Peneliti Jepang “Bedah” Subak di Bali

  25 Juni 2018 TOKOH Denpasar

istimewa

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Eksistensi pengelolaan sistem irigasi tradisional Bali yang bernama subak, tetap menarik sebagai obyek penelitian. Baik oleh peneliti lokal, nasional, bahkan peneliti asing. Kali ini, peneliti dari Universitas Tokyo, Naori Miyazawa, Ph.D. “membedah” eksitensi subak dengan sangat detail.
 
 
Peneliti yang mulai fasih mengucap salam “Om Swastyastu” itu bahkan mampu menawarkan sejumlah solusi atas keberlanjutan subak di Bali. Menurut Naori, pemerintah seharusnya mengadopsi kebijakan baru untuk mendukung keberlanjutan sistem Subak. 
 
“Pasalnya, kegiatan kelompok Subak  tidak hanya mencakup pasokan air pertanian, tetapi juga memiliki fungsi sosial, budaya, dan ekonomi,” ujar Naori Miyazawa dalam workshop Internasional dengan tema “Subak Management on Environmental Sustainability” di Kampus Universitas Udayana-Sudirman-Denpasar pada Senin (25/6/2018).
 
 
“Sebagai bagian dari budaya Bali, lembaga Subak adalah organisasi sosial yang memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan utamanya mengatur penggunaan air untuk irigasi sawah, sehingga keberadaan dan hak tradisionalnya perlu diakui dan dihormati,” ujar Naori dalam workshop yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Pertanian, Universitas Udayana.
 
 
Menurut Naori, tantangan utama dalam upaya menjaga keberlanjutan Subak saat ini adalah konversi lahan dari penggunaan pertanian ke non-pertanian. Dimana tingkat konversi lahan mencapai rata-rata 750 hektar per-tahun. Apalagi di wilayah Bali selatan memperlihatkan bahwa semakin dekat Subak dengan daerah pariwisata maka semakin rendah kemungkinan Subak tersebut akan berkelanjutan.
 
Naori mengungkapkan Subak sebagai  warisan budaya dunia yang telah diakui UNESCO pada 2012 harus mampu memberi manfaat ekonomi dan memberi kesejahteraan bagi masyarakat. Dimana fungsi ekonomi Subak harus diperkuat dengan pelatihan kapasitas melalui dukungan untuk membangun koperasi, pengembangan pasar dan lain-lain. Selain itu, dukungan untuk usaha skala kecil dan memperluas kebijakan pembebasan pajak, serta diversifikasi pasar untuk beras lokal misalnya melalui bisnis online.
 
 
Sementara peneliti Subak dari Fakultas Pertanian Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, SU menyampaikan sejak 10 abad yang lalu subak telah berkembang sebagai lembaga sosial budaya, tapi saat ini harus juga dikembangkan sebagai lembaga ekonomi. 
 
Pemanfaatan teknologi di Subak juga perlu terus ditingkatkan, seperti penyediaan penyediaan benih bersertifikat, pengembangan sistem pertanian terpadu, pengolahan produk dan pemasaran. Petani juga harus dididik untuk memiliki kreativitas dalam membuat penghasilan tambahan atau diversifikasi pekerjaan.
 
 
Windia menegaskan semestinya ada upaya untuk memperkuat kelembagaan Subak. Penguatan tersebut salah satunya adalah penyediaan anggaran yang mencukupi bagi sektor pertanian. “Menurut FAO total anggaran pertanian seharusnya 10% dari total anggaran di tingkat nasional atau provinsi atau kabupaten. Selain itu jangan terburu-buru mengimpor produk pertanian,” papar Windia.
 
Windia mengusulkan perlu adanya pemberian gratis pajak terhadap tanah milik petani guna mempertahankan keberlanjutan Subak. Selain itu, perlunya penyediaan alokasi anggaran desa untuk pengembangan subak di wilayah masing-masing desa. Pada bagian lain, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra, Dr.Ir.Gede Sedana, MMA juga banyak mengungkap karakteristik Subak dan tantangannya dalam mempertahankan kearifan lokal Bali itu di tengah perubahan global.(BB)