Wayan Sudirta: Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja Berdampak Positif Namun Tak Mudah Dimengerti

  19 Februari 2022 OPINI Nasional

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Jakarta. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terhadap UU Cipta Kerja dari sudut positif, dapat dipresiasi. Namun putusan MK dari sisi kepastian hukum tidak mudah dimengerti. Hal ini disampaikan I Wayan Sudirta dalam acara Webinar Diskusi Hukum Himpunan Mahasiswa Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia (HIMA PDH UKI) di Jakarta, Sabtu (19/2).

“MK telah membuka lebar pintu partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Putusan MK tersebut tegas menyatakan bahwa partisipasi masyarakat harus dilakukan secara bermakna/meaningfull partisipation. Dari sudut pandang ini, masyarakat sebagai pemilik kedaulatan diberikan angin segar untuk berperan aktif dalam law making process," papar Wayan yang memberikan sambutan sebagai Ketua Umum HIMA PDH UKI.

Selanjutnya Wayan menyampaikan bahwa ada catatan kritis terhadap Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Pertama, MK tidak memberikan kepastian hukum secara mutlak. Kedua putusan tersebut juga dinilai sebagai bentuk intervensi kekuasaan kehakiman terhadap eksekutif. 

Wayan mengutip Ron Fuller dalam buku Internal Morality of Law yang menyatakan salah satu parameter kepastian hukum adalah putusan yang mudah dimengerti. “Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru masuk dalam kategori putusan yang ambigu dalam konsepsi Fuller,” jelas Wayan.

Acara webinar dibuka oleh Bintang Simbolon sebagai Direktur Pasca Sarjana UKI dan Prof. John Pieris sebagai Kaprodi Program Doktor Hukum (PDH) UKI. Dalam sambutannya John Pieris mengatakan bahwa putusan MK cukup mengejutkan banyak pihak dengan diksi yang sedikit susah dimengerti bahkan oleh pemerhati ilmu hukum. 

Tapi yang jelas putusan MK memerintahkan perubahan terhadap 2 UU yaitu UU Cipta Kerja sendiri dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”Catatan kritis saya kepada pembentuk undang-undang adalah tidak etis kalau mengatakan pihak yang tidak sepakat dengan UU ini, ajukan yudisial riview ke MK. Simplifikasi seperti ini sangat tidak sehat,” paparnya. 

Lebih lanjut John menyatakan tujuan PDH dan HIMA PDH UKI melaksanakan Webinar ini adalah ingin mendorong pandangan kritis dari civitas akademika, khususnya para mahasiswa program Doktor Hukum dari berbagai perguruan tinggi. Pandangan kritis ini berfungsi untuk mengemukakan pandangan bagi UU Cipta Kerja serta UU lainnya yang terdampak Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, agar menyusun segala sesuatunya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang mengandung filosofi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi permusyawaratan, dan keadilan/kesejahteraan sosial. 

Narasumber Adiya Daswanta dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa putusan MK layak diapresiasi karena membuka proses formil pembentukan UU Cipta kerja. “Sebenarnya putusan MK tidak harus merubah UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (P3). Akan aneh kalau perubahan UU P3 hanya untuk mengadopsi mengenai Omnibus Law seperti UU Cipta Kerja” jelas Adiya.

Sedangkan Albert Aries dari Universitas Trisakti berpendapat bahwa metode omnibus law merupakan wujud dari kebutuhan legislasi modern. Pembicara lain, Darwin Botutihedari Universitas Islam Indonesia menyatakan bahwa putusan MK melahirkan banyak sekali penafsiran hukum di tengah masyarakat. Sementara Sarip, narasumber dari Universitas Muhammadiyah Surakarta berpendapat bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih berlaku sesuai dengan tenggat waktu putusan MK. 

Selanjutnya dari Universitas Pelita Harapan, Aria Suyudi, menyatakan bahwa proses perubahan UU Cipta Kerja harus dilaksanakan secara tertib prosedural dan dengan standar kepatuhan tinggi terhadap prinsip pembentukan peraturan perundangan yang ada untuk memastikan hasil yang optimal bagi rencana pemerintah untuk mewujudukan Indonesia yang adil dan makmur. Terakhir, Wachid Nugroho, pembicara mewakili PDH UKI menyampaikan bahwa Omnibuslaw sebaiknya dilakukan dengan single substance tidak multi substance seperti UU Cipta Kerja. 

Webinar diketuai Hanugra Ryantoni dimoderatori oleh Blucer Rajagukguk dan Heddy Kandau selaku pembawa acara ini menghadirkan 6 narasumber dari mahasiswa Program Doktor Hukum dari 6 perguruan tinggi di Indonesia. Diskusi juga diikuti oleh 162 peserta yang berasal dari berbagai instansi, kalangan dan daerah. Umumnya peserta sangat antusias mengikuti webinar sampai selesai. 

Dalam sambutan penutupnya, Wayan Sudirta berharap dan mendorong agar kegiatan seperti ini sering dilakukan sehingga kedepan tercipta forum mahasiswa program doktor hukum se-Indonesia sebagai wadah sumbangan pemikiran akademisi bagi negara tercinta. 

“Nilai-nilai Pancasila harus dirumuskan secara sistematis dan holistik sebagai sebuah peraturan perundang-undangan. Hasil dari Webinar ini, akan kami bukukan dalam bentuk prosiding yang akan disampaikan kepada Presiden dan DPR RI,” terang Wayan Sudirta yang juga Anggota DPR Fraksi PDIP.(BB).