Grab dan Uber "Bandel" Langgar Aturan

Langgar PM 26, Pengelola Taksi Harap Pemda Bali Tegas "Tutup Aplikasi" Grab dan Uber

  08 Agustus 2017 PERISTIWA Badung

Baliberkarya.com

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Badung. Sudah hampir dua tahun belakangan ini, Aplikasi angkutan asing baik Grab maupun Uber terus saja membandel melanggar Peraturan Menteri (PM) Nomor 26 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Hal itu makin diperparah oleh Pemerintah pusat dan daerah yang seolah membela aplikasi angkutan online dengan ikut-ikutan tidak tegas menegakkan aturan resmi yang sudah disepakati dan berlaku efektif secara keseluruhan sejak 1 Juli 2017.
 
Setelah sebelumnya transport lokal yang tergabung dalam Aliansi Sopir Transport Bali (Alstar-B) dari berbagai pangkalan diwilayah Bali menyatakan dalam waktu dekat sudah siap "Turun Kabeh" karena janji-janji yang diucapkan oleh pemerintah daerah baik Wakil Gubernur Bali, Ketut Sudikerta dan Kadishub Bali, IGA Sudarsana termasuk Kadiskominfo Bali, Nyoman Sujaya tidak terbukti ketegasannya dalam menegakkan aturan PM 26 Tahun 2017. 
 
Saat ini, Aliansi Sopir Transport Bali (Alstar-B) dari berbagai pangkalan diwilayah Bali sedang mematangkan rencana "Turun Kabeh" agar seluruh anggota dan sopir transport lokal dilibatkan tanpa kecuali. Bahkan seluruhnya akan mogok massal dan satu hari hanya turun ke jalan untuk ikut "Turun Kabeh". Untuk mematangkan aksi "Turun Kabeh", para pengurus Aliansi Sopir Transport Bali (Alstar-B) bersama anggotanya Selasa siang (8/8/2017) menggelar pertemuan bersama para pengelola taksi di Bali seperti Taksi Ngurah Rai, Taksi Wahana Dharma, Blue Bird Group, dan pengelola Taksi Komotra.
 
 
 
Ketua Koperasi Jasa Angkutan Taxi Ngurah Rai Bali, Wayan Pande Sudirta menyatakan sesuai kesepakatan berbagai pihak, baik pihak angkutan online maupun pihak transport lokal di Polresta Denpasar bahwa sesuai PM 26 Tahun 2017 bahhwa aplikasi angkutan online Grab dan Uber sepakat akan menyelesaikan pengurusan ijinnya sebelum 1 Juli 2017.
 
Namun kenyataannya aplikasi angkutan online Grab dan Uber sampai sekarang belum menyelesaikan pengurusan ijinnya dan belum berbadan hukum Indonesia. Mestinya, kata Pande, aplikasi Grab dan Uber tidak boleh bertindak selaku penyelenggara angkutan umum sehingga tidak boleh merekrut sopir langsung dan menentukan harga. 
 
"Keduanya ini semuanya dilanggar. Kenyataannya dari sisi harga sudah dihantam atau dikalahkan dengan aplikasi ini karena bebas menentukan harga. Justru karena menentukan harga inilah Grab dan Uber melanggar PM26/2017. Meskipun saat ini ditemukan banyak yang tertangkap di lapangan, karena pelaksanaan angkutan online ini tidak berijin. Jadinya semuanya aturan dari PM26 ini dilanggar. Saya tidak mengerti apakah Dishub Bali paham soal ini. Jadi kita tidak sekedar menolak sepanjang dia mengikuti aturan agar bisa bersaing dengan sehat kami tidak masalah sebenarnya," ucap Pande. 
 
 
Pande yang juga Ketua DPU Taksi DPD Organda Bali menegaskan selama ini aplikasi Grab dan Uber membandel dibiarkan beroperasi padahal belum berijin resmi, apalagi aplikasi asing itu hanya bertujuan untuk membunuh transportasi lokal yang sudah resmi di Indonesia. 
 
Menurut Pande, seharusnya angkutan taksi lokal lebih murah dari angkutan sewa khusus atau online tapi situasinya kebalik sehingga seolah-olah taksi lokal lebih mahal dari angkutan online. Kenyataanya, lanjutnya, seandainya taksi lokal menerapkan tarif Rp10 ribu, tapi angkutan online yang tak bayar pajak badan dan pajak lainnya menerapkan tarif Rp 5 ribu karena harganya setengahnya agar sopir lokal dan sopir online berantem di bawah. 
 
