Tanah Pura Dalem Kelecung Sudah Bersertifikat Diperkarakan, Bendesa Alit MDA Nilai Proses SHM Sudah Sesuai Prosedur

  31 Mei 2021 SOSIAL & BUDAYA Tabanan

Foto: SHM aset tanah Pura Dalem Desa Pakraman Kelecung di Desa Tegal Mengkeb, Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan.

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Tabanan. Kasus aset tanah adat milik Pura Dalem Desa Pakraman Kelecung di Desa Tegal Mengkeb Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan yang dipermasalahkan dan diklaim pihak tertentu hingga kini terus bergulir dan menjadi perhatian publik.

Menariknya, aset adat setempat ini sudah bersertifikat dan 'dipasupati' namun ironisnya belakangan justru diperkarakan dan dilaporkan ke pihak kepolisan. Tak tanggung-tanggung, Prebekel Tegal Mengkeb dan Bandesa Adat Kelecung serta Penyanding (warga atau krama) juga diseret untuk diadukan ke ranah hukum.

Terkait sengketa aset adat yang sangat disayangkan banyak pihak ini, pihak Majelis Desa Adat (MDA) Kecamatan Selemadeg Timur akhirnya angkat bicara dan menyayangkan persoalan internal ini tidak diselesaikan di tingkat desa adat. Pasalnya, kalau kasus ini sudah dibawa ke proses hukum ia menilai pasti sudah ada pihak yang kalah dan menang. 

"Menurut tiyang (saya) pihak pengadu harusnya secara intens mengadakan pertemuan dengan pihak desa adat. Tapi kalau diselesaikan secara kekeluargaan, disinilah akan terwujud 'paras paros' itu dan 'menyame beraya' sesuai dengan dasar-dasar agama, adat istiadat 'deresta' Bali," saran Bandesa Alit MDA Kecamatan Selemadeg Timur, I Gede Budi Yadnya, Senin (31/05/2021).

Lebih jauh Bendesa Alit Kecamatan Selemadeg Timur menjelaskan setelah dirinya mengetahui kronologis permasalahan terjadi bahwa apa dilakukan desa adat Desa Pakraman Kelecung di Desa Tegal Mengkeb dari awal sampai terbit sertifikat baginya sudah sesuai dengan prosedur.

"Setelah tiyang (saya) menyimak kronologis dari permasalahan tersebut ada beberapa hal yang dapat tiyang sampaikan. Bahwa apa yang dilakukan desa adat dari awal sampai terbitnya SHM (Sertifikat Hak Milik) itu menurut tiyang sudah sesuai prosedur (terlepas dari benar atau salah). Artinya sudah sampai penerbitan SHM dari pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional)," ungkap I Gede Budi Yadnya.

Ia justru heran dan bertanya-tanya kenapa baru sekarang pihak pengadu mempermasalahkan tanah adat tersebut setelah terbit sertifikat.

"Pihak pengadu baru mempermasalahkan setelah terbitnya SHM. Seolah-olah desa adat mengklaim tanahnya. Dan akhirnya mengadukan desa adat ke polisi bahwa dalam proses pelaksanaan SHM itu seolah-olah ada pemalsuan. Kenapa setelah SHM itu jadi, baru dipermasalahkan," sentilnya.

Terkait langkah yang akan diambil pihak MDA Kecamatan Selemadeg Timur setelah kasus ini bergulir di ranah hukum, pihaknya mengaku akan mendiskusikan permasalahan ini dengan pihak MDA tingkat Kabupaten.

"Karena ini sudah proses ditingkat pengaduan, titiyang (sata) di tingkat MDA Kecamatan hanya dapat dan terbatas untuk memberikan masukan saja. Untuk keputusannya ada di tingkat MDA Provinsi Bali. Apalagi sudah sampai ke tingkat pengaduan ke polisi (hukum positif) tiyang diskusikan dulu dengan MDA Kabupaten," terangnya.

Sementara dihubungi sejumlah awak media, Patengen Agung MDA Provinsi Bali I Gede Arya Sena menyarankan agar pihak Bandesa Adat Desa Pakraman Kelecung mengajukan surat permohonan pendampingan ke MDA Provinsi Bali. 

