Rapid Test Mandiri Bagi Pelaku Perjalanan Dimasa Covid-19 Berkah Baru Buat Pebisnis

  02 Juli 2020 OPINI Jembrana

ilustrasi nett

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Nasional. Upaya pemerintah untuk menghentikan penyebaran dan menularan covid-19, salah satunya dengan mewajibkan pelaku perjalanan antar provinsi membawa hasil rapid test. Sebagai contoh yang diberlakukan di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi dan Gilimanuk, Bali.

BACA JUGA : Membanggakan, Polres Jembrana Sabet 8 Piala Kapolda Lomba HUT Bhayangkara ke-74

Khusus didua tempat ini rapid test dilaksanakan oleh pihak ASDP dengan menggandeng pihak Kimia Farma. Tentunya dengan membayar hingga antara Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu untuk sekali rapid test. Hal ini tentu saja merupakan sumber pendapatan baru bagi pihak ASDP dan tambahan penghasilan buat petugas rapid.

Banyak pihak termasuk Ombudsman menilai, ini merupakan bisnis baru yang menggiurkan ditengah mewabahnya pandemi covid -19. Bayangkan untuk sekali rapid test, peserta harus mengelurkan uang ratusan ribu rupiah. Bisa dihitung berapa pemasukan dari rapid test tiap harinya. Meskipun diakui kebijakan rapid test tersebut adalah upaya menghentikan penularan covid-19.

Dikatakan bisnis baru yang menggiurkan karena pemerintah sebenarnya telah mengalokasikan dana untuk menanggulangan covid-19 sebanyak Rp 677 triliun dengan rincian, Rp 87 triliun untuk anggaran kesehatan dan Rp 589 triliun untuk jaring pengaman sosial. Lalu kenapa rapid test masih harus membayar?

Dari investigasi yang dilakukan Ombudsman RI, diketahui untuk alat rapid test biayanya hanya Rp 70 ribu. Sedangkan biaya untuk sekali rapid test mencapai hingga Rp 300 ribu, bahkan ada yang lebih dari itu. Lalu kemana anggaran Rp 87 triliun untuk kesehatan itu, apakah tidak termasuk untuk anggaran rapid test?.

BACA JUGA : Polisi Tak Temukan Bukti Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Terhadap Anak SD di Jembrana

Pemerintah dalam hal ini harus terbuka menyampaikan ke publik terkait anggaran untuk kesehatan tersebut dan kebijakan melakukan rapid test mandiri (berbayar) tersebut sehingga tidak menimbulkan pertanyaan dari banyak pihak yang mengganggap ini menjadi ladang bisnis baru bagi kelompok tertentu.

Ombudsman menilai, seharusnya rapid test bagi pelaku perjalanan hanya dikenai biaya penganti pengadaan alat, yakni hanya Rp 70 ribu atau maksimal Rp 100 ribu sudah terhitung jasa. Karena biaya untuk alat rapid test berdasarkan investigasi Ombudsman hanya Rp 70 ribu.

Dengan besarnya anggaran kesehatan yakni Rp 87 triliun untuk penanggulangan covid-19, sudah sepatutnya kebijakan rapid test mandiri (berbayar) bagi pelaku perjalanan atau warga yang keluar daerah dihentikan, menggantinya dengan rapid test secara gratis atau pelaksanaan rapid test dengan menganti biaya alat.

Pernyataan Gubernur Bali I Wayan Coster yang menggebu-gebu yang mengatakan uang daerah akan cepat habis hanya untuk biaya rapid test orang-orang yang berdagang dan sekedar melintas di Bali, cukup sebagai pintu masuk pengungkapan teka teki terkait dugaan bisnis dimana covid 19 ini. Karena tentunya pemerintah mengalokasikan anggaran sudah dilakukan kajian dan perhitungan yang sangat matang sehingga menemukan angka Rp 677 triliun untuk penanggulangan covid-19, Rp 87 triliun diantaranya untuk kesehatan dan Rp 589 triliun untuk jaring pengaman sosial.(BB)