Gubernur Nyatakan Majelis Kebudayaan Bali Tak Sama dengan Majelis Desa Adat

  13 Maret 2020 SOSIAL & BUDAYA Denpasar

Humas Pemprov Bali

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Gubernur Bali, I Wayan Koster, menegaskan, keberadaan Majelis Kebudayaan Bali (MKB) seperti diatur dalam Ranperda tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali sama dengan Majelis Desa Adat. 
 
 
“Saya kurang sependapat. Majelis Kebudayaan Bali (MKB) dalam Ranperda tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali secara kelembagaan tidak sama dengan keberadaan Majelis Desa Adat (MDA). Majelis Desa Adat (MDA) jelas dinormakan sebagai Persatuan (Pasikian) Desa Adat, yang berfungsi memberikan nasihat, pertimbangan, pembinaan, penafsiran, dan keputusan bidang adat, tradisi, sosial religius, kearifan lokal, hukum adat, dan ekonomi adat. Majelis Kebudayaan Bali (MKB) untuk pertama kali dibentuk oleh lembaga-lembaga bidang kebudayaan seperti lembaga Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali, Himusba, dan Listibya,” kata Koster saat menyampaikan jawaban Gubernur atas pandangan fraksi-fraksi pada rapat paripurna DPRD Bali, Jumat (13/3).
 
Pernyataan Gubernur tersebut untuk menjawab pandangan Fraksi Partai Gerindra yang disampaikan pada rapat paripurna sebelumnya.
 
Menurut Gubernur, MKB berfungsi antara lain melakukan standarisasi dan sertifikasi lembaga dan sumber daya manusia bidang kebudayaan dan turut serta melakukan penguatan dan pemajuan kebudayaan secara aktif dan berkelanjutan.
 
Gubernur Koster juga membantah penyusunan Ranperda tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali mengikuti semangat omnibus law seperti terjadi di Jakarta. “Penyusunan Ranperda Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali tidak mengikuti semangat Omnibus Law. Perda yang sudah ada tidak bertentangan, dan mendukung/menguatkan Ranperda ini,” katanya.
 
 
Pernyataan Gubernur tersebut menjawab Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Demokrat yang disampaikan dalam pandangan umumnya pada rapat paripurna sebelumnya. Kedua fraksi tersebut mempertanyakan apakah maksud dan tujuan pembuatan Raperda Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan, mengikuti semangat Omnibus Law yang sedang hangat hangatnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Mengingat sebelumnya sudah ada Perda sejenis, yakni  Perda No. 1 Tahun 2018 tentang Bahasa, Aksara dan Sastra Bali, dan Perda No. 1 Tahun 2019 tentang Atraksi Budaya.
 
Menurut Gubernur, Omnibus Law merupakan istilah yang dipergunakan untuk melakukan perubahan (amandemen) dan mencabut Peraturan Perundang-undangan yang tumpang tindih, bertentangan, menghambat investasi dan pelayanan publik.
 
Menjawab Fraksi Golkar tentang belum dicantumkannya atraksi budaya, contoh tabuh rah, dan atraksi budaya lainnya sebagai objek penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali, Gubernur menjelaskan, atraksi budaya tidak dimasukkan sebagai Objek Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali karena atraksi budaya merupakan bagian dari kegiatan kebudayaan. Menurutnya, setiap satuan objek Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan dapat dipagelarkan, dipertunjukkan, dan/atau dipamerkan dalam kerangka atraksi budaya.
 
Gubernur juga menegaskan, Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bahasa, Aksara dan Sastra Bali serta Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Atraksi Budaya tetap berlaku, karena kedua peraturan daerah dimaksud mengatur hal spesifik dan khusus, sehingga keberadaan kedua perda tersebut melengkapi Ranperda tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali.
 
Sementara menjawab soal saran Fraksi Nasdem-PSI-Hanura soal standarisasi seniman, Gubernur mangatakan sependapat. Menurutnya, standarisasi diarahkan pada sistem tata kelola kelembagaan seni yakni mengenai standarisasi tata kelola sekaa, sanggar, atau yayasan seni. Untuk profesi seniman dan standar terkait profesi akan dikelola berdasarkan parameter standar Badan Standar Profesi. (BB)