Dituding Panik Kejati Bali, Tim Hukum Prof Antara 'Tertawa' Sebut Jika Korupsi Maka Uang dan Segala Gedung Sarana Prasarana Harusnya Disita

  26 November 2023 HUKUM & KRIMINAL Denpasar

Foto Kolase Gede Pasek Suardika (GPS)/kiri dan Putu Agus Eka Sabana P.

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Dituding panik oleh JPU Kejati Bali, Tim Hukum Prof Antara dalam kasus korupsi  SPI Unud malah menanggapinya dengan santai bahkan tertawa. "Panik? Jauhlah. Justru makin heran ini kasus korupsi kok nggak jelas dari awal sidang berapa rupiah uang yang dikorupsi Terdakwa," kata salah satu Tim Hukum Prof Antara, Gede Pasek Suardika (GPS) ketika dikonfirmasi media, Minggu 26 November 2023. 

GPS, panggilan akrabnya Pasek malah berharap di sidang berikutnya bisa ketahuan angka pasti korupsinya berapa. "Kita ingin sekali kejelasan dari alat bukti berapa rupiah Terdakwa korupsi dan bagaimana modusnya. Yang kedua perbuatan itu dilakukan di tahun berapa. Sebab ada orang lain dengan jabatan sama perbuatan sama aman-aman saja. Itulah makna ditarget Terdakwa ini. Jika tidak kenapa peristiwa 2021 dan 2022 ketua panitia aman dan 2018-2021 Rektor aman. Simple jika pakai logika dan akal sehat. Jadi panik jika memang treatment nya berbeda," sentil mantan ketua Komisi III DPR RI ini. 

Mantan wartawan ini bahkan menyebut baru kali ini ada kasus uang dari masyarakat masuk PNBP resmi pemerintah 100 persen lalu disebutkan korupsi. Seharusnya jika Korupsi uang PNBP dengan segala gedung sarana prasarana yang dibangun itu disita jika itu termasuk uang hasil Korupsi. 

"Saya ingin tahu berani nggak menyita semua uang SPI yang udah masuk PNBP dan semua sarana prasarana dari SPI tersebut jika benar itu uang korupsi? Jika tidak maka pertama kali dalam sejarah ada kasus korupsi dimana uangnya masuk ke negara akan terjadi di Indonesia. Anggap saja sudah semua prosedur salah dan bermasalah, lalu kenapa uang yang ada dan masuk ke rekening resmi Unud yang dicap hasil korupsi itu tidak disita?," tegas GPS. 

GPS mengingatkan semua pihak di pengadilan itu punya tujuan sama yaitu menemukan keadilan dan kepastian hukum. "Bukan asal menuntut, membela atau menghakimi warga negara. Saya yakin setiap upaya yang dzalim akan ada hukum karma yang mengikuti nya. Sejak tahun 1994 saya menjadi lawyer banyak melihat fakta ini terjadi. Karena insan Tuhan yang diperlakukan dzalim oleh yang berwenang setelah kewenangannya selesai maka hukum karma berjalan. Bahkan bisa saat ini masih proses berjalan," sebutnya mengingatkan.

Sebelumnya, dalam keterangan tertulis yang diterima Baliberkarya.com pada Sabtu 25 November 2023 yang ditandatangani oleh Asisten Bidang Intelijen Kejati Bali Chandra Purnama SH, MH bersama Kepala Seksi Penerangan Umum Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana P, SH, MH menyebutkan apa yang disampaikan oleh salah satu Penasihat Hukum Terdakwa Prof. I Nyoman Gede Antara bahwa terungkap adanya rekayasa dan menunjukkan terdakwa sebagai target adalah pernyataan yang terbalik 180 derajat dibandingkan dengan fakta yang terungkap dalam persidangan. 

Kepala Seksi Penerangan Umum Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana P, SH, MH menyampaikan