Hasil Studi Sopir Online Kerap Goda Wanita

Tak Ada Bertanggungjawab, Warga Dihimbau Berhati-hati Gunakan Taksi Online

  17 April 2017 PERISTIWA Denpasar

Baliberkarya.com/ist

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com - Denpasar. Salah satu hasil studi dengan melakukan berbagai survey menunjukan adanya diskriminasi terhadap penumpang wanita atau perempuan saat menggunakan transportasi online (angkutan daring) seperti jenis aplikasi Uber. 
 
Pelayanan negatif itu dilakukan sejumlah sopir angkutan online khususnya di negara-negara seperti Amerika Serikat yang paling awal dijajaki oleh perusahaan aplikasi angkutan online itu.
 
Seperti dilansir laman media lokal Dailymail, studi dilakukan selama dua tahun oleh MIT Sloan School of Management, Stanford University dan University of Washington. Riset itu mengambil sampel dari 1.400 pengguna aplikasi di wilayah Boston dan Seattle.
 
 
Hasilnya, sopir online melakukan seleksi ketat terhadap penumpang mahasiswa. Sopir online kerap melihat jalur yang telah ditentukan dan menilai waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan sebelum menerima penumpang mahasiswa.
 
Di Seattle, penumpang berkulit gelap bahkan harus menunggu sekitar 16 hingga 28 persen lebih lama ketimbang penumpang berkulit putih saat menggunakan UberX. Penumpang berkulit gelap juga harus menunggu 29 sampai 35 persen lebih lama sebelum permintaan sopir mereka diterima ketimbang kulit putih saat menggunakan UberX.
 
Seperti Seattle, Boston juga memiliki masalah serupa. Penumpang dengan nama yang terlihat Afrika-Amerika dua kali lebih banyak mendapatkan pembatalan permintaan ketimbang nama penumpang kulit putih.
 
Sopir transportasi online memang tidak melakukan hal serupa terhadap penumpang wanita. Namun, mereka kerap membawa penumpang wanita berputar-putar sebelum mencapai tujuan untuk mendapatkan keuntungan lebih. 
 
 
Penumpang wanita yang ikut serta dalam riset mengaku pernah dibawa tiga kali melintasi persimpangan yang sama. Kondisi ini diperparah dengan tingkah sopir yang juga kerap merayu penumpang wanita.
 
Nah, bagaimana di Indonesia, sebelumnya pernah dikabarkan seorang perempuan bernama Rachmania juga diduga mengaku nyaris diculik dan diperkosa oleh seorang sopir Taksi Uber di Pulau Bali. 
 
Hal itu diungkap rekannya Rachmania bernama Wu Chang dengan memajang aplikasi Uber yang telah dibatalkannya di situs berbagi foto, Path. 
 
Di foto dalam situs yang dipajangnya, dia men-screenshoot pemesanan dengan sopir taksi bernama Rendi. Lantas ia menulis "Hati2!!!! Ada kejadian serem terjadi sama temen kita. Amost got kidnapped and raped with this uber driver at 3.30 am in the morning in bali. Everyone be careful".
 
 
Terkait hal itu, Ketua DPC Organisasi Angkutan Darat (Organda) Badung, K. Ngurah Sutharma, SH meminta masyarakat jangan selalu percaya dengan sesuatu yang mudah dan murah, karena karakter sopir Taksi Online tidak ada yang tahu dan tidak ada perusahaan yang bisa bertanggungjawab. 
 
Menurutnya, Uber hanyalah sebagai aplikasi angkutan online, sehingga masyarakat khususnya para perempuan diminta harus berhati-hati dan waspada terhadap keamanan dan keselamatan dengan iming-iming kemudahan dan biaya yang murah. 
 
Menanggapi hal miring tersebut, manajemen Uber di Indonesia mengatakan diskriminasi berlawan dengan kebijakan perusahaan. Bagi manajemen, diskriminasi tidak memiliki tempat dalam komunitas Uber. 
 
 
"Kami percaya Uber membantu permasalahan transportasi. Tapi riset semacam ini juga membantu kami terus berkembang," kata salah satu manajemen Uber saat dihubungi menolak namanya dikorankan itu. 
 
Seperti diketahui, transportasi berbasis daring atau online tersebut ditolak di seluruh daerah termasuk Bali. Selain karena faktor keamanan dan keselamatan penumpangnya, angkutan online ini dianggap sudah merusak tatanan transportasi di Indonesia. 
 
 
Bahkan, 1 tahun terakhir juga kerap terjadi aksi unjuk rasa di berbagai daerah dari transport lokal resmi yang memprotes sepak terjang angkutan online yang aplikasi belum resmi berijin namun tetap dibiarkan beroperasi secara liar oleh pemerintah. 
 
Pemerintah juga dinilai mengulur-ulur waktu dan tidak tegas menerapkan aturan mengingat segala bentuk perijinan belum beres namun angkutan online dibiarkan begitu 'ngerecoki' angkutan lokal resmi yang sudah ada selama ini. Parahnya, berbagai Peraturan Menteri (PM) Nomer 32 Menteri Perhubungan Tahun 2016 yang telah disepakati bersama hingga kini belum juga mau dipenuhi angkutan online. 
 
 
Tak heran, jika angkutan online yang sudah banyak diberikan kesempatan untuk segera memenuhi aturan dan perijinan dalam masa sosialisasi yang sempat diperpanjang, namun hingga kini tidak ada niat angkutan online memenuhi PM 32 tersebut sehingga membuat angkutan lokal resmi hilang batas kesabarannya dan bertekad mendesak pemerintah agar menutup aplikasi angkutan online di Indonesia termasuk juga di Bali. (BB).