Parah, Oknum Tak Miliki Alas Hak Gugat Krama Banjar Adat Sental Kangin di Pengadilan Negeri Semarapura

  28 Oktober 2023 HUKUM & KRIMINAL Klungkung

Diduga Maladministrasi, Diloloskan Pengadilan Negeri Semarapura

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Klungkung. Pengadilan Negeri Semarapura sepertinya harus siap-siap menerima banyak gugatan dalam sehari, bila gugatan janggal 'aneh bin ajaib' di loloskan dan di anggap berhak untuk menggugat oleh pengadilan. Adapun objek sengketa dalam kasus ini berupa bidang tanah seluas 70 meter yang berlokasi di pesisir pantai Banjar Adat Banjar Sental Kangin. 

Peristiwa keterlaluan dan tergolong parah ini terjadi setelah Pengadilan Negeri Semarapura meloloskan perkara perdata nomor: 82/Pdt.G/2023/PN Srp. dengan tergugat Kelian Pembangunan Banjar Adat Banjar Sental Kangin I Nyoman Supaya (tergugat 1), Kelian Banjar Adat Banjar Sental Kangin Kadek Parnata (tergugat 2), dan Penyarikan Banjar Adat Sental Kangin Gede Arianta (tergugat 3), serta pemangku Pura Segare banjar adat Sental Kangin juga ikut sebagai tergugat. 

Parahnya, ketiga tergugat digugat perdata oleh oknum masyarakat setempat, yakni I Made Sudiarta (penggugat 1), I Wayan Widhi Adnyana, SE (penggugat 2), dan I Putu Suartika (penggugat 3) yang oleh para tergugat disebut tidak memiliki alas hak atas objek gugatan tersebut.

Meski penggugat tidak memiliki alas hak alias tidak mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM), tidak mengantongi surat sewa atau surat kontrak, serta sama sekali tidak memiliki sepuradik atau bukti penguasaan pisik jika si penggugat telah menggarap maupun menguasai dan memfungsikan tanah tersebut secara tidak terputus lebih dari 20 tahun, namun faktanya Pengadilan Negeri Semarapura meloloskan kasus ini hingga ketiga tergugat harus mengikuti persidangan perkara perdata perdana pada Selasa, 21 Oktober 2023 menyusul tidak adanya titik temu dalam tiga kali mediasi yang digelar. 

Dokumen yang diterima media tersurat I Gusti Agung Panji, SH selaku juru sita pada Pengadilan Negeri Semarapura atas perintah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarapura dalam perkara perdata nomor: 82/Pdt.G/2023/PN Srp telah memanggil tergugat 1 atas I Nyoman Supaya untuk mengikuti persidangan pada Selasa, 12 September 2023 di Ruang Sidang Pengadilan Negeri Semarapura.

Ketiga tergugat beserta seluruh krama banjar adat Sental Kangin  yang berjumlah lebih dari seratus kepala rumah tangga diketahui berjuang bersama-sama secara kompak mempertahankan sekaligus menegakkan hasil paruman Banjar Adat Banjar Sental Kangin. 

Serta menjaga dan mempertahankan wewidangan banjar adat Sental Kangin yang sudah di kuasai dan di fungsikan serta dirawat oleh krama banjar adat Sental Kangin secara tidak terputus dari negara republik Indonesia ini ada hingga saat ini secara tidak terputus di rawat dan di fungsikan oleh krama banjar adat Sental Kangin  seijin banjar adat Sental Kangin sebagai  lahan wewidangan banjar adat Sental Kangin secara tidak terputus hingga saat ini.

Kepada media, para tergugat menjelaskan berdasarkan hasil paruman adat setelah kawasan pesisir pantai Banjar Adat Sental Kangin bersih dan indah serta dilirik banyak wisatawan, banjar adat setempat ingin memfungsikan kawasan itu agar bisa menghasilkan untuk menunjang biaya-biaya upacara agama di Pura Segara Banjar Adat Banjar Sental Kangin.  Serta menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat banjar adat Sental Kangin.

Dalam paruman tersebut, kawasan yang sebelumnya dipenuhi berisi gubuk-gubuk kumuh yang sudah roboh berserakan bekas budidaya rumput laut di mana setiap warga yang bertani kala itu harus seizin Banjar Adat Sental Kangin dan kini berdasarkan hasil paruman krama banjar adat Sental Kangin hendak di fungsikan dibangun beach club demi peningkatan kesejahteraan bersama yang seadil-adilnya buat seluruh krama banjar adat Sental Kangin 

Berdasarkan paruman, setelah dihitung objek yang bisa bangun sepanjang 170 meter jika dibagi perorangan dengan jumlah KK di Banjar Adat Sental Kangin berjumlah 100 KK, maka 1 KK mendapat bagian 1,7 meter. Atas kondisi ini membuat bangunan beach club yang ideal tidak bisa diwujudkan, sehingga banjar adat membentuk kelompok. 

