Penyidik Tak Miliki Kewenangan Audit, 4 Saksi Ahli Sebut Kerugian Keuangan Negara 'Harus Pasti' Tak Boleh Perkiraan

  27 April 2023 HUKUM & KRIMINAL Denpasar

Foto: Empat Saksi Ahli memberikan keterangannya dalam lanjutan sidang praperadilan terkait penetapan status tersangka Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. I Nyoman Gde Antara dalam kasus dugaan korupsi dana SPI Unud pada Kamis 27 April 2023 di ruang Cakra Pengadilan Negeri Denpasar. 

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Perjalanan kasus dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) yang mengobok-obok Universitas Udayana (Unud) yang berujung Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. I Nyoman Gde Antara dijadikan tersangka makin terang benderang seiring waktu sesuai fakta persidangan praperadilan di PN Denpasar. 

Dalam lanjutan sidang praperadilan terkait penetapan status tersangka Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. I Nyoman Gde Antara dalam kasus dugaan korupsi dana SPI Unud pada Kamis 27 April 2023 di ruang Cakra Pengadilan Negeri Denpasar keempat orang Saksi Ahli kompeten dibidang hukum yang dihadirkan dalam persidangan yang menjadi perhatian publik menyebut hanya audit BPK yang berwenang menyatakan ada kerugian keuangan negara dan bukan penyidik. 

Mereka juga menyebutkan jikapun ada temuan kerugian keuangan negara dari hasil audit BPK bukan serta merta artinya ada tindak pidana korupsi karena pertanggungjawaban hukumnya bisa saja pidana (pidana korupsi), perdata ataupun administratif.

Keempat orang Saksi Ahli tersebut yakni Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, ahli hukum keuangan negara dari Universitas Indonesia (UI), Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H. sebagai Ahli Hukum Acara Pidana Universitas Islam Indonesia, Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., sebagai ahli hukum administrasi Universitas Gajah Mada (UGM) dan Dr. Dewa Gede Palguna (Dosen Fakultas Hukum Unud).

Terkait dengan apakah ada kerugian keuangan negara dalam persoalan SPI Unud ketika dikaitkan dengan argumentasi Tim Hukum Unud yang mempertanyakan klaim audit dan nilai kerugian keuangan negara yang disampaikan penyidik dalam hal ini pihak Kejaksaan Tinggi Bali dapat disimak dalam keterangan para Saksi Ahli banyak merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan dan juga putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 4/2016 ini mengatur bahwa kerugian keuangan negara hanya bisa dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Apapun substansinya, SEMA itu tentu harus dipatuhi oleh para hakim sebagai pedoman memutus perkara. 

Dalam point Rumusan Hukum Kamar Pidana pada angka 6 pada SEMA ini disebutkan bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. 

Dalam hal ini tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara. Sedangkan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 

Putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss). 

Dalam pertimbangannya, setidaknya terdapat empat tolok ukur yang menjadi ratio legis MK menggeser makna subtansi terhadap delik korupsi. Keempat tolok ukur tersebut adalah (1) nebis in idem dengan Putusan MK yang terdahulu yakni Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006; (2) munculnya ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dalam delik korupsi formiil sehingga diubah menjadi delik materiil; (3) relasi/harmonisasi antara frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam pendekatan pidana pada UU Tipikor dengan pendekatan administratif pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP); dan (4) adanya dugaan kriminalisasi dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan menggunakan frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam UU Tipikor.

“Untuk menentukan kerugian keuangan negara harus ada audit investigatif dari lembaga yang berwenang yakni BPK. Itu dilakukan sebelum proses hukum due procces of law bukan setelah proses peradilan. Dan sesuai putusan MK Nomor 25 Tahun 2016 kerugian negara harus nyata dan pasti berdasarkan nilai buku atau nilai wajar yang nyata,” ucap Saksi Ahli pertama Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, ahli hukum keuangan negara dari Universitas Indonesia (UI).

“Kerugian negara tidak boleh imajinasi, kira kira ataupun asumsi. Jadi harus nyata dan pasti dibuktikan dari dokumen dan hasil audit yang sah dari BPK,” sebutnya.

Saksi Ahli kedua, Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H., sebagai Ahli Hukum Acara Pidana Universitas Islam Indonesia, menegaskan, terkait penetapan tersangka, wajib didahului dengan penghitungan kerugian negara oleh lembaga berwenang yang bersifat nyata dan faktual. Bila suatu kasus memang belum ada perhitungan, yang mana hanya dilakukan oleh penyidik, sehingga penetapan tersangka ini menjadi tidak sah. 

Ditegaskannya bahwa penyidik tidak memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan negara. Jika hal tersebut tetap dilakukan oleh penyidik maka kualitas pembuktiannya tidak terpenuhi. “Kalau penyidik audit sendiri tidak layak jadi alat bukti,” kata Mahrus Ali seraya menerangkan mengenai kualitas alat bukti yang mengacu pada empat hal yakni pertama harus relevan, kemudian yang kedua dapat diterima, ketiga diperoleh secara sah dan yang keempat adalah kualitas pembuktiannya. 

