Tiap Tahun! 6.500 Warga Meninggal Akibat Polusi Energi

  16 September 2016 KESEHATAN Denpasar

istimewa

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com - Denpasar, Organisasi yang bergerak di bidang kampanye lingkungan, Greenpeace ‎mengungkap data terkait polusi udara bahwa sumber utama polusi ternyata tidak hanya dari transportasi, tetapi ternyata juga dari sektor energi. 
 
"Sektor energi menyumbang polutan yang menyebabkan kualitas udara kita semakin memburuk," ucap Media Officer Greenpeace Indonesia, Rahma Sofiana di Rumah Sanur, Denpasar, Jumat (16/9/2016).
 
‎Perempuan yang akrab disapa Ana itu mengungkapkan jika penggunaan batubara pada sektor energi akan mengeluarkan jenis polutan yang berbahaya bagi kesehatan. Katanya, polutan bercampur dengan udara yang kita hirup adalah jenis polutan berbahaya itu yakni timbal, arsenik, nikel, kromium, cadmium, sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), merkuri, ozon (03) dan jenis lainnya.‎ 
 
Menurut Ana, jika polutan berbahaya itu sudah masuk ke dalam sistem tubuh manusia makan bisa menyebabkan berbagai macam penyakit, terutama dalam hal pernafasan. Beberapa penyakit yang ditimbulkan ‎di antaranya adalah kanker paru-paru, serangan asma, infeksi dan batuk, gangguan fungsi paru-paru, dan gangguan perkembangan paru-paru pada anak. 
 
Sementara, lanjut Ana, jika zat tersebut sudah masuk ke dalam darah maka akan menyebabkan penyakit seperti peradangan, pengentalan darah dan tekanan darah. 
 
"Partikel berbahaya itu juga bisa menyebabkan stroke, penurunan IQ, penurunan fungsi sistem syaraf pusat, serangan jantung, fluktuasi detak jantung, sakit jantung, penurunan berat badan, gangguan pertumbuhan janin, kelahiran prematur, gangguan perkembangan mental dan fisik, maupun penurunan kualitas sperma," ungkapnya.
 
Meski suatu wilayah tak ada pembangkit listrik, utamanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batubara, Ana menjelaskan jika hal itu tetap saja bisa terpapar. Pasalnya, ada satu jenis polutan yakni PM2.5 yang jika dia dikeluarkan dari cerobong PLTU, maka radiusnya bisa mencapai 500 kilometer.
 
"Seseorang bisa terpapar dari PLTU terdekat. PM2.5 ukurannya sangat kecil. Kalau divisualisasikan satu rambut manusia selnya dibelah 70 dapatlah ukuran PM2.5," paparnya.
 
Ana mengakui Greenpeace telah bekerjasama dengan kampus ternama yakni Harvard University untuk melakukan pemodelan atmosfer.‎ Hasilnya ternyata, polusi yang dihasilkan pembakaran PLTU menyebabkan 6.500 kematian dini warga di Indonesia. 
 
Angka itu, sambung Ana, bisa saja meningkat jika pemerintah tetap bersikukuh melakukan ekspansi pembangunan PLTU di seluruh Indonesia dalam rangka pengadaan listrik 35 ribu MW hingga 2020. Saat ini, di Pulau Jawa dan Bali saja sudah terdapat 42 PLTU.‎ 
 
"Itu bukan angka atau data riil lapangan. Dalam lima tahun ke depan 117 unit PLTU akan dibangun. Kalau itu jadi dibangun, angka 6.500 tadi bisa tambah menjadi 15.700 jiwa pertahun. Bisa dibayangkan hidup usia orang pada umumnya lebih pendek akibat terjangkit penyakit tadi," jelasnya.
 
Untuk itulah, kata Ana, Greenpeace menyarankan agar pemerintah beralih kepada energi terbarukan sebagai solusi ke luar dari persoalan polusi udara akibat energi tersebut. Saat ini, pemerintah memang memiliki program energi terbarukan, namun porsinya masih sangat kecil.‎ Pihaknya ingin mendorong dari pembangunan ekonomi, penyediaan listrik berbasis batubara ke energi terbarukan. 
 
Ia yakin jika dipetakan secara potensi, di masing-masing wilayah Indonesia punya karakteristik dengan potensi yang sangat luar biasa. Sementara, potensi energi terbarukan untuk di Jawa-Bali-NTT dari sumber daya angin bisa mencapai 43.278 MW. Dan yang terpasang baru sebesar 50 MW. Di Kalimantan potensi untuk tenaga air mencpai 6.277 MW, namun baru terpasang 209 MW. 
 
"Dengan program 35 ribu MW kita mendukung kalau benar listrik itu untuk rakyat. Tapi sayangnya porsi itu 60 persennya masih berasal dari batubara. Kita sadar tidak serta merta menutup PLTU dan beralih ke energi terbarukan karena hal itu pasti butuh transisi," tutupnya.(BB).