PMKH: Intimidasi terhadap Hakim dalam Menangani Persidangan?

  01 Oktober 2023 PENDIDIKAN Denpasar

Kader Klinik Etik dan Advokasi 2023 Fakultas Hukum Universitas Udayana

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Oleh: Anak Agung Istri Sinta Komala Dewi, Putu Aura Dianawati Manik Awa, Kadek Arlina Devitia Ananda, Gusti Ayu Sri Krisnayanti, Putu Mulyani Puspa

 

Kader Klinik Etika dan Advokasi 2023 Fakultas Hukum Universitas Udayana

 

Penyelenggaraan proses persidangan adalah untuk memperoleh keputusan hakim. Melalui putusan hakim, para pihak yang bersengketa akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang dipermasalahkan. Namun kenyataannya, tidak semua keputusan hakim langsung dipandang adil dan diterima dengan tangan terbuka oleh pihak yang berperkara. Setelah putusan diucapkan, tidak jarang muncul berbagai tindakan ekspresif para pihak sebagai bentuk respon terhadap putusan yang diberikan Hakim. 

Hal yang cukup disesalkan apabila tanggapan tersebut turut diikuti dengan tindakan yang berlebihan maupun menjurus ke arah kekerasan atau perlakuan kurang pantas yang ditujukan kepada majelis hakim tersebut. Dalam sudut pandang hukum, Hakim tidak hanya sebagai aktor utama dalam proses persidangan tetapi hakim juga memiliki posisi yang istimewa, dan di dalam sudut pandang sosial hakim dianggap sebagai representasi Tuhan. Hakim dengan keistimewaan, tanggung jawab, serta kewenangannya yang besar pasti hidup di tengah problematika. Sehingga independensi hakim ini harus dipastikan.

Tindakan-tindakan tercela tersebut dapat dikatakan sebagai Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH). Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) adalah perbuatan orang perorangan, kelompok orang atau badan hukum yang dapat mengganggu proses peradilan atau hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan serta menghina hakim dan pengadilan. 

Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) dapat dilakukan baik oleh hakim itu sendiri, jaksa, pengacara, pihak penggugat dan tergugat maupun pengunjung dan masyarakat. Ancaman terhadap kehormatan hakim tersebut dapat berupa ancaman verbal maupun non verbal (fisik). Hakim merupakan profesi yang memiliki resiko ancaman yang besar. 

Dalam kehidupan bernegara, Hakim dipandang dan ditunjuk sebagai pihak terakhir yang berwenang memutuskan dan memberikan jawaban atas permasalahan yang diajukan oleh masyarakat. Seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan seseorang bahkan menentukan kehidupan seseorang. Pada akhirnya, bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan, Hakim akan menjadi sasaran luapan kekesalannya.

Dalam membuat keputusan pengadilan, seorang hakim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (1). Faktor hakim itu sendiri, misalnya adalah lima kepribadiannya, intelegensi, dan suasana hati, (2). Faktor opini publik yang tertulis dalam media massa ketika sidang tengah berlangsung, (3). Faktor pengacara, misalnya performance dan gaya bicara yang meyakinkan juga memberikan pengaruh terhadap putusan hukuman, (4). Faktor terdakwa, misalnya jenis kelamin terdakwa, ras dan kemampuan bicara, maka kita mengetahui begitu beratnya sebenarnya tugas seorang hakim, karena ditangan hakimlah pencari keadilan akan meletakkan kepercayaan dan harapannya. 

Namun seorang hakim tetaplah seorang manusia yang tidak akan kehilangan kemanusiaannya. Hakim bukanlah malaikat atau benda mati yang dapat berbuat hukum seperti dewi keadilan yang membawa pedang dengan mata tertutup. Hukum diterapkan dengan prinsip mesin secara akurat, konsisten tanpa memandang siapa orangnya. Setidaknya dalam kasus ini, ada dua alasan mengapa masih terjadi tindakan penyerangan terhadap harkat dan martabat hakim. 

Pertama, rendahnya bentuk penghormatan terhadap hukum yang berlaku. Perlu disadari bahwa, keberadaan hukum tidak serta merta diakui dan dihormati oleh seluruh masyarakat yang ada. Ketaatan terhadap hukum dilakukan bukan karena setuju dengan hukum yang berlaku, melainkan sikap menolaknya yang tidak diungkapkan secara terbuka. Sikap inilah yang mendorong lahirnya perilaku-perilaku yang bertentangan dengan hukum, salah satunya adalah tindakan merendahkan kehormatan dan harkat dan martabat hakim (PMKH) yang dapat mengganggu proses persidangan. 

Kedua, sebagai bentuk perlawanan dalam arti ketika seseorang melakukan kesalahan dan dituntut untuk bertanggung jawab namun tidak mampu memberikannya maka ia akan mengalami depresi. Akibat tekanan tersebut, mereka akan mencari cara untuk “melepaskan diri” dari jeratan hukum yang ada, atau setidaknya melampiaskan emosi yang tertahan. 

Ketika jalan “formal” sudah tidak memihak pada terdakwa, maka “sifat alamiah” akan berusaha berbagai cara agar dapat melepaskan diri dari tuntutan tersebut termasuk menggunakan kekerasan atau ketika permintaannya tidak didengarkan maka akan terjadi tindakan tersebut. . Agar permintaannya dipenuhi, bentuk-bentuk perlawanan juga kerap dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa mempunyai kekuasaan lebih besar dibandingkan lembaga peradilan itu sendiri.

Kekuatan yang dimaksud dapat berupa jabatan, kekayaan atau jumlah massa yang dimiliki. Dengan menyadari memiliki kekuatan, pihak-pihak ini akan melakukan perlawanan apabila putusan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika ditarik ke akar, maka penyebabnya adalah krisis kepercayaan terhadap hukum dan hakim itu sendiri. Namun perlu diperhatikan pula, bahwa segala Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) walaupun atas dasar memperjuangkan keadilan tidaklah dapat dibenarkan. 

Menurut ketentuan pidana, pelaku PMKH dapat dijerat dengan pidana penjara sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 207, Pasal 212, Pasal 217, Pasal 224 dan Pasal 351 KUHP. Jika halnya perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang menjalani profesi tertentu, maka hukuman bagi pelaku dapat ditambah sesuai dengan sanksi yang berlaku berdasarkan ketentuan kode etik profesinya. Penting bagi negara untuk hadir melindungi martabat dan keluhuran profesi hakim itu. 

Berbicara tentang hakim, kemudian berbicara tentang keberadaan fisik individu dan keluhuran profesinya. Sehingga bentuk perlindungannya harus ada pada keduanya. Menghormati profesi hukum bukan sekedar persoalan dimensi yuridis saja, namun persoalan kesadaran masyarakat hukum terhadap keberadaan hukum. Dapat disimpulkan bahwa tindakan merendahkan kehormatan dan harkat dan martabat seorang hakim (PMKH), selalu didasari oleh ketidakpuasan pihak-pihak tertentu terhadap keputusan dan sikap hakim. 

Ungkapan demikian muncul karena keadilan dipandang tidak berpihak pada pelaku. Namun, menempuh “jalan kekerasan” tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Kehormatan dan harkat dan martabat seorang hakim wajib dilindungi dan dihormati oleh siapapun. Martabat dan harkat dan martabat tidak hanya dijaga oleh lembaga peradilan saja, namun dijaga bersama oleh seluruh komponen masyarakat.