14 Negara Maju Lebih Awal Tolak Angkutan Online. Ini Sebabnya!

  21 Agustus 2016 OPINI Denpasar

istimewa

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com - Denpasar. Sebelum muncul demonstrasi taksi konvensional yang menolak keberadaan taksi berpelat kuning dan angkutan sewa/pariwisata berplat hitam berbasis online, banyak negara maju di dunia lebih awal melakukan penolakan serupa. 
 
Apalagi, salah satu perusahaan taksi online terbesar di dunia yakni Uber, menancapkan kuku-kukunya ke lebih dari 300 kota di dunia. Termasuk Grab yang menyusul Uber bersaing di bisnis ilegal itu, karena untuk mendapatkan pemasukan signifikan keduanya sengaja tidak mau mengikuti aturan transportasi yang ditetapkan di negara tersebut.
 
Oleh karena itu, kehadiran Uber dan Grab ini malah ditentang habis-habisan di 14 negara maju. Buntutnya terjadi pengkajian ulang dari segi hukum atas Uber dan Grab, namun tak sedikit pemerintah yang langsung tegas melarang Uber beroperasi di negaranya. 
 
Seperti dilansir Wikipedia.org, Uber didirikan oleh dua pebisnis bernama Travis Kalanick dan Garret Camp pada 2009 di San Fransisco, Amerika Serikat. Kini mereka merambah 57 negara dan omzetnya mencapai Rp 237 triliun. Namun, mirip di Indonesia, Uber membuat bisnis taksi konvensional menolak keras kehadiran angkutan berbasis online, sehingga akhirnya Uber diprotes dimana-mana, termasuk di Bali.
 
Sebelumnya di negara adi daya, Amerika Serikat, sampai hari ini masih berjalan tuntutan taksi konvensional yang meminta Uber dikenakan aturan sama seperti taksi lainnya, termasuk pengecekan latar belakang para pengemudi Uber. Hal yang sama terjadi di Prancis. 
 
Armada Uber kerap diserang oleh sopir taksi konvensional. Mereka kesal sebab Uber tak harus mengantongi lisensi perizinan kendaraan publik yang biayanya mencapai sekitar Rp 3,5 miliar. 
 
Sedangkan di Inggris yang terkenal dengan ikon taksi 'Black Cab', diwakili oleh Asosiasi Pengemudi Taksi Berlisensi melayangkan protes pada Uber yang isinya mereka harus memiliki sistem biaya berdasarkan jarak yang sesuai standar. 
 
Selain itu, jika mengklaim taksi, Uber seharusnya memiliki mobil khusus. Meski demikian Uber tetap boleh beroperasi. Negara Tembok Berlin, Jerman pada pertengahan Agustus 2014 dengan tegas Uber dilarang beroperasi di Ibu Kota Berlin. Uber dinilai tidak memenuhi standar keamanan angkutan umum. 
 
Selain itu, Uber juga harus membayar izin mengemudi jenis taksi dan mendaftarkan perusahaannya. Sementara itu, di Korea Selatan pengemudi taksi konvensional memprotes kehadiran Uber lantaran mengancam pangsa pasar dan tidak memberikan standar keamanan bagi penggunanya. 
 
Bahkan di Australia, beberapa kota di Negeri Kangguru, Uber bebas beroperasi. Namun di kawasan Victoria kehadiran taksi Uber dilarang sebab mereka tak mau mengikuti aturan akreditasi dan lisensi sehingga berisiko bagi keselamatan penumpang.
 
Selain itu di Belgia, mulai April 2015 Uber resmi dilarang beroperasi di Belgia sebab membuat keamanan dalam negeri bergejolak. Sebanyak 700 sopir Uber jadi korban kekerasan. Pemerintah akhirnya menghentikan Uber ketimbang jatuh korban lebih banyak lagi. 
 
Hal senada terjadi di Kanada. Banyak sopir Uber nakal dan tidak mengikuti prosedur termasuk pelatihan bagi pengemudi dan pengecekan kendaraan, membuat pemerintah Kanada bertindak tegas pada Uber. Bahkan Uber menarik layanan mereka sendiri sebab ketegasan pemerintah.
 
Nah, di Negeri Kincir Angin, Belanda, operasional Uber dilarang beredar lantaran melanggar peraturan mengenai pengemudi komersial. Mereka juga banyak yang tidak punya izin mengemudi. Lebih sadis lagi di India, Uber dilarang beroperasi lantaran banyak pengemudi nakal yang memperkosa pelanggan mereka. 
 
Sedangkan negara maju seperti Jepang, pihak Uber tak berdaya lantaran Jepang telah memiliki sistem pemesanan taksi yang lebih keren dan ketersediaan armada taksi mencukupi. Itu sebabnya Uber tunduk dan memilih bermitra dengan perusahaan taksi di Jepang.
 
Negara lainnya, yakni Spanyol, dengan tegas Uber berhenti beroperasi akhir 2014 lantaran diprotes asosiasi pengemudi taksi Ibu Kota Madrid. Sedangkan di Taiwan, pada Juli 2014 ribuan pengemudi taksi konvensional menggelar demonstrasi di Ibu Kota Taipei demi memprotes taksi online Uber. 
 
Akhirnya menteri transportasi dan komunikasi Taiwan menyatakan Uber ilegal. Dan terakhir di Thailand, Negeri Gajah Putih ini Uber juga dipaksa menghentikan operasinya. Terutama taksi online mereka yang berpelat hitam.
 
Terkait polemik angkutan online tersebut, Pakar Ekonomi dan Bisnis, Prof.Dr.IB. Raka Suardana, SE.MM menyebutkan ada tiga kemungkinan alasan penolakan terhadap angkutan online, khususnya yang terjadi di Bali. Ketiga alasan itulah yang memicu alerginya masyarakat menggunakan taksi/angkutan online. 
 
"Alasan pertama karena angkutan online akan bisa mematikan yang konvensional. Apalagi karena dari sisi perpajakan belum bisa maksimal, sehingga para pengusaha transportasi besar yang selama ini eksis akan merasa tersaingi menjadi alasan kedua dan ketiga," jelasnya saat dihubungi awak media.
 
Terkait respon pemerintah pusat dan daerah yang melarang operasional angkutan online ini, seharusnya bisa lebih tegas lagi. Karena selama aturan angkutan dilanggar, harus diterapkan sanksi yang adil bagi bisnis transportasi. 
 
"Harusnya pemerintah dan legislator cepat tanggap dan responsif. Harus dibuat regulasinya yang tegas, karena soalnya sekarang kemajuan IT sudah pesat sekali. Nah, yang itu harus ditertibkan. Beri sanksi bagi yang melanggar, tapi harusnya dalam bentuk Undang-Undang agar lebih kuat," tegasnya.(BB).