Pejabat Unud Akui Ada Skenario Jatuhkan Prof Antara, Pakar Hukum: Dana SPI Bukan Uang Negara, Penyalahgunaan Bukan Korupsi 

  01 November 2023 HUKUM & KRIMINAL Denpasar

Dok Rektor Unud nonaktif, Prof Nyoman Gde Antara saat jalani persidangan di Tipikor Denpasar.

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Salah satu pejabat di kampus Universitas Udayana (Unud) membenarkan pernyataan Kuasa Hukum Rektor Unud nonaktif, Prof Nyoman Gde Antara, Hotman Paris Hutapea bahwa ada skenario oknum internal kampus dengan pihak luar atau eksternal luar kampus Unud untuk menjatuhkan Prof Antara.

“Ini permainan politik dan pasti betul (ada skenario internal dan eksternal untuk menjatuhkan Rektor Antara). Semua rekening yang dibuat atas sepengetahuan Kementerian Keuangan. Cepat atau lambat pasti ketahuan siapa di internal yang bermain dengan pihak yang ada di luar kampus dan pasti ketahuan siapa saja oknum itu,” kata pejabat Unud yang enggan namanya diekspos di media, Rabu (1/11/2023). 

Menurutnya, dana SPI Unud semua dalam bentuk deposito dan bila belum berjalan pembangunan atau pengembangan dari hasil pelelangan atas masukan dari Kementerian Keuangan termasuk bunganya juga diaudit. Walaupun dibelikan mobil, juga atas nama Unud dan bukan atas nama pribadi. 

“Nanti semua yang terlibat akan menerima azab derita sakit yang tidak dapat tersembuhkan. Derita yang sangat lama, keluarganya akan hancur,” ungkapnya dengan nada kesal. 

Salah satu pakar hukum dan pengamat kebijakan publik, Dr Made Pria Dharsana, SH, MHum mengatakan SPI bukan merupakan uang negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). 

“SPI adalah biaya awal harus dibayar mahasiswa melalui jalur mandiri pada saat memulai perkuliahan. Sehingga SPI tidak bersumber dari negara, baik APBN maupun APBD,” jelas Pria Dharsana dalam wawancara terpisah dengan wartawan di Denpasar Bali.

Dosen Universitas Warmadewa ini juga menyampaikan, definisi keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.

“Apakah uang SPI wajib disetorkan kepada negara untuk kemudian disalurkan kembali dalam bentuk APBN kepada Perguruan Tinggi Negeri atau PTN? Tidak, uang SPI dikelola secara mandiri oleh PTN. Apabila PTN tersebut berbentuk badan hukum telah terjadi pemisahan kekayaan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan SPI bukan bagian dari keuangan negara. Sehingga kerugian PTN atas SPI bukan merupakan kerugian negara,” terangnya.

Terkait adanya perkara korupsi Unud dari dana SPI yang merujuk pada Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor yakni dalam konteks memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, justru Pria Dharsana balik bertanya.

“Harus ditelaah apakah perbuatan Rektor Unud itu menyalahgunakan dana SPI yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara?,” tanyanya balik.

Lebih jauh Pria Dharsana menegaskan putusan MK No. 25/PUU XIV/2016 dan Perma 1/2020, frasa merugikan perekonomian negara tidak selalu harus dianggap sebagai faktor pemberat pidana dan selalu harus ada. Unsur merugikan perekonomian negara hanya dapat dibuktikan setelah unsur kerugian keuangan negara telah terbukti. Dengan demikian, kerugian perekonomian negara tidak boleh ada tanpa adanya kerugian keuangan negara. 

“Penyalahgunaan uang SPI bukanlah tindak pidana korupsi karena sudah pasti bukan uang negara. Kalaupun nanti terbukti dalam persidangan terkait penyalahgunaan dana SPI, Rektor PTN Unud dapat dijerat pidana penggelapan dalam jabatan sebagaimana diatur dalam KUHP yang masih berlaku sampai hari ini dan UU nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP yang baru berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2006,” tegas Pria Dharsana.

Sebelumnya, kuasa hukum Rektor Unud nonaktif Prof Nyoman Gde Antara, Hotman Paris Hutapea menegaskan kliennya sebagai korban rekayasa hukum oknum internal dan eksternal di Universitas Udayana. Penegasan itu disampaikan Hotman Paris pada sidang pembacaan eksepsi (nota keberatan) kasus dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) yang menimpa Rektor Unud nonaktif Prof Nyoman Gde Antara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Selasa (31/10/23).

"Di nota keberatan, surat-surat yang meminta sanak saudaranya maupun koleganya untuk masuk ke Udayana, tapi tidak dipenuhi kemungkinan ini ada dendam pribadi,” Hotman usai sidang pembacaan eksepsi di Tipikor.  

Hotman bahkan menyebut kecurigaan perihal rekayasa hukum dalam kasus Prof Antara adanya kejanggalan mengenai surat dakwaan. “Di surat dakwaan dijelaskan kerugian negara, tetapi di mana letak kerugian yang dihasilkan ini kan pungutan kepada mahasiswa, dan pungutan tersebut masuk ke negara serta ke rekening universitas (Unud, red),” sebutnya.

Hotman menegaskan selain permainan dari pihak internal juga adanya permainan dari eksternal Universitas Udayana untuk menjegal Prof Antara.  

“Beberapa oknum internal Universitas Udayana yang kemudian memanfaatkan oknum eksternal Universitas Udayana untuk menjegal, menghentikan dan menggantikan terdakwa sebagai Rektor yang sah sebelum masa jabatan terdakwa selesai tahun 2025 nanti,” tegas Hotman. 

Keanehan selanjutnya, lanjut Hotman adalah dikasuskannya pemungutan SPI karena di masing-masing perguruan tinggi negeri sudah melaksanakan pungutan tersebut sejak zaman dahulu.    

“Jika semua jaksa pemikirannya seperti Jaksa Penuntut Umum (JPU) maka seluruh rektor universitas negeri akan ditahan,” sentil Hotman.(BB).