Tolak Pajak SPA Naik 40 Persen, Bali SPA Bersatu Yudicial Review ke MK

  12 Januari 2024 PARIWISATA Badung

Bubuhkan tandatangan petisi, Bali SPA Bersatu dalam gerakan #savebalispa meminta kenaikan pajak SPA yang ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi hingga 75 persen dibatalkan.

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Badung. Ketua Bali SPA Bersatu, I Gusti Ketut Jayeng Saputra dalam gerakan #savebalispa meminta kenaikan pajak SPA yang ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi hingga 75 persen dibatalkan karena dapat mengancam kelangsungan usaha SPA.

Dalam pertemuan dengan puluhan pengusaha SPA yang hadir kompak melakukan penandatanganan petisi sebagai bentuk protes kenaikan pajak SPA yang tak realistis tersebut. Bali SPA Bersatu berpandangan jika pajak SPA naik 40 persen diterapkan, maka akan berdampak buruk bagi usaha SPA di Bali.

"Pemberitahuan juga sangat mendadak. Hal ini melanggar hak asasi," kata I Gusti Ketut Jayeng Saputra yang akrab disapa Aji Jaens.

Kenaikan pajak SPA berdasarkan pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Khusus tarif Pajak Barang Jasa Tertentu atau PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, klub malam, bar dan mandi uap atau SPA ditetapkan naik 40-75 persen.

Tak hanya itu, SPA sebagai usaha di bidang kesehatan justru dimasukkan ke hiburan. Bahkan, diharapkan agar Pemerintah tidak memaksakan penerapan pajak 40 persen, lantaran sebelumnya pengusaha hanya dikenakan antara 12,5 hingga 15 persen buat pajak SPA. 

Pajak SPA dinyatakan ikut naik, karena SPA dinilai kegiatan kesehatan melalui air yang dimasukkan dalam kategori hiburan.

"Kami baru mulai setelah diterpa pandemi covid-19 hampir tiga tahun. Kalau dipaksakan akan membuat pengusaha SPA gulung tikar, karena akan sedikit yang datang memanfaatkan usaha yang bergerak di bidang kesehatan ini," kata perwakilan Pelaku Usaha SPA, Debra Maria Rumpesat, dalam acara jumpa pers di daerah Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Jumat, 12 Januari 2024.

Bahkan, Debra berharap pemerintah membatalkan pemberlakuan pajak yang sangat besar, sebab spa bukan hiburan melainkan kesehatan. Untuk itu, tidak bisa diterapkan pajak hiburan.

"Kok tega, pajak sebesar itu dilakukan kepada kita yang baru bangkit dari pandemi. Bahkan, banyak pengusaha yang masih ngontrak tempat dan harus melakukan perbaikan, setelah tiga tahun terhenti, karena Covid. Kita masih merayap, mestinya pemerintah yang support kita," tegasnya.

Disisi lain, Perwakilan Pengusaha/ Pelaku SPA, I Ketut Sudata Yasa Jaya Winata menolak keras atas kenaikan pajak 40-75 persen, karena berimbas dengan sektor lainnya yang berhubungan dengan SPA, seperti laundry dan berbagai usaha lainnya. 

"Kenaikan pajak itu juga berdampak luas bagi usaha lainnya yang terkait, seperti laundry. Selain itu, pekerja SPA akan lari ke luar negeri dan tidak mau stay di Bali bekerja, terutama terapis profesional, karena mendapatkan tawaran lebih baik di negara tetangga. Kami berharap pemerintah membatalkan pajak 40-75 persen dan mengeluarkan dari hiburan, sebab SPA ini wellness atau kesehatan, bukan hiburan. Kami prihatin dengan kebijakan ini. Di Ubud,  banyak SPA dikombinasi dengan healing dan juga yoga," ungkapnya.

Sementara itu, pelaku Spa Mandara, Ni Ketut Suastari mengatakan citra SPA menjadi buruk, jika dimasukkan sebagai hiburan. "Kalo pajak besar maka SPA akan jadi mahal dan ini menyulitkan kelangsungan usaha SPA. Apalagi, Bali sangat terkenal internasional, sehingga sangat jelas sebagai destinasi kesehatan dan SPA tidak layak dikategorikan hiburan," tuturnya.

Menyikapi kondisi yang terjadi, pengusaha SPA melalui kuasa hukumnya sudah mengajukan permohonan Yudicial Review ke Mahkamah Konstitusi atau MK. 

"Kita sudah ajukan Yudicial Review ke MK pada  5 Januari 2024. Saat ini, kami masih menunggu jadwal sidang. Kami intinya minta SPA dikembalikan ke kesehatan bukan hiburan," kata Advokat Mohammad Ahmadi dan rekannya Mohammad Hidayat.

Ditekankan, ada dua hal yang perlu dilakukan dalam menghadapi masalah ini, yakni secara hukum dan politis. "Secara hukum, kita bawa ke MK dan politis diharapkan pemegang kebijakan di daerah bisa menunda pengenaan pajak baru ini," pungkasnya.(BB).