Janggal, PN Denpasar Bersama Mafia Tanah Eksekusi Paksa Lahan Sertifikat Mati

  18 Mei 2016 PERISTIWA Denpasar

Baliberkarya

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com. Pengadilan Negeri (PN) Denpasar dituding telah merampok hak milik warga terkait sengketa lahan yang sertifikatnya sudah dicabut dan beralih kepemilikan, namun malah dieksekusi atas permohonan Putra Mas Agung, tanggal 4 Februari 2016 lalu.  Anehnya eksekusi lahan tersebut malah belum tunas dan akan dilanjutkan, besok Kamis pagi (19/5/2016).

"Yang dilakukan PN Denpasar perbuatan yang melanggar hukum, bahwa SHM sertifikat No.4038 dan SHGB No.744 sudah tidak ada atau sudah dimatikan dan dicabut oleh pihak BPN tahun 2004. Alangkah anehnya sertifikat yang sudah dicabut dan beralih kepemilikan, namun dieksekusi lagi sertifikat seluas 3.840 m2 tersebut. Padahal eksekusi dilakukan dengan batas kepemilikan yang tidak jelas dan sebagian milik klien kami Pak Anton. Bahkan besok akan ada eksekusi lanjutan untuk memenuhi pemohon eksekusi," ujar Edward T.P.H. Hasibuan, SH selaku Kuasa Hukum Anton Wirawan dan Agus Wijaya selaku pihak yang mengajukan perlawanan atas eksekusi lahan tersebut di Denpasar, Rabu (18/5/2016).

Padahal menurutnya, awal sengketa ini berawal dari sertifikat induk No.4038 atas nama Loeana Kanginnadhi yang sebagian sudah dibeli oleh kliennya Agus Wijaya dan Anton Wijaya yang berlokasi di Jimbaran, Badung. Sebenarnya sertifikat atas nama Leona tersebut seluas 33 ribu meter persegi, bukan seluas 3.840 meter persegi seperti amar putusan PN Denpasar dan dipecah menjadi dua sertifikat. 

"Jadinya pemohon eksekusi hanya menguasai lahan yang dipecah dari sertifikat induk tersebut, dengan SHM No.11157 atas nama Putra Mas Agung selaku pemohon eksekusi sedangkan pecahan sertifikat dengan SHM 11158 dikuasi pihak lain salah satu klien kita yang melakukan perlawanan eksekusi. Jadinya sertifikat yang dieksekusi itu sudah tidak ada, tapi malah digugat. Gugatan tahun 2008, sedangkan sertifikat induk tahun 2004 sudah dicabut," jelasnya.

Akibat rencana eksekusi PN Denpasar tersebut, pihaknya mengaku sudah mengajukan keberatan terhadap pihak-pihak pengadilan dan mengajukan keberatan dari Pengadilan Tinggi Denpasar. Bahkan sudah pernah diberikan surat jawaban No.W24.U/173/HK.02/1/2016 tanggal 25 Januari 2016. 

"Soal surat jawaban tersebut, eksekusi harus mengacu amar putusan. Padahal jika dari luasnya sudah beda dan sertifikat sudah dicabut. Harusnya tunggulah perlawan ini bergulir. Jika putusan sudah ada dimenangkan silahkan lakukan eksekusi. Padahal proses hukum sedang berjalan sedangkan eksekusi tetap ngotot dilakukan," tegasnya.

Sementara itu, terkait SHGB No.744 seluas 20 ribu meter persegi atas nama PT Setya Bali Setia juga sudah dipecah menjadi 6 sertifikat sehingga otomatis SHGB tersebut mati atau dicabut. Namun dari amar putusannya luas sertifikat tersebut ternyata hanya 12 ribu meter persegi sehingga tidak sesuai dengan tuntutan eksekusi penggugat. 

"Lahan yang dieksekusi juga merupakan lahan yang dikuasai oleh klien yang melakukan perlawanan dengan SHGB Nomor 5165/Jimbaran dan No.5168/Desa Jimbaran," katanya.

Pihaknya menuntut PN Denpasar seharusnya mana objek yang disengketakan harusnya disita dulu. Karena ketika dicek ternyata kedua sertifikat yang akan dieksekusi tersebut tidak pernah disita. Karena yang disita hanya pecahannya. Nyatanya malah di amar putusannya tidak ada pecahan tersebut. 

"Ini seperti merampok hak orang dengan cara-cara baru seperti itu. Pengadilan Negeri Denpasar mau dibawa kemana hukumnya. Nantinya bisa ditiru oleh kasus lainnya. Ini kan sepertinya pemalsuan. Siapa oknum yang melakukan pemalsuan kita sudah tahu. Kita akan ajukan perlawan terhadap sita Pengadilan Negeri Denpasar terkait eksekusi besok (hari ini, red). Anehnya kita masih ada perlawanan hukum, tapi malah mau disita," sesalnya. 

Menurutnya, jika eksekusi serifikat yang sudah dimatikan oleh BPN tetap dipaksakan maka hal ini akan jadi yurisprodensi bagi perkara lainnya. Selain itu, harusnya PN Denpasar tidak boleh gegabah dan semestinya hati-hati berbuat jahat seperti itu. Jika hal ini dipaksakan maka eksekusi ini dinilai liar dan PN denpasar seolah-olah telah dikuasai dan mudah diatur mafia tanah.

"Ini gila namanya. Harusnya eksekusi menunggu pihak yang di eksekusi yang sedang menuntut keadilan dan sedang melakukan perlawanan hukum. Aneh dan hal janggal lainnya yaitu penetapan eksekusi ada dua, harusnya khan satu yang isinya sama, dan tidak seperti ini ada dua tapi isinya ada yang berbeda," tandasnya.