Timbulkan Trauma Seumur Hidup, Aktivis Anak Minta Jaksa dan Hakim Serius Tangani Terdakwa Pedofilia Libatkan Warga Asing

  06 Januari 2021 HUKUM & KRIMINAL Denpasar

Ilustrasi

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Akibat tersangkut kasus pedofilia atau pencabulan terhadap anak di bawah umur, pria asing warga negara Prancis bernama Emannuel Alain Pascal Maillet (53) akhirnya duduk di kursi persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. 

Sudah bisa ditebak, meski ada saksi yang melihat perbuatan terdakwa, namun dalam persidangan terdakwa seperti terdakwa pedofilia pada umumnya justru membantah melakukan aksi pencabulan tersebut.
"Kasus kejahatan seksual terhadap anak atau pedofilia yang bisa dijadikan unsur untuk menjadikan seseorang sebagai pelaku hanya ada dua unsur," ucap aktivis anak dan perempuan Siti Sapurah di Denpasar, Rabu (6/1/2021).

Perempuan yang akrab disapa Ipung ini menyebut unsur pertama yakni saksi korban karena keterangan anak selaku korban dapat dipastikan jujur. Unsur kedua yaitu alat bukti lain berupa hasil visum dan hasil tes psikologi.

"Kalau sekarang kasusnya sudah masuk ke persidangan, tidak mungkin dong tidak terbukti. Khan polisi bukan orang bodoh. Pasti ada dua alat bukti yang cukup sehingga dia menjadi tersangka, P21 dan ke persidangan," tegasnya.

Lebih jauh Ipung menjelaskan, sudah bukan hal aneh jika pelaku pedofilia tak mengakui perbuatannya. Apalagi pelaku tahu jika ancaman pidana bagi pelaku pedofil cukup tinggi.

Ipung tak memungkiri jika di tahun 2002 ancaman pidana terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak masih rendah yaitu minimal 3 tahun dan maksimal pidana penjara 15 tahun. Namun sejak adanya perubahan Undang-undang pada tahun 2014, ancaman pidana bagi pelaku pedofile naik menjadi minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.

"Tapi pada tahun 2016 saya berteriak, itu pas di acara Indonesia Lawyer Club. Saat itu, saya bilang bisa tidak pelaku kejahatan seksual terhadap anak, diancam pidana minimal 20 tahun dan maksimal hukuman mati, itu bahasa saya di ILC," tuturnya.

Ide berani dan cerdas dari Ipung kemudian direspon pemerintah dengan mengeluarkan Perpu nomor 1 tahun 2016 yang kemudian dijadikan Undang-undang nomor 17 tahun 2016, dan saat ini muncul PP nomor 70 tahun 2020 di mana ada ancaman pemberatan bagi pelaku kejahatan seksual.

Menurutnya, dalam PP nomor 70 tahun 2020, ancaman hukuman bagi pelaku pedofile minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun, sampai hukuman mati atau hukuman seumur hidup.

"Ditambah pemberatan lain seperti kebiri kimia, ada pemasangan alat detektor jika dia tidak dihukum seumur hidup atau hukuman mati. Setelah keluar dari penjara dipasang chip guna pengawasan, serta identitasnya diekspos secara besar-besaran terus menerus," terangnya.

Dengan ancaman pidana yang cukup tinggi tersebut, Ipung mengakui wajar jika pelaku akan berfikir dan akan berupaya menghindari dengan tidak mengakui perbuatannya. Ipung lalu meminta kepada jaksa dan hakim agar serius dalam menangani kasus ini lantaran para pelaku diyakini tidak akan berhenti melakukan aksinya sebelum ia mati.

"Anak yang menjadi korban akan mengalami trauma seumur hidup, dia tidak akan berani berdekatan dengan laki-laki, dia tidak akan berani melihat tubuhnya sendiri karena merasa dirinya sudah rusak," jelasnya dengan raut wajah prihatin.

Seperti diberitakan Baliberkarya.com sebelumnya, Kasipidum Kejari Denpasar I Wayan Eka Widanta saat dikonfirmasi sejumlah awak media menyatakan eksepsi merupakan hak terdakwa dan pihaknya tidak akan terpengaruh dengan sikap terdakwa.

"Kasus ini kejahatan serius karena perbuatan terdakwa membuat korban trauma. Kita akan kawal kasus ini dan tidak akan terpengaruh dengan keberatan terdakwa," ucapnya di Denpasar, Selasa (5/1/2021).

Selain itu, perbuatan terdakwa juga merusak citra Bali sebagai daerah yang bergantung di sektor pariwisata. Perbuatan terdakwa sungguh tak terpuji karena mencabuli korban yang merupakan anak sahabatnya sendiri. 

Parahnya, terdakwa melakukan perbuatan cabulnya sebanyak 10 kali yang dilakukan terdakwa sejak 2017 lalu. Mirisnya, aksi bejat terdakwa dilakukan terhadap korban yang baru berusia 10 tahun di rumahnya di kawasan Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. 

Korban yang saat itu menginap di rumahnya dibawa masuk ke kamarnya. Untuk memuluskan niat birahinya, terdakwa menjanjikan hadiah kepada korban. Terdakwa juga mengancam tidak akan mengizinkan korban bertemu dan bermain dengan anak terdakwa.

Perbuatan terdakwa awalnya terbongkar ketika korban bermain di sebuah wahana permainan air di kawasan Benoa pada 26 September 2020 lalu. Kala itu, terdakwa mengajak korban ke toilet sembari berkata akan memberi hadiah kepada korban. Korban lalu mengikuti niat terdakwa dan tragisnya peristiwa pencabulan kembali dilakukan terdakwa berulang-ulang. 

Orangtua korban yang merasa curiga lalu dengan perlahan-lahan mengikuti terdakwa dan anaknya ke toilet. Benar saja, dugaan orangtua korban terbukti saat melihat terdakwa melakukan pencabulan kepada anaknya sehingga melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian sebelum akhirnya disidangkan di PN Denpasar.

Seperti diketahui, pedofilia adalah gangguan seksual yang berupa nafsu seksual terhadap remaja atau anak-anak di bawah usia 14 tahun. Orang yang mengidap pedofilia disebut pedofil dan seseorang bisa dianggap pedofil jika usianya minimal 16 tahun. Pedofilia juga didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 18 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusif pada anak prapuber.(BB).