Dalam kondisi ini, para penggugat yang berjumlah tiga orang, yakni I Made Sudiarta (penggugat 1), I Wayan Widhi Adnyana, SE (penggugat 2), dan I Putu Suartika (penggugat 3) mengambil bagian 70 meter. Konflik pun mulai muncul lantaran warga adat lain menilai tindakan tersebut tidak adil. Oleh krama adat lainnya, mereka diminta untuk membagi dengan pembagian ketiga orang ini diberikan 40 meter dan warga lainnya mendapat 30 meter. 

“Tetapi ketiga orang ini tidak setuju dengan berkata bahwa tanah itu adalah tanah negara dan siapa pun yang menguasai fisiknya dialah pemiliknya,” ungkap salah seorang tergugat yang membuat semua masyarakat merasa si penggugat sudah di belenggu oleh napsu nya ingin menguasai hingga melupakan keadilan buat warga krama lainnya untuk ikut di pikirkan supaya bisa juga mendapatkan keadilan untuk ikut memfungsikan kawasan wewidangan banjarnya.

Terkait sikap kukuh para penggugat ini, kuasa hukum para tergugat, Nyoman Samuel Kurniawan menegaskan mengenai sporadik atas tanah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dalam Pasal 24 ayat 2 dinyatakan bahwa dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat- alat pembuktian, pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih dari 20 tahun secara tidak terputus hingga saat ini oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya.

“Ada dua syarat fundamental yang harus dipenuhi. Pertama, penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya. Kedua, penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan maupun pihak lainnya. Hal ini jelas-jelas menggugurkan klaim dari ketiga penggugat,” tegas Nyoman Samuel Kurniawan, Sabtu, 28 Oktober 2023.

Menurutnya, pada dasarnya apabila ingin menguasai suatu fisik bidang tanah negara harus mendapat pembenaran dari lingkungan tanah tersebut berada, yakni melalui kepala dusun, kepala desa, dan camat karena aparat desa dan aparat pemerintahan tersebutlah yang mengetahui mengenai tanah tersebut. 

Sementara ketiga oknum ini membangun di sana baru sejak pembagian, dan itupun tanpa persetujuan banjar adat sehingga diberikan sanksi kesepekang sesuai dengan awig-awig yang ada di Banjar Adat Sental Kangin yang sudah berlaku dari sebelum negara ini ada hingga saat ini.

"Maka patut dipertanyakan apa alasan mendasar Pengadilan Negeri Semarapura meloloskan gugatan perdata nomor: 82/Pdt.G/2023/PN Srp ini sementara para penggugat tidak mengantongi alas hak,” sentilnya. 

Kuasa hukum para tergugat menekankan perlu dipertanyakan sejak kapan ketiga oknum penggugat ini menggarap tanah tersebut. Lantaran jika mereka selaku warga banjar adat mengklaim memang diizinkan, perlu dicatat bahwa tempat yang digarap dulu letaknya jauh di sebelah di depan pom bensin dulu bekas gubuk nya Putu Suartika dan di timurnya lagi di dekat Pura Segare Mumbul bekas gubuk nya Nade Sudiarta itu letak nya jauh di timur dengan panjang masing masing gubuk.  

"Bekas Gubuk Putu Suartika sepanjang 10 meter dan panjang gubuk Made Sudi sepanjang 7 meter  dan saya tegaskan sekali lagi letak nya itu ada jauh di timur.  Bukan di tempat yang dia bangun saat ini yang menimbulkan permasalah saat ini tersebut itu pun sejak. Sejak rumput laut tak bisa hidup sudah di biarkan roboh semua gubuk-gubuk itu hingga menyebabkan kumuh karena bertahun- tahun lama nya tak pernah di fungsikan lagi," terangnya 

Krama Banjar Adat Sental Kangin memutuskan untuk melebur kawasan dimaksud dan sebelum krama melebur kawasan itu Krama banjar adat Sental Kangin sudah menggelar paruman sehingga terciptalah kesepakatan berita acara paruman yang di tandatangani oleh semua warga banjar adat Sental Kangin, termasuk ketiga penggugat ikut menandatanganinya untuk kawasan itu di lebur dan di bersihkan dan di fungsikan oleh krama untuk di jadikan kawasan akomodasi pariwisata karena masyarakat tidak lagi menggantungkan mata pencaharian dari hasil bertani rumput laut dan beralih ke sektor pariwisata.

Selanjutnya kawasan itu dilebur oleh Banjar Adat Sental Kangin dan gubuk-gubuk itu dibersihkan sesuai dengan kesepakatan berita acara paruman banjar adat yang ditandatangani oleh seluruh warga termasuk ketiga orang penggugat ini. Dengan bukti tanda tangan ini dapat disimpulkan bahwa ketiga orang ini sepakat agar gubuk-gubuknya dilebur untuk bisa ditata sebagai akomodasi pariwisata yang lebih menjanjikan. Sekarang mereka menggugat alas hak apa yang mereka gunakan sedangkan setahu krama untuk menggugat tentunya harus ada dasar yang di jadikan dasar kalau dia berhak terhadap obyek itu.