"Buat surat permohonan meminta pendampingan dari Bandesa Adat ke MDA Provinsi Bali (Bandesa Agung) lampirkan kronologis itu," sarannya.

Pihaknya berharap Bandesa Adat setiap ada pertemuan atau pemanggilan terkait kasus ini, apa pun bentuknya agar tidak seorang diri. Mengingat Bandesa Adat dikatakan bukan sebagai oknum melainkan melaksanakan swadarma dan swadikara krama adat.

"Jika menghadiri pertemuan apapun bentuknya, Bandesa Adat tidak boleh seorang diri, wajib bersama prajuru lengkap desa adat oleh karena Bandesa bukan oknum dalam perkara ini melainkan melaksanakan swadarma dan swadikara krama adat sesuai mandat paparuman desa atau krama," ungkapnya.

Tak lupa ia menekankan bahwa  persoalan ini masih pengaduan masyarakat (Dumas) bukan pelaporan pidana, sehingga jika panggilan kepada Bandesa Adat maka wajib diajak semua Prajuru atas nama krama desa adat.

"Bahkan bilamana perlu seluruh krama hadir ke kantor polisi," harapnya.

Seperti diberitakan Baliberkarya.com sebelumnya, ada pihak mempermasalahkan tanah adat ini mengadukan Perbekel, Bendesa Adat dan Penyanding (warga) ke polisi atas dalil (pihak diadukan) memberikan keterangan palsu dalam berita acara penerbitan sertifikat terkait tanah adat sebelumnya pada tahun 2017.

Bahkan kabarnya sudah berapa kali mereka (teradu) dipanggil penyidik guna dimintai keterangan. Alhasil, warga pun geram lantaran tanah aday secara turun temurun dikuasai adat dikelola sebagai lahan parkir dan tempat melasti ini disebut-sebut mulai diklaim semenjak dibuatkan jalan dari timur.

Salah satu kuasa hukum Desa Adat Pakraman Kelecung I GN. Putu Alit Putra, S.H, menyatakan bisa menghormati upaya dilakukan pihak yang mempersalahkan, namun ia sangat menyayangkan munculnya permasalahan ini dan pihaknya mengaku akan mendampingi terus warga Desa Adat. 

"Jika mereka sebagai pihak yang mempermasalahkan yakin itu tanah mereka mestinya pakai pidana penyerobotan tanah bukan pemalsuan dengan mempersoalkan penyanding," sentil I GN Putu Alit Putra, S.H., di kantor hukum B.A.R Law, Advocates & Legal Consultant di Jalan Bay Pass Tanah Lot Tabanan.

Sebagai pengacara bersama pensiunan BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang kini menjadi Advokat I Wayan Sutita, S.H,. akrab disapa Wayan Dobrak dan rekan lainnya IB Putu Raka Palguna, S.H,. melihat munculnya permasalahan ini diduga sarat dengan kepentingan.  

Untuk itu, pihaknya pun hadir mendampingi warga krama adat memberi support mental dan moral. Mengingat mereka ini (Bendesa Adat dan warga  Penyanding) adalah petani ketika diadukan ke polisi merasa tidak nyaman bersentuhan hukum.

"Sebelum lahan milik desa adat ini ada akses jalan dan ditata tidak ada masalah. Ketika memiliki kemanfaatan sebagai akomodasi wisata terletak di pinggir pantai baru muncul klaim dari pihak lain. Sertifikatnya terbit tahun 2017 dan belakangan dipermasalahkan tahun 2020. Ini kan janggal, apalagi tanah adat. Dimana wibawa desa adat nanti," tegas Wayan Sutita alias Wayan Dobrak.

Menurut Wayan Dobrak, bagaimana mungkin dengan dasar luasan IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) yang menjadi PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) setelah diukur resmi BPN dan terbit sertifikat baru menyatakan luasan kurang. Apalagi penerbitan sertifikat milik desa adat ini bersamaan dengan tanah yang mengklaim dalam periode PTSL (Pendftaran Tanah Sistematis Lengkap).

"Pada saat pengukuran dan berita acara berarti kan sudah ada persetujuan, sehingga terbitlah sertifikat," jelas Wayan Dobrak.(BB).