Umat Hindu Kehilangan Ida Pedanda Gede Made Gunung

  18 Mei 2016 PERISTIWA Denpasar

google.com/image

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com. Denpasar- Berita duka diterima umat Hindu. Sosok pedharmawacana yang wajahynya kerap hadir di layar televisi, Ida Pedanda Gede Made Gunung, “lebar” (wafat) di RS dalam usia 64 tahun, Rabu (18/5/2016) sekitar pukul 04.45.

Umat Hindu, bahkan seluruh umat beragama di tanah air, kehilangan sosok yang selama ini memberi pencerahan tentang agama, khususnya agama Hindu.

Sosok Ida Pedanda Gede Made Gunung sangat popular dan terus menjadi perbincangan umat Hindu. Tokoh Hindu yang satu ini dinilai banyak kalangan memiliki pemikiran yang jauh ke depan, trampil dalam "menerjemahkan" tatwa agama dengan bahasa yang jelas dan lugas serta memiliki rasa humor yang tinggi.

Pedanda yang dilahirkan di Gria Gede Kemenuh Purnawati ini pada tahun 1952 ini, seolah-olah mengubah citra Pedanda (Pendeta Hindu) dari sekedar muput karya (memimpin pelaksanaan upacara), menjadi pemberi Dharma Wacana, disamping tentunya juga muput karya. Tidak mengherankan jika wajah beliau acapkali muncul di berbagai media, baik media elektronik maupun media cetak, untuk memberikan dharma wacana (wejangan suci) kepada umat Hindu. Beliau memberikan dharma wacana tidak hanya di Bali, tetapi juga di luar bali seperti Jakarta hingga ke Kalimantan. Beliau juga sempat matirtayatra ke India bersama Dr.Somvir.

Setelah menamatkan SD (1965) di Blahbatuh dan SMPN (1968) di Gianyar, beliau lalu melanjutkan pendidikan ke Taman Guru Atas (1971) di Sukawati. Beliau kemudian bekerja sebagai Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) Gianyar (1972 - 1974), lalu menjadi guru SD di mawang Ubud (1975 - 1983) dan selajutnya pindah ke SD 7 Saba (1987 - 1994). Tahun 1992 beliau sempat mendapat peringkat sebagai guru teladan Kecamatan Blahbatuh. Disela -sela kesibukan sebagai guru, beliau melanjutkan pendidikan di Institut Hindu Dharma (IHD) hingga memperoleh gelar Sarjana Muda pada tahun 1986. Beliau Madiksa atau menjadi pedanda pada tahun 1994 dan sejak tahun 2002 sampai sekarang beliau menjadi dosen luar biasa di almamaternya di Fakultas Usada Universitas Hindu Indonesia, sebutan IHD sekarang.

Selain itu beliau juga aktif dalam kegiatan organisasi sejak akhir tahun 1960-an. Mula - mula di bidang olah raga, menjadi pemain voli seleksi PON Bali, menjadi pelatih karate (sabuk hitam), dan kemudian organisasi keagamaan. Mula - mula beliau aktif di Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) kecamatan Blahbatuh, PHDI Gianyar (1989-1994) PHDI Bali (1994-2001) dan PHDI Bali versi Campuhan (2001-2006)

Sebelum madiksa
Dua tahun sebelum madiksa (menjadi pendeta), beliau sudah mulai membenahi pola pikir, perkataan dan perbuatan sebagai persiapan memasuki dunia kependetaan. Suatu hari, kira-kira 4 bulan sebelum madiksa, beliau pergi mengunjungi Rumah Sakit Sanglah untuk melihat mereka yang dirawat disana, beliau ingin merasakan bagaimana kondisi dan penderitaan mereka yang sedang sakit , beliau juga berjalan mengunjungi UGD, mengunjung bangsal - bangsal yang lain hingga berakhir di depan kamar mayat.

Setelah itu beliau mengunjungi Rumah Sakit Wangaya untuk tujuan yang sama. Beliau juga mengunjungi Super Market, sekedar untuk melihat bagaimana anak - anak bermain dan menikmati santapan.

Disana beliau sempat diikuti oleh satpam, yang barangkali merasa agak janggal karena melihat beliau yang berjenggot, berambut panjang dan menggunakan destar datang ke tempat seperti itu dan seperti dengan tujuan yang tidak jelas. Setelah itu beliau mengunjungi super market yang lain yang baru saja di buka. Beliau tidak mengunjungi diskotik atau tempat hiburan yang lain karena untuk mengunjungi tempat seperti itu harus membayar terlebih dahulu. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanan ke pasar burung, mendengarkan kicauan burung dan melihat berbagai jenis peliharaan yang dijual disana.

Di samping itu beliau juga pernah ikut menjadi sopir truk mengikut teman beliau yang menjadi sopir truk untuk mengirim pasir dari Klungkung ke daerah lain di Bali. Beliau melakukan itu untuk mengetahui bagaimana rasanya menjadi sopir truk. Setelah beliau merasa sudah cukup, mulailah beliau menyusun program tangkil (menemui) para sulinggih (pendeta) se-Bali. Dalam buku harian beliau, tercatat beliau pernah tangkil kepada 325 sulinggih.