Menurutnya, merekalah yang menyerobot lahan dan menyerobot aturan di Banjar Adat Sental Kangin, menyerobot penguasaan fisik tersebut. Tapi Kenapa mereka yang menggugat? Kalau bicara penguasaan fisik, mereka mendapat itu dengan cara menyerobot dan terjadinya baru beberapa bulan sehingga mereka terkena sanksi kasepekang. Ketiga oknum ini mencoba menguasai fisik tanah dengan dasar keserakahan dan menggugat untuk membuat posisinya biar seolah-olah menjadi korban. 

Anehnya pengadilan mau di jadikan alat untuk menyamarkan kesalahannya yang sudah menyerobot tanah, menyerobot awig, menyerobot sepadan biar seolah-olah terlihat sebagai korban tapi tetap kesalahan nya yang mutlak tak bisa dia sembunyikan di balik gugatannya karena seluruh masyarakat yang ada di banjar Sental dan masyarakat yang tak terlalu jauh dari Sental tahu semua kebenaran nya klo emang si penggugat sudah hilang akal sehat dan hilang hati nurani hingga melenceng jauh dari kebenaran seorang manusia pada umumnya 

"Jika sampai dibiarkan, maka kejadian ini bisa saja terjadi di berbagai tempat karena ada banyak tanah kosong di sempadan pantai dan ada banyak tanah kosong di seluruh Bali. Nanti banyak orang yang akan meniru untuk mendirikan bangunan di tanah-tanah kosong itu walaupun itu tanah siapa. Klo  di setop oleh yang punya nanti yang nyetop itu kita gugat duluan di pengadilan untuk menyamarkan kesalahan. Hal itu yang akan menimbulkan terjadinya konflik  di mana mana ke depannya," sebut Nyoman Samuel Kurniawan dan beberapa tokoh masyarakat seperti Wayan Muka Udiana 

Kuasa hukum para tergugat, ketiga penggugat ini mencoba menguasai tanah tersebut dengan cara merampas dari Banjar Adat Sental Kangin. Kenapa bisa demikian? Karena mereka memaksakan mendirikan bangunan tanpa seizin banjar adat. 

“Berbicara mengenai izin, kalau berbicara hak untuk membangun di atas tanah hak milik sendiri pun wajib memiliki IMB (Izin Mendirikan Bangunan) apalagi membangun di tanah yang bukan hak milik. Pada umumnya orang yang membangun tanpa izin akan berlindung di hukum adat (Hukum Desa Kala Patra) untuk menunjang keberlangsungan sebagai masyarakat adat. Hal tersebut dimaklumi oleh pemerintah. Para penggugat ini mau berlindung di mana? Hukum negara sudah dilanggar, yaitu membangun di atas tanah yang bukan tanah miliknya, membangun tanpa izin IMB dan tidak dijamin dan tidak dilindungi oleh banjar adat atas persetujuan wewidangan. Dalam hal ini mereka tidak mendapat persetujuan dari wewidangan sehingga mereka mendapat sanksi dari banjar adat,” urai Nyoman Samuel Kurniawan.

Ditambahkannya bangunan yang didirikan oleh ketiga oknum penggugat ini diduga melanggar sempadan pantai serta menyerobot pasir pantai. Hal ini melanggar Perda Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang Tata Ruang Umum Wilayah Provinsi Bali, khususnya Pasal 139 yang menyebutkan bahwa pemanfaatan sempadan pantai jarak sekurang-kurangnya 100 meter dari  titik tertinggi pasang air ke daratan. 

“Dalih bahwa ketiga oknum tersebut memiliki izin usaha berbasis risiko bukan berarti mereka bisa melanggar kesepakatan berita acara paruman Banjar Adat Sental Kangin yang telah ditandatangani oleh seluruh warga termasuk oleh ketiga oknum ini,” tegas kuasa hukum para tergugat.

Nyoman Samuel Kurniawan menekankan izin usaha yang diklaim oleh ketiga oknum penggugat ini tidak dapat dijadikan dasar mendirikan bangunan usaha di tanah tersebut mengingat IMB merupakan produk hukum yang berisi persetujuan atau perizinan yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah Setempat (Pemerintah kabupaten/kota, red) dan wajib dimiliki atau diurus pemilik bangunan yang ingin membangun, merobohkan, menambah atau mengurangi luas, ataupun merenovasi suatu bangunan.

“Izin usaha berbasis risiko adalah  perizinan berusaha yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan kegiatan usahanya yang dinilai berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha. Dari kedua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa IMB dan Izin Usaha Berbasis Risiko merupakan dua hal yang berbeda secara hukum dan tidak dapat saling mengganti fungsi masing-masing sebaliknya harus saling melengkapi,” sebut Nyoman Samuel Kurniawan mengakhiri.(BB).