"Aplikasi angkutan online memengkung atau bandel tidak memenuhi aturan tapi terus dibiarkan pemerintah beroperasi. Mereka gak mau tahu, sopirnya mau mati atau tidak dia gak mau tahu dan mereka tetap jalan. Harusnya tutup saja aplikasi online khan sudah selesai masalahnya. Karena awalnya yang ikut angkutan online ini tidak ada pengusaha angkutan yang ikut. Apalagi seolah-olah pemerintah melindungi angkutan online ini. Padahal kita yang berijin, jadinya seolah-olah kita tidak perhatikan," tegas Pande.
 
 
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Organda Badung yang juga Ketua Koperasi Wahana Dharma, Ngurah Sutharma menilai pemerintah terus berjanji sampai sekarang namun kenyataannya aplikasi Grab dan Uber belum ditutup. 
 
Sutharma mengajak transport lokal Bali menyatukan visi dan misi dengan menyentuh pikiran pemerintah agar tidak menerima Grab dan Uber yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemerintah. Baginya, Pemerintah harusnya betul-betul memperhatikan hal ini dan yang terpenting Menkominfo harus segera menutup aplikasi Grab dan Uber. 
 
"Ini yang perlu dikaji dan diluruskan, agar Bapak Gubernur perhatikan hal-hal seperti ini. Kenapa bergandengan tangan dengan hal-hal seperti ini. Pak Gubernur sudah menolak, tapi kenapa ada pejabat Dishub Bali yang malah berdampingan dengan mereka. Jika Pemerintah tidak tegas mereka (aplikasi online Grab dan Uber) akan tetap seperti ini. Seperti orang yang baru berusaha akan terus ikut, tanpa memenuhi aturan yang benar. Hal ini sangat merugikan kita bersama," sentilnya yang dibenarkan Ketua Komotra Taksi, Haji Hasbi.
 
 
Sementara itu, GM Blue Bird Area Bali-Lombok dr. Putu Gede Panca Wiadnyana menceritakan hal berbeda dengan kondisi yang ada di Lombok, NTB dimana sampai sekarang tidak ada angkutan online karena aplikasi angkutan online Grab dan Uber terlebih dahulu diminta agar memenuhi seluruh aturan yang harus dipenuhi sebelum boleh beroperasi 
 
"Jika tidak memenuhi aturan, Grab dan Uber jangan dulu beroperasi di Lombok. Koperasi yang diajak kerjasama juga mengungkapkan tidak ada angkutan online yang memenuhi jadinya angkutan online tidak boleh beroperasi di Nusa Tenggara Barat," jelas dr. Panca.
 
Menurut dr. Panca, transport lokal Bali selama ini tidak anti dengan angkutan aplikasi online, karena Blue Bird sudah lama memiliki aplikasi sebelum adanya Grab dan Uber. Kenapa tidak ribut? karena aplikasi online hanya sistem reservasi order penganti telpon atau SMS. Untuk itu, dr. Panca minta ketegasan pemerintah karena persaingan yang tidak sehat dalm arena bermain yang sama atau "same level playing field" berdampak pada pengusaha taksi resmi yang sudah ada selama ini. 
 
 
Selain itu, lanjut dr Panca, juga berdampak pula kepada pelaku online itu sendiri karena "operational cost" yang harus mereka tanggung sendiri dengan harga yang tidak rasional. Bahkan, Pemerintah juga terdampak dimana pada tahun 2016 lalu hilangnya potensi pajak 1.6 Triliun akibat adanya aplikasi angkutan online yang tak membayar pajak badan yang seharusnya bisa diambil Pemerintah.
 
"Pemerintah harusnya tinggal tunjukkan saja hal-hal legal kepada masyarakat. Persyaratan dalam PM 26 dari pasal 50, 51, 52 apa saja yang sdh dipenuhi angkutan aplikasi online. Sudah apa belum dipenuhi sama mereka (Grab dan Uber). Tinggal di list dan tunjukkan, kalau belum suruh mereka melengkapi. Kenapa di daerah lain begitu tegas, sedangkan di Bali tetap dibiarkan. Padahal harusnya diperlakukan sama di Indonesia," tegasnya mengakhiri.(BB).