Counter Ngurah Rai Tak Terima Uang Taksi

Taksi Bandara Ngurah Rai Bantah Keras Tudingan Suata Tak Gunakan Argometer

  30 Mei 2017 PERISTIWA Denpasar

baliberkarya.com/ist

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Tudingan miring Ketua Biro Angkutan Sewa Organda Badung, Drs. I Wayan Suata yang menyatakan salah satu taksi di Bandara Ngurah Rai sejak berpuluh puluh tahun melanggar tidak menggunakan argometer dibantah keras oleh Ketua Koperasi Jasa Angkutan Taxi Ngurah Rai Bali, Wayan Pande Sudirta. 
 
Pande yang juga Ketua Dewan Pimpinan Unit (DPU) Taxi Bali DPD Organda Provinsi Bali justru menuding Suata salah asal bicara tanpa mengetahui hal yang sebenarnya kini berlaku di Bandara Ngurah Rai. 
 
Pande mengatakan didalam strandar operasionalnya saat ini penumpang yang menggunakan taksi Ngurah Rai kini boleh meminta dua jenis pelayanan yang sudah tercatat di bandara yaitu penumpang boleh meminta argometer tetapi karena kita di airport dengan membayar kosensi dan sebagainya sehingga ada "minimun charge" atau harga minimum dengan membayar Rp 55.000,-. 
 
Minimum charge ini, kata Pande, maksudnya dengan jarak tempuh dekat penumpang dikenakan Rp 55.000 dan pada jaman dahulu pembayaran melalui counter di bandara, namun sekarang penumpang langsung membayar ke sopir taksi. Sehingga counter itu hanya bertugas mendata siapa yang mendapat antrian setiap order dari penumpang, jadi tiket itu sifatnya hanya mengontrol saja sebagai tiket antrian. 
 
"Jadi apa yang dituduhkan Suata itu salah dan tidak ada seperti yang dibilang. Saya tegaskan tidak ada bayar di counter jadi Suata itu salah tuduhannya. Kalau dulu iya, tapi sekarang semenjak 3 tahun lalu sudah tidak ada counter menerima uang, dan diwaktu itu sudah Pak Wija dari Gubernuran yang mengecek sendiri bahwa taksi kita sudah memakai argometer dan dari awal kita sudah memakai argo," tepis Pande dalam klarifikasinya kepada awak media, Selasa (30/5/2017).
 
 
 
Mantan Anggota Komisi III DPRD Bali itu mengungkapkan alasan taksi Ngurah Rai memakai "pick price" lantaran tamu atau penumpang sendiri yang meminta. Bagi penumpang itu lebih murah dari argo, misalnya jika penumpang dari bandara ke legian biaya argonya sekitar Rp 65.000,- sampai Rp 70.000,- belum lagi macet biayanya bisa bertambah lagi, karena di taksi setiap roda itu berhenti waktu yang jalan. 
 
Kalau dia jalan, Pande melanjutkan price yang jalan itu sistem argometer, tapi dengan "pick price" penumpang hanya dikenakan Rp 55.000,-. Pande mengaku dengan perputaran seperti itu pihaknya akhirnya membagi ruang-ruang wilayah seperti Kuta 1, kuta 2, Kuta 3, serta ada legian 1, 2, 3 dan seterusnya. Jika tamu atau penumpang itu meminta layanan dengan "pick price" itu sudah di ketahui oleh pihak bandara. 
 
"Kenapa kita seperti itu, karena untuk meratakan konsensi kita, apalagi ada penegasan kita kerjasama dengan airport dan itu kita harus membayar sekitar 118 juta perbulanya. Maka dapat tidak dapat kami segitu harus tetap membayar 118 juta. Tetapi kalau lebih kami harus membayar lebih juga, sehingga kalau dihitung-hitung kita hampir membayar 2 miliat pertahunnya di bandara, belum sewa ruangan, parkir. Dan parkir aja kita harus membayar 500 juta pertahunnya dengan armada kita 248 kendaraan. Itu semua bayar tidak murah di bandara," sentilnya.
 
 
Pande menegaskan apa yang disangakakan dan dituduhkan oleh Suata itu tidak benar mengingat punya 2 pilihan bagi para penumpang yakni "pict price" atau argometer. Namun, selama ini tamu kebanyakan lebih senang dengan "pict price" dengan menggunakan tiket untuk adminitrasi yang nanti keluar ada potongan konsensi yang harus dibayar, serta untuk memudahkan pengecekan apabila tamu kehilangan atau barang tertinggal di taksi dengan menunjukan tiketnya.
 
"Suata harus paham dia operasional di airport tidak gratis dan semua bayar, maka dari itu kalau Suata membela angkutan online berpikirlah dahulu berapa biaya operasional yang dikeluarkan seharusnya dia mengerti. Saya harap Suata jangan asal ngomong tapi berpikir dulu sebelum banyak bicara. Apa yang semua di bicarakan oleh Suata itu salah semua," tegasnya.
 
Terkait tudingan Suata lainnya agar Bandara Ngurah Rai tidak di monopoli sehingga pelaku usaha angkutan atau publik yang mempunyai usaha transport yang ijinnya lengkap semestinya bisa ikut tender di bandara, Pande menjawab untuk urusan tender itu kewenangan pihak Bandara Ngurah Rai yang mempunyai otoritas. 
 
Pande lantas menceritakan sejarah awal taksi Ngurah Rai berdiri sejak tahun 1969 memulai merintis usaha transport di Bandara Ngurah Rai disaat dimulainya beroperasional Bandara Ngurah Rai dan bergabung di airport sehingga namanya otomatis menjadi taksi Ngurah Rai serta di tahun 1979 mendirikan badan hukum melalui koperasi. 
 
 
Ia mengakui taksi Ngurah Rai pertama kali bergerak pada bidang transportasi dimana dahulu cuman ada bemo, bus Darmo, dan Ngurah Rai taksi. Dulunya Bandara Ngurah Rai tidak mengatur tranportasinya namun mengatur sendiri masing-masing transport. 
 
"Kenapa kami di kasih? sudah saya jelaskan diawal karena secara historis mereka tidak akan membuang kami sebagai perintis transport di Bandara Ngurah Rai. Apakah kami monopoli? tidak jawabannya karena disana juga ada transport lainnya Panca Sapta Pesona, Wirasana dan yang lainya, dimananya kami monopoli?. Sekali lagi Suata telah salah mengamati kita dan dia (Suata) nggak mengerti bahwa kita telah berubah semuanya," tutup Pande.(BB).