Ditambahkannya biasanya di perkara tipikor di pasal 2 UU Tipikor pasti harus ada penghitungan kerugian negara terlebih dahulu. Ia lantas mencontohkan kasus Adi Purnomo dimana saat itu KPK kalah di pra peradilan karena proses penghitungannya belum selesai oleh BPK, namun sudah dinyatakan tersangka. Kemudian penetapan tersangka terhadap Adi Purnomo dibatalkan oleh hakim. 

Dia menganalogikan suatu kasus dugaan korupsi yang belum ada hasil penghitungan kerugian keuangan negara malah sudah ditetapkan tersangka dengan kasus pembunuhan yang sudah disidangkan padahal korbannya belum meninggal sebelum proses hukum dan baru meninggal di persidangan.

"Kalau kasus pembunuhan kan tidak mungkin orang jadi tersangka sementara korbannya belum mati, apalagi meninggalkan baru di persidangan. Kan tidak seperti itu,” tegas Mahrus Ali.

Dia juga merujuk pada Putusan MK 25/2016 yang menyebutkan bahwa frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss). 

“Jadi penyidik tidak bisa menghitung sendiri kerugian keuangan negara, tetapi harus berkoordinasi dengan lembaga berwenang yakni BPK atau dengan kata lain penyidik mengirimkan surat permohonan resmi kepada BPK dan hasilnya tersebut bisa menjadi laporan atau bukti surat,” terang Mahrus Ali.

Selanjutkan Saksi Ahli ketiga Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., (Ahli Hukum Administrasi UGM) menyatakan dirinya lebih banyak melihat dari sisi hukum administrasi terutama ketika berbicara soal kerugian keuangan negara. Terlebih lagi orang selalu mengidentikkan kasus yang merugikan keuangan negara dengan korupsi. 

"Ini sebenarnya istilah orang selalu mengidentikkan bahwa yang namanya kalau terjadi kerugian negara atau kerugian keuangan negara itu akan selalu berakibat pada korupsi. Padahal tidak demikian," terangnya.

Ditambahkannya setidaknya ada tiga pertanggungjawaban hukum yakni, pertanggungjawaban perdata, pertanggungjawaban administrasi, dan pertanggungjawaban pidana. Namun dalam kasus ini seolah-olah setiap terjadi kerugian keuangan negara atau kerugian negara itu adalah korupsi. 

“Korupsi itu adalah kasus level tertinggi, karena harus ada kesalahan dan itu secara sengaja. Tidak demikian dengan administrasi,” katanya lantas menjelaskan bagaimana konsep kasus korupsi itu sendiri. 

"Misalnya saya sebagai seorang pejabat atau petugas administrasi negara yang membawa uang negara, kemudian uang itu jatuh atau hilang, apakah itu dikatakan sebagai korupsi, kan tidak demikian konsepnya. Itu artinya ada kesalahan, kelalaian administratif. Atau kesalahan perdata karena menimbulkan kerugian," tambahnya.

Dia berbicara tentang audit kerugian keuangan negara dengan merujuk pada Putusan MK 25/2016 dan SEMA 4/2016. “Kerugian keuangan negara itu harus actual loss atau nyata dan pasti maka harus benar-benar dapat dibuktikan. Dan itu harus benar-benar diaudit oleh lembaga yang berwenang. Selain itu dengan merujuk pada SEMA 4 Tahun 2016 yang memiliki kewenagan untuk mengaudit kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK.

Dia juga menyoroti tentang hasil audit yang dihitung sendiri oleh penyidik. Ditegaskannya kembali bahwa kewenangan mengaudit kerugian keuangan negara ada pada BPK, bukan pada penyidik itu sendiri. "Jadi bukan pada penyidik sendiri. Artinya tidak boleh dihitung sendiri, harus dilakukan oleh BPK, dengan kata lain pembuktian jika dilakukan oleh penyidik sendiri itu tidak sah," singgungnya.

Secara analogi umum Hendry Julian Noor menjelaskan bahwa ketika Jaksa menduga ada terjadi kerugian keuangan negara maka secara tertib hukum yang bersangkutan harus mendapat hasil pengauditan dari BPK. "Kalau misalnya Jaksa menduga telah terjadi kerugian keuangan negara, maka kalau mau tertib hukum dan itu yang benar sesuai putusan Mahkamah Konstitusi maupun SEMA, ya berarti penyidik, mau penyidikan KPK, mau penyidiknya Jaksa, mau penyidiknya Polisi, itu semua harus mendapatkan produknya dari BPK yang mendeclare telah terjadi kerugian keuangan negara untuk dapat menyatakan telah terjadi kerugian keuangan negara,” tegasnya.

Sementara Saksi Ahli keempat yakni Dr. Dewa Gede Palguna, selaku Dosen Fakultas Hukum Unud menambahkan, sesuai keputusan mahkamah konstitusi nomor 25 tahun 2016 dijelaskan bahwa kata dapat merugikan keuangan negara itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Menurut konstitusi, kerugian negara itu harus pasti jumlahnya dan itu harus dilakukan oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk oleh instansi wewenang. "Oleh karena itu audit tidak boleh dilakukan sendiri di luar BPK, BPKP dan lembaga berwenang lain," tegas mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.(BB).