Untuk apa beliau melakukan semua itu? Beliau mengatakan semua itu sebagai persiapan mental untuk memasuki dunia kependetaan. Seperti merintis sebuah bangunan, sebelum memulai membangun seseorang perlu melihat berbagai model bangunan yang ada sebagai perbandingan dalam merencanakan bangunan yang baru. Unsur-unsur yang cocok ditiru, yang kurang cocok dipelajari dan seterusnya.

Dan ternyata semua yang beliau dapat dari pengalaman tersebut sangat mendukung tugas-tugas yang harus beliau emban sekarang. Semua babonnya dari sana. sebuah contoh sederhana, begitu menjadi Pedanda, banyak orang yang tangkil dan semuanya bermacam-macam. Ada yang halus dan adakalanya agak emosional. Semua harus dihadapi dengan sabar. Tidak mungkin dihadapi dengan kekerasan dan main pukul seperti sewaktu beliau menjadi pelatih karate dulu. Kalupun sekarang beliau memukul, tidak menggunakan pukulan fisik tetapi pukulan rohani. Tingkat kerohanian akan berjalan baik apabila didukung oleh pengalaman, mental dan fisk yang kuat.

Beliau mengatakan bahwa tujuan utama beliau untuk menjadi Pedanda bukat semata hanya untuk muput yadnya, melainkan senantiasa meningkatkan kualitas kerohanian atau Dharma Agama. Muput yadnya baru dilaksanakan kalu ada orang yang ngaturang, dalam arti kalau ada yang datang diterima kalu tidak ada tidak apa-apa. Seperti air pancuran, ada atau tidak orang yang datang untuk mengambil air, pancurannya tetap akan mengalir.

Dharmawacana di udara

Yang paling melekat di benak umat Hindu adalah kehadiran sosok Ida Pedanda Gede Made Gunung dengan dharmawacananya di segala media. Tampil di tengah-tengah umat Hindu, baik di Bali maupun di se-antero tanah air, almarhum juga kerap mengisi acara-acara yang diselenggarakan umat lain.

Dalam peringatan Maulid Nabi di Ubud, Gianyar, pada tanggal 18 Januari 2015, misalnya. Ida Pedanda hadir dan memberi warna berbeda dari perayaan-perayaan sebelumnya. Toleransi beragama menjadi "tema" utama peringatan Maulid Nabi itu. Ida Pedanda yang namanya sudah masyur bersanding dengan tokoh muslim Bali, Kiai Toha Al Amnani.

Dalam ceramahnya, Pedanda Gunung yang mengambil tema indahnya perbedaan. Sebelum membuka ceramahnya, ia mengaku bangga telah diundang dalam hari mahasuci Agama Islam ini. Sebab selama ini ia memang ingin berhadapan muka dengan umat muslim.

"Sejak dulu saya bermimpi ingin bertemu dengan saudara muslim, akhirnya kali ini terkabul. Saya sendiri bukan orang yang percaya pada kebetulan. Saya yakin pertemuan ini atas kehendak Ida Sang Hyang Widhi, Allah, atau Tuhan Yang Maha Esa," ucapnya.

Dalam ceramahnya, Pedanda Gunung menyebut agama itu sama. Tapi orang menyebutnya dengan banyak nama. Dia mencontohkan, agama tidak lain seperti beras. Tergantung mau dijadikan apa. Apakah dijadikan nasi atau ketupat.

"Karena itu, janganlah memperdebatkan agama. Karena tidak akan menemukan titik temu kalau diperdebatkan. Sebab itu tergantung orang menjadikannya apa," ujar rohaniawan yang sering membawakan dharma wacana di televisi ini.

Satu lagi sisi menarik almarhum. Barangkali tak lazim dilakukan oleh kebanyakan ulama Hindu, Ida Pedanda mendirikan sebuah radio komunitas yang tujuannya menyebarkan ajaran-ajaran suci Hindu lewat dahramawacana.

Menurut Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali periode 2008-2013, Komang Suarsana, Ida Pedanda Gunung memproses perizinan radionya yang bernama Radio Komunitas Yogadhiparamaguhya pada tahun 2012. “Kami membantu sepenuhnya agar radio itu terwujud, Tentu dengan prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi. Akhirnya radio itu bisa bersiapan karena telah memperoleh dokumen perizinan dari Kemenkominfo,” ujar Suarsana.

Melalui radio komunitas itu, Ida Pedanda menambah ruang dharmawacananya ke udara. Tak hanya di darat, dari pura ke pura, atau dari satu titik ke titik lainnya.

Kepergian Ida Pedanda yang wafat pada Rabu, 18 Mei 2016, membuat semua kehilangan. Almarhum meninggalkan seorang istri, Ida Pedanda Istri Raka dan 5 putra-putri yakni Ida Ayu Gede Padmawati Suamem, Ida Bagus Made Purwita Suamem, Ida Ayu Ketut Puspitawati, Suamem, Ida Ayu Putu Purnawati Suamem, dan  Ida Bagus Made Eka Palguna.

Selamat jalan Ratu Pedanda. Amor ring Acintya.  (bb)