Keterbukaan dan Kritik, Layaknya Botol dan Tutupnya. Itu Kata Anggota DPR-RI Dhamantra!

  07 November 2016 PERISTIWA Denpasar

istimewa

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Masyarakat Bali belakangan ini dibuat heboh dengan adanya pelaporan seorang budayawan Bali, I Made Sudira. Nama lain atau akrab disapanya, Aridus Jiro. Aridus mendapat panggilan dari pihak kepolisian hingga dua kali pemeriksaan. Ujungnya, dia  ditetapkan jadi tersangka.
 
Ikhwal di atas menyangkut laporan Karo Humas Provinsi Bali Dewa Gede Mahendra yang ditunjuk oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika untuk dilaporkan. Tak hanya itu, Aridus tampaknya mesti disel menyusul laporan ini.
 
Setelah mencermati hal ini, anggota DPR RI Komisi VI Nyoman Dhamantra pun angkat bicara. Bayangkan saja, jika seorang rakyat melakukan kritik dan itu tiba-tiba dianggap menghina, si masyarakat ini akan masuk sel.
 
Apalagi, media yang digunakan ialah sosial media, dimana semua orang kini dengan bebas menggunakannya.
Dhamantra menyebut, jika saat ini dengan kasus Aridus, ada semacam kegagalan pemahaman dari seorang pemimpin Bali terhadap rakyatnya. 
 
Alasan dasarnya, lontaran pernyataan di sosial media itu, sudah sewajarnya diberikan jawaban dengan tata cara sosial media. Bukan malahan, seakan terlihat pemimpin menunjukkan taringnya dengan melakukan upaya pembungkaman. Apalagi, ranahnya sudah ke pidana.
 
Dhamantra menegaskan, pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang dapat dengan arif menerima kritik dari rakyatnya. Apalagi di era demokrasi seperti sekarang ini. 
 
"Rasanya sulit memisahkan antara keterbukaan dan kritik. Saat ini, dua hal itu dalam proses demokratisasi laiknya botol dengan tutupnya. Saling melengkapi," kata Damantra di Denpasar, Senin (7/11/2016).
 
Pemimpin yang rentan terhadap kritik, samvung dia, dapat dipastikan enggan untuk memberikan keterbukaan pada rakyatnya. Dan kondisi semacam ini, sangat perlu disikapi bersama. Khususnya aparat penegak hukum yang harus jeli dan jernih melihat persoalan seperti ini.
 
"Jangan sampai hukum yang ditegakkan hanya menjadi sandaran bagi prilaku pemimpin dengan kesewenanganya," ungkap Pria asali Desa Sumerta itu.
 
Dhamantra mencontohkan, kasus Aridus dengan kasus penaikan bendera Pospera yang melakukan pelaporan karena dianggap aktivis Bali Tolak Reklamasi melakukan SARA, merupakan pelajaran berharga bagi proses demokratisasi di Bali. Yang intinya, Kepolisian tidak boleh membuat dosa sejarah akibat ketidak mampuannya memaknai semangat demokrasi itu sendiri.
 
"Aparat penegak hukum bukanlah merupakan alat kekuasaan, yang begitu mudahnya menghukum rakyat. Hanya karena, penegak hukum berhadapan dengan kepentingan kekuasaan.
 
"Semangatnya memang betul, semua orang sama di mata hukum. Tapi, yang harus diingat ialah sangatlah sulit melepaskan hak seseorang dari kekuasaan yang dimilikinya," tegasnya.
 
Dhamantra mengimbau tegas, sekaligus menaruh harapan, demi suksesnya proses demokratisasi di Bali, di bawah pimpinan Gubernur Made Mangku Pastika, kasus itu semua tidak boleh menjadi kerikil yang dapat menodai perjalanan demokrasi di Bali. Terlebih di Indonesia di era reformasi ini. 
 
"Untuk itu saya meminta agar kepolisian tidak secara represif menggunakan kewenanganya, ketika harus menghadapi rakyat minoritas yang tuna kekuasaan. Salam Perubahan," ujarnya. (BB).