Konferensi Ekonomi Kreatif Dunia Pertama di Bali, Eko Cahyono Harap UKM Bali 'Garap Pasar Global

  06 November 2018 EKONOMI Denpasar

ist

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Badan Ekonomi Kreatif atau Bekraf menggelar Konferensi Ekonomi Kreatif Dunia (World Conference on Creative Economy atau WCCE) di Nusa Dua, Bali. Acara yang pertama kali digelar ini berlangsung mulai hari ini Selasa, 6 November sampai 8 November 2018.
 
 
Sejauh ini sudah ada perwakilan atau delegasi dari lebih 50 negara yang menyatakan menghadiri konferensi internasional tersebut. Ditambah juga ada sekitar lima organisasi internasional, seperti WIPO dan UNCTAD yang berpartisipasi di WCCE selain juga sejumlah kalangan seperti akademisi, pebisnis, pelaku ekonomi kreatif, dan media massa.
 
Konferensi ini tentu saja disambut antusias dan direspon positif para pelaku maupun praktisi ekonomi kreatif Bali. Salah satunya pendiri Bali Ekonomi Creatif Eko Budi Cahyono, S.E.,M.M.,M.H.,yang juga caleg DPR RI dapil Bali nomor urut 2 dari PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).
 
"Kami harapkan hasil konferensi ini bisa jadi momentum negara-negara di dunia saling berkolaborasi menguatkan pengembangan ekonomi kreatif. Khususnya Indonesia juga bisa jadi garda terdepan dan menunjukkan betapa besarnya potensi ekonomi kreatif kita yang lebih banyak berada di sektor UKM (Usaha Mikro Kecil Menengah)," kata Eko Cahyono di Denpasar, Selasa (6/11/2018).
 
Tema yang diusung Indonesia dalam perhelatan WCCE yaitu Inclusively Creative atau kreatif secara inklusif yang membahas lima isu terkait pengembangan, kesempatan dan tantangan ekonomi kreatif secara global diantaranya kohesi sosial, regulasi, pemasaran, ekosistem, dan pembiayaan.
 
 
Menurut Eko, konferensi ini menjadi momentum pemerintah menunjukkan kepada dunia bahwa sektor ekonomi kreatif Indonesia maju pesat. Selain itu, kata Eko, juga untuk menguatkan positioning Indonesia tidak hanya menjadi konsumen produk dan jasa kreatif, namun juga mampu menjadi bagian dari "global value chain" ekonomi kreatif. Diharapkan Indonesia bisa menjadi negara dengan kekuatan ekonomi kreatif terbesar di dunia. 
 
"Kita punya keberagaman, masing-masing daerah punya produk khas seperti fesyen batik, endek,  kuliner, kopi dan lainnya. Produk kreatif yang muncul akibat keberagaman itu yang banyak digarap pelaku UKM bisa kita optimalkan untuk masuk ke pasar global," jelas Eko.
 
Eko menegaskan perkembangan ekonomi kreatif secara global juga menjadi pasar yang menggiurkan bagi produk ekspor ekonomi kreatif asal Indonesia. Apalagi berdasarkan survei, industri kreatif pada 2017 menyumbang 2,25 miliar dolar AS terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia dan mempekerjakan 29,5 juta jiwa.
 
Pada tahun yang sama, industri kreatif juga menyumbang 7,38 persen bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didominasi oleh sektor kuliner, busana dan kriya. Industri ini juga berkontribusi 13,2 persen penyerapan tenaga kerja di Indonesia, dengan 53,68 persen pekerja kreatif adalah perempuan.
 
 
Karenanya dalam Konferensi Ekonomi Kreatif Dunia (WCCE)  ini diharapkan pelaku ekonomi kreatif tanah air khususnya dari Bali mampu membangun jejaring pemasaran yang lebih luas sehingga bisa menggarap peluang pasar ekspor produk ekonomi kreatif. Selain itu konferensi ini juga menjadi kesempatan emas untuk menarik minat investor berinvestasi pada ekonomi kreatif di Indonesia khususnya juga Bali.
 
"Potensi ekonomi kreatif kita sangat besar. Apalagi ekonomi kreatif Bali juga semakin maju ditambah dengan tingginya kreativitas orang Bali," tegas pria yang juga penulis buku ekonomi bisnis "best seller" berjudul "Sukses Ada di Pikiran dan Infrastruktur Ekonomi".
 
Pria yang juga aktif sebagai konsultan ekonomi manajemen keuangan dan properti menjelaskan cakupan ekonomi kreatif meliputi enam belas subsektor. Yaitu arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, film, animasi, dan video, fotografi, kriya, kuliner, musik fashion. Lalu ada aplikasi dan game developer, penerbitan, periklanan, televisi dan radio, seni pertunjukan dan seni rupa. 
 
"Tiga subsektor utama yang menopang ekonomi kreatif di Indonesia yakni kuliner, fashion dan kriya. Tiga sektor ini juga yang makin bergeliat di Bali yang merupakan destinasi pariwisata internasional," ungkap Eko.
 
Sementara subsektor ekonomi kreatif lain yang pertumbuhan bagus antara lain film animasi dan video, desain komunikasi visual, serta aplikasi dan pengembangan game. "Untuk film animasi dan video potensi dikembangkan di Bali sangat besar apalagi dengan keunikan dan keragaman budaya yang bisa diangkat menjadi bumbu cerita," tandas Eko yang juga anggota REI (Real Estate Indonesia) dan pengurus Kadin Bali itu.
 
 
Berdasarkan data dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), sektor ekonomi kreatif telah berkembang pesat di Indonesia. Pada tahun 2015 sektor ini menyumbang Rp 852 triliun atau 7,38 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lalu pada tahun 2016 sektor yang menaungi industri film ini pun menyumbang PDB sebesar Rp 922,58 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 13,47 persen.
 
Tahun 2017 menyumbang Rp 990 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 17,4 persen. Sementara untuk tahun 2018 ini diproyeksikan menyumbang PDB sebesar Rp 1.041 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 18,2 persen.
 
"Secara nasional ekonomi kreatif akan menjadi kekuatan ekonomi baru yang mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan," ujar Eko yang juga pernah mengabdi sebagai Tenaga Ahli Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal.
 
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tiga subsektor utama ekonomi kreatif di Indonesia yakni kuliner, fashion, dan kriya. Pada 2016, subsektor kuliner menjadi menyumbang terbesar dalam PDB ekonomi kreatif yakni sebesar 41,40% atau sekitar Rp 382 triliun. Sementara untuk subsektor fashion tercatat menyumbang sebesar 18,01% atau sebesar Rp 166 triliun, dan disusul subsektor kriya sebesar 15,4% atau sebesar Rp 142 triliun di 2016 lalu.(BB).