Menuju Pembangunan Ramah Lingkungan, DPD RI Wajib Suarakan Aspirasi Budaya Masyarakat Bali

  29 Agustus 2016 TOKOH Denpasar

Baliberkarya/ist

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Menyikapi persoalan lingkungan di Bali Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) mengelar diskusi Suara DPD Suara Daerah dengan tema; “Peran DPD dalam mengawal pembangunan ramah lingkungan”, Senin (29/8/2016) betempat di Kantor DPD RI perwakilan Bali, Jl. Cok Agung Tresna Denpasar. Diskusi diikuti oleh kalangan pemuda, mahasiswa dan sejumlah perwakilan organisasi kepemudaan.
 
 
Diskusi Peran DPD dalam mengawal pembangunan ramah lingkungan kali ini terselenggara atas kerjasama anggota DPD RI dapil Bali Gede Pasek Suardika, SH, MH. Hadir sebagai pembicara yaitu;  Agung Putradhyana (penggerak energy baru terbarukan), Made Nurbawa (pemerhati budaya dan lingkungan), dan Suriadi Darmoko (anggota WALHI-Bali).
 
 
Dalam sambutannya Gede Pasek Suardika mengatakan, diskusi dimaksudkan menggali aspirasi dalam upaya mendorong kesejahteraan masyarakat Bali dari sisi lingkungan hidup. Hal ini terkait juga degan tugas dan wewenang DPD RI sebagaimana amanat Pasal 22D dan Pasal 23F UUD Negara Republik Indonesia 1945. Hal ini perlu bicarakan bersama kalangan anak muda karena kedepan generasi muda lah yang akan menikmati, papar Pasek Suardika.
 
 
Dalam presentasinya Agung Putradhyana memaparkan potensi energy baru terbarukan di Bali khususnya energy tenaga surya. “Bali itu Energy, potensi energy matahari untuk pembangkit listrik ramah lingkungan sangat besar dan di Bali belum mengelolanya secara maksimal,”kata Agung Putradhyana.
 
 
“Dari sisi potensi, di Bali ada istilah “sarwa ada” (serba ada), tetapi belakangan diartikan serba boleh,” sindir Putradhyana.
 
 
Sementara dilihat dari partisipasi publik Bali dalam mengawal perumusan kebijakan pembangunan ramah lingkungan, pembicara kedua Made Nurbawa banyak mengulas dari demensi budaya. Ia mengatakan, pembanguan di Bali tidak selalu berarti membangun. Pembangunan bisa dimaknai sebagai upaya menata kembali pembangunan yang sudah ada yang belum selaras atau mencermikan spirit budaya Bali, jelasnya.
 
 
Made Nurbawa menambahkan, masyarakat Bali memiliki faalsafah “Tri Hita Karana” dengan demikian jika kita cermati maka secara budaya pengertian lingkungan menurut keyakinan orang Bali adalah “alam semesta” (makro dan mikro komos) itu sendiri yang terdiri dari organ dasar Parahyangan, Palemahan dan Powongan.
 
 
Ramah liingkungan berarti selaras atau sesuai dengan falsafah “Tri Hita Karana”, oleh sebab itu harus ada peran negara agar masyarakat Bali terus bisa melestarikan budayanya (berpartisipasi memahami budaya). “Perumusan kebijakan pembangunan di Bali tidak akan menciptakan keteraturan apabila tidak selaras budaya, karena aktivitas masyarakat Bali adalah sebagian besar adalah aktivitas budaya,”tegas Nurbawa.
 
 
Dari sisi partisipasi publik, peran DPD RI diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk kembali memahami budaya  Bali yang sesungguhnya karena budaya adalah pilar negara. “Rusaknya pilar rusaknya negara.  Pembangunan yang cendrung menyeragamkan di satu wilayah dengan wilayah lainnya sama saja merusak Bhineka Tunggal Ika yang melandasi adanya idiologi Pancasila.  Oleh sebab itu basis perumusan kebijakan pembangunan ramah lingkungan di Bali wajib berangkat dari kesadaran budaya. “Tugas DPD  dalam mewakili daerah yang dimaksud disini adalah “wilayah budaya”, DPD dapil Bali berkewajiban menyampaikan aspirasi budaya masyarakat Bali, imbuh Nurbawa.
 
 
Sementara Suriadi Darmoko dari WALHi Bali menyoroti soal “konsistensi” kebijakan pembangunan Bali. “Banyak kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, Bali katanya sudah kelebihan kamar hotel, tetapi ijin hotel baru tetap dikeluarkan,”pungkas Darmoko. (BB)