Picu Harga Tanah Makin Tak Terkontrol

REI Bali Keluhkan Kebijakan Bupati Badung Naikkan NJOP Ribuan Persen

  02 Mei 2017 PERISTIWA Badung

Ilustrasi

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Kontroversi kenaikan NJOP  (Nilai Jual Objek Pajak) Kabupaten Badung yang dinilai sarat tanpa kajian oleh sejumlah Anggota DPRD Badung itu, dikhawatirkan malah memicu harga tanah di Badung yang makin tak terkontrol. 
 
Sehingga hanya pemain properti besar diluar Bali yang bisa hidup karena memiliki modal yang besar, sementara properti lokal di Badung akan mati suri dan bangkrut silih berganti. 
 
Melihat realita itulah, Mantan Ketua REI (Real Estate Indonesia) Bali, Made Aryawan belum lama ini mengakui kenaikan NJOP Badung ribuan persen itu menjadi masalah dalam bisnis properti. Bahkan seluruh Anggota REI di Badung sangat mengeluhkan kebijakan yang dianggap mengada-ngada tersebut. 
 
"Ini sangat bermasalah buat kami, terkadang harga yang kita buat bisa lebih tinggi dari nilai NJOP, sehingga ini menjadi kendala buat kami. Misalnya ketika kami membeli tanah Rp200 juta, tetapi nilai NJOP Rp300 juta yang mana harus kita bayar?," keluhnya. 
 
Disamping itu dikatakan, kenaikan NJOP yang menggila tersebut, juga malah mengatrol harga tanah menjadi lebih tinggi lagi, sehingga masyarakat kesulitan membeli rumah di daerahnya sendiri. 
 
"Jadi kami akan segera melakukan audensi dengan Pemerintah Badung, karena sangat memberatkan dan menjadi kendala buat kami. Ketika kita tidak membayar dengan NJOP seperti contoh tadi, ya surat-surat kita tidak jalan. Mau gak mau kita harus bayar dan ini menjadi dilema bagi kami," jelasnya.
 
Menurutnya, akibat kenaikan NJOP ini ada beberapa Anggota REI yang sudah mengalami masalah itu, sehingga bisnisnya menjadi stug tidak berjalan. Dipastikan akibat kenaikan NJOP yang dinilai tak wajar itu akan mematikan bisnis properti di Badung. Untuk itu, pengambilan NJOP Badung harus ditinjau lagi. 
 
"Harga pasar yang mana sepantasnya dan zonasinya juga harus dilihat dulu jangan disetarakan. Jadi harus dikaji lagi oleh yang mengambil keputusan dan NJOP ini harus diverifikasi ulang," harapnya.
 
Secara terpisah, salah satu Pengusaha Properti, Made Mudarta berpendapat kenaikan NJOP Badung ribuan persen dianggap kebijakan yang mencekik masyarakat. Pemkab Badung diminta menerapkan kebijakan lebih mengedepankan asas keadilan. 
 
"Kita berharap ada keberpihakan pemerintah, khususnya Pemkab Badung pada masyarakat kecil dengan lebih mengedepankan asas keadilan. Artinya bedakan yang mampu dan kurang mampu, tentu ini perlu diseleksi," ujarnya.
 
Ketua DPD Partai Demokrat Bali itu juga merasa prihatin, ketika masyarakat kurang mampu mesti bayar pajak dari  NJOP yang disamakan dengan masyarakat yang memang mampu. Justru yang dipertanyakan dimana asas keadilan pemerintah daerah? 
 
"Jelas ini akan menjadi beban berat bagi masyarakat. terutama para petani atau nelayan yang tinggal di wilayah seputaran obyek, seperti di Kuta Selatan harus membayar pajak rumahnya yang tinggi. Tapi lain halnya dengan pengusaha restoran, villa, hotel yang memang ada kegiatan bisnis," ucapnya. 
 
Sebelum menaikan NJOP ribuan persen itu, mestinya Pemkab Badung membuat kajian soal itu. Apalagi masyarakat sudah dibuat resah seperti sekarang, sehingga banyak masyarakat kecil yang mengeluh karena merasa terbebani dengan pajak yang tinggi. 
 
"Apalagi dengan sistem zonasi NJOP yang diterapkan Pemerintah Badung. Ini kan sama halnya dengan pukul rata. Ndak mau tahu, punya ndak punya harus bayar sama. Ini yang saya katakan dimana asas keadilannya," sentil Mudarta. 
 
Jika Pemkab Badung ingin meraup pendapatan daerah (PAD) melalui sistem zonasi itu, jelas menurut Mudarta tidak ada asas keadilannya. Pasalnya, lahan atau tanah tersebut biasanya dikuasai oleh kalangan investor. Lantas bagaimana jika ada petani yang karena sesuatu hal tetap mempertahankan dan tinggal tanah miliknya? Jelas ini dikatakan sangat memberatkan. 
 
"Kami tidak berharap petani yang ada di kawasan zonasi itu terpaksa menjual tanahnya karena tak mampu bayar NJOP yang tinggi. Padahal bisa saja tanahnya dikerjasamakan ataupun disewakan. Meski tidak produktif lagi, tapi bermanfaat," tandasnya mengakhiri.(BB).