Tolak Usulan Penundaan Pemilu, Mudarta: Pertahankan Spirit Reformasi Batasi Kekuasaan Presiden Maksimal Dua Periode

  15 Maret 2022 POLITIK Denpasar

Foto: Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Bali Made Mudarta.

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Skenario penundaan Pemilu 2024 makin berhembus kencang. Belakangan sejumlah elit menggalang dukungan publik untuk memuluskan penundaan Pemilu 2024 ke tahun 2027.

Bahkan sangat jelas terlihat sejumlah partai politik seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) bahkan secara tegas dan terang-terangan mendukung wacana ini. Namun Partai Demokrat konsisten dan tegas menolak Pemilu 2024 ditunda. 

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga terus bersuara kencang menyatakan penolakan Partai Demokrat atas wacana penundaan pemilu untuk melanggengkan kekuasaan ini. Pasalnya, semangat reformasi tahun 1998 untuk membatasi masa jabatan presiden maskimal dua periode, setelah selesai periode pertama lima tahun, dapat dipilih kembali untuk periode kedua selama lima tahun lagi sehingga total seseorang bisa menjabat sebagai presiden RI adalah sepuluh tahun.

“Masa jabatan presiden dua periode itu bagi kita adalah titik final. Tidak ada negosiasi untuk memperpanjang masa jabatan presiden,” kata Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Bali Made Mudarta ditemui di Denpasar Selasa (15/3/2022).

Menurut Mudarta, masa jabatan presiden maksimal dua periode itu sudah angka maksimum dan final untuk memberikan kesempatan adanya regenerasi kepemimpinan termasuk memberikan kesempatan kepada generasi muda Indonesia. 

“Stok calon pemimpin kita banyak. Bagi Demokrat konsitutusi UUD 1945 yang sudah mengatur pembatasan masa jabatan presiden dalam satu periode lima tahun dan bisa dipilih kembali untuk satu periode berikutnya sudah final sehingga Demokrat sangat tegas menolak adanya usulan penundaan Pemilu,” tegas Mudarta.

Apalagi, lanjut Mudarta, jadwal dan tahapan Pemilu 2024 sudah ditetapkan atas kesepakatan pemerintah, DPR RI dan penyelenggara Pemilu (KPU RI dan Bawaslu RI) yaitu pada 14 Februari 2024 untuk pemungutan suara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI, Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan tanggal pemungutan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional 2024 pada 27 November 2024. 

Adanya wacana penundaan Pemilu 2024 yang tentunya berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI, politisi asal "Bumi Mekepung" ini mengungkapkan memang kekuasaan itu sangat menggoda, yang punya kekuasaan bisa mengatur segalanya. 

Bagi Mudarta, sekarang inilah ujian terberat kita mempertahankan spirit reformasi untuk membatasi kekuasaan presiden hanya maksimal dua periode. Untuk itu, ia berharap elit politik yang mewacanakan dan mendukung penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden agar kembali kepada konstitusi UUD 1945. 

"Sebab tidak ada satu alasan pun yang bisa membenarkan penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari dua periode. Terus apa yang menjadi alasan untuk memperpanjang masa jabatan presiden," sentil Mudarta.

Terkait alasan dan dalih bahwa penundaan Pemilu bisa menggerakkan perekonomian dan anggaran Rp 86 triliun yang dianggarkan untuk Pemilu bisa diarahkan untuk menggeliatkan ekonomi dan mensejahterakan rakya ketika Pemilu ditunda, Mudarta menepis anggapan itu.

“Tidak ada alasan untuk memperpanjang jabatan walaupun memang pemimpin itu mampu membuat ekonomi tumbuh 10 persen dan membuat masyarakatnya sejahtera, apalagi situasi sekarang krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 tidak bisa ditangani dengan cepat, ekonomi juga belum pulih, bahan-bahan kebutuhan pokok mahal, dan minyak goreng langka, orang mencari sekolah sulit, setelah lulus sekolah juga mencari kerja sulit,” ungkap Mudarta.

Terlebih juga hingga saat ini sebenarnya anggaran Pemilu sebesar Rp 86 triliun itu belum disepakati dan ditetapkan sehingga diduga pula ada skenario menghambat tahapan Pemilu 2024 dengan menghambat anggarannya.

“Karena koalisi pemerintah besar di atas 80 persen kekuatan partai politik di parlemen ya maka membuat apa saja bisa termasuk bersidang di DPR/MPR RI pun bisa kalau mau mengubah UUD 1945. Itulah salah satu kelemahan kondisi kita saat ini, ego kekuasaan akan muncul karena merasa mendapatkan mayoritas dukungan di parlemen,” pungkas Mudarta.(BB).