Devisa Pariwisata "Lenyap", Bali Harus Genjot Ekspor dan Transformasi Ekonomi Diluar Sektor Pariwisata

  22 Juni 2021 EKONOMI Denpasar

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir sangat memiliki dampak yang signifikan bagi perekonomian Bali. Pasalnya, Pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk juga di Indonesia membuat sektor pariwisata Bali "mati suri" lantaran okupansi hotel maupun kunjungan wisatawan mancanegara yang terjun bebas.

Akibat hal tersebut diatas membuat masa depan pariwisata Bali masih suram dan belum bisa dipastikan kapan akan bangkit kembali. Disatu sisi, Bali selama ini hanya mengandalkan sektor pariwisata yang bertumpu kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) yang mengucurkan gemercik dolar saat mereka berlibur.

Dosen FEB Undiknas, Prof. Ida Bagus Raka Suardana, SE., MM, menyatakan bahwa Bali tidak bisa hanya menggantungkan nasibnya pada kedatangan wisman. Namun, Bali harus bangkit dan bergerak dengan tumpuan sektor lain diluar sektor pariwisata. 

"Beberapa sektor yang memiliki peluang adalah UMKM, pertanian, kelautan hingga industri," kata Prof. IB Raka Suardana dalam acara Capacity Building Media Juni yang diselenggarakan BI Bali di Denpasar, Selasa (22/06/2021), 

Menurutnya, menggalakkan ekspor kerajinan, kelautan hingga pertanian menjadi solusi yang bisa dilakukan Bali untuk keluar dari krisis berkepanjangan. Apalagi produk pertanian Bali memiliki peluang seperti manggis, dan sektor kelautan seperti lobster banyak diminati dunia.

Selain itu, lanjut Prof. IB Raka Suardana, ekspor barang ke luar negeri juga akan mendatangkan devisa seperti kedatangan wisatawan dan akan menggeliatkan ekonomi. Tak hanya itu, masyarakat Bali juga harus mengkonsumsi produk lokal sendiri, produk petani sendiri atau produk teman. 

"Agar ekonomi Bali bergerak, kita harus menggalakkan dan mencintai produk Bali," sarannya.

Seperti diketahui, tansportasi dan pergudangan paling terkena dampak pandemi COVID-19 dengan penurunan sebesar -35,98 persen. Sementara pengadaan listrik dan gas merupakan sektor penunjang (supporting) bagi sektor usaha lainnya mengalami penurunan sebesar -27,00 persen, penyediaan akomodasi dan makan minum mengalami penurunan sebesar –24,42 persen.

"Total perekonomian Bali pada triwulan I-2021 yang diukur berdasarkan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) atas dasar harga berlaku (ADHB) tercatat sebesar Rp 52,88 triliun," sebutnya. 

Jika diukur atas dasar harga konstan (ADHK) tahun 2010, PDRB Bali tersebut tercatat sebesar Rp 34,81 triliun. Dengan besaran tersebut, ekonomi Bali triwulan I-2021 tercatat tumbuh negatif (kontraksi) sedalam -5,24 persen jika dibandingkan dengan capaian triwulan IV-2020 (q-to-q), sedangkan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (y-on-y), ekonomi Bali triwulan I-2021 tercatat tumbuh negatif sedalam -9,85 persen. 

Melihat data dan realita itu, Prof. IB Raka Suardana berpandangan Bali harus menggenjot ekspor untuk mengganti lenyapnya devisa dari sektor pariwisata yang terpuruk dihantam pandemi Covid-19. Apalagi potensi itu ada walau tidak gampang mewujudkannya. 

"Namun dari catatan BPS peluang menggenjot ekspor itu terbuka. Terbukti di tengah pandemi nilai ekspor Bali meningkat. Walaupun baru dalam hitungan bulanan," ungkapnya.

Sementara jika border pariwisata dibuka, sejumlah halangan akan mengganjal. Mulai dari berbagai persyaratan keluar masuk (ke suatu negara) yang wajib dipenuhi. Selain itu, kondisi perekonomian yang masih berat juga akibat pandemi masih dialami negara-negara pemasok dominan wisman untuk Bali selama ini, diantaranya Australia, India, Jepang dan lainnya.

"Jadi masih berat kalau saat ini menjadikan pariwisata sebagai driver pertumbuhan ekonomi Bali. Karenanya tren meningkatnya ekspor sebagai momen untuk mendiversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi, di luar sektor pariwisata," sarannya kembali.

Prof. Raka Suardana juga menyebut beberapa komoditas potensial Bali yang sudah dikenal seperti ikan, udang lobster, pakaian jadi bukan rajutan, handicraft, peralatan rumah tangga termasuk produk pertanian dan perkebunan.

Baginya, komoditas-komoditas itulah yang terus ditingkatkan dan devisa dari komoditas tersebut diharapkan bisa mengkompensasi hilangnya pendapatan dari pariwisata. Namun, Prof. Raka Suardana berharap agar produk atau komoditas ekspor dimaksud kompetitif di semua aspek, baik dari kualitas, harga, ketepatan pengiriman dan aspek lainnya.

Hal yang tak kalah penting, sambung Prof. Raka Suardana adalah pariwisata yang belum menentu kapan akan pulih juga harus dipupuk citranya dari sekarang. Membangun citra positif Bali telah aman dari Covid -19 dan mampu menerapkan protokol kesehatan dengan baik, harus terus dilakukan agar ketika Covid-19 berakhir, masyarakat global dapat tertarik datang ke Bali.

"Pelaku usaha baik UMKM, pelaku usaha pariwisata, pedagang harus menyiapkan diri menerapkan kehidupan new normal. Seperti penerimaan uang non tunai agar tidak ada penularan lewat uang," tegas Prof. Raka Suardana.

Sementara itu, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Rizki Ernadi Wimanda memaparkan kebijakan moneter Bank Indonesia dimasa Pandemi Covid-19 ini. Dimana Bank Indonesia mem?iliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. 

"Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009 pada pasal 7," ucapnya. 

Bagi Rizki Ernadi, kestabilan rupiah yang dimaksud mempunyai dua dimensi yakni dimensi pertama kestabilan nilai rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi. Dimensi kedua terkait dengan kestabilan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia sejak 1 Juli 2005 menerapkan kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kebijakan tersebut dipandang sesuai dengan mandat dan aspek kelembagaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Dalam kerangka ini, inflasi merupakan sasaran yang diutamakan (overriding objective). 

"Bank Indonesia terus melakukan berbagai penyempurnaan kerangka kebijakan moneter, sesuai dengan perubahan dinamika dan tantangan perekonomian yang terjadi, guna memperkuat efekefektivitasnya," jelasnya.

Rizky Ernadi menegaskan dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). ITF merupakan suatu kerangka kerja (framework) dengan kebijakan moneter yang diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan ke depan dan diumumkan kepada publik sebagai perwujudan dari komitmen dan akuntabilitas bank sentral. 

"ITF diimplementasikan dengan menggunakan suku bunga kebijakan sebagai sinyal kebijakan moneter dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebagai sasaran operasional," pungkasnya.(BB).