dan juga Ketua DPC Peradi Denpasar, sangat paham dan mengerti akan hak mendampingi setiap klien dalam keseluruhan proses hukum baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai bersidang di pengadilan.

"Apa yang dialami oleh klien kami, ini tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Apa maksud dari AKBP Witaya dengan berperilaku seperti itu,” sentilnya dengan nada tanya.

Sebagaimana surat dari Made Sukalama, yang ditujukan pada instansi penegak hukum baik daerah maupun pusat. Meminta perlindungan hukum kepada  Menko Polhukam Mahfud MD, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Komisi III DPR RI.

Perlindungan hukum juga disampaikan kepada Kadiv Propam Mabes Polri hingga Kapolda Bali, terkait dugaan diskriminasi yang terjadi dalam proses penanganan Perkara Laporan Polisi Nomor:LP/B/338/VI/2022/SPKT/POLDA BALI. "Tindakan Kasubdit II ini menimbulkan dugaan adanya tindakan diskriminatif, bukan saja terhadap klien kami, termasuk juga pada kami pengacara yang dilindungi dalam UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat," sentilnya kembali.

Baginya, hal ini harus dijawab oleh AKBP Witaya, apa maksud dari AKBP Witaya yang hanya ingin bertemu empat mata dengan Made Sukalama, dan pemegang saham yang notabene sebagai klien, tanpa didampingi tim penasihat hukum?. Dalam proses penyelidikan, penyidikan sampai dengan penetapan tersangka, pihaknya telah melampirkan berbagai bukti-bukti yang telah mendapatkan tanda terima sah dari penyidik untuk disita.

Bukti-bukti tersebut memuat dan berisi tentang fakta-fakta. Bahwa tindakan pengurugan itu diduga dilakukan oleh Gusti Made Kadiana, bukan oleh Made Sukalama. Karena pengerukan ini terjadi pada tahun 2018, yang mana saat itu Gusti Made Kadiana berstatus sebagai Direktur Utama PT TME yang menjabat dari tahun 2013 sampai dengan 2020. 

Dalam pengalamannya sebagai lawyer, sangatlah butuh keberanian bagi masyarakat biasa seperti Made Sukalama untuk membuat surat, dan melakukan perlawanan serta mohon perlindungan hukum sampai ke Menkopolhukam, Kapolri, Komisi III DPR RI, Kadiv Propam Mabes Polri, Kapolda Bali dan Kabid Propam Polda Bali.

"Klien saya merasa diperlakukan secara tidak adil. Hal ini menurut saya menjadi hal yang harus kita renungkan bersama kenapa Made Sukalama membuat surat seperti itu," tegas Ketua DPC PERADI Denpasar Budi Adnyana yang beranggotakan seribu lebih pengacara ini. 

Terkait tudingan miring ini, ketika media konfirmasi via telepon, AKBP I Made Witaya selaku Kasubdit II Ditreskrimum Polda Bali enggan berbicara banyak. AKBP Witaya mengaku sedang bertugas di Jakarta tidak bisa berkomentar. 

"Senin atau Selasa, saya akan laporkan ke Pak Dir, pun Kabid Humas biar satu pintu," jawabnya singkat. 

Sementara, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Bali Kombespol Stefanus Satake Bayu Setianto membantah adanya intimidasi. "Dulu mereka sendiri yang mau jual," jawabnya singkat.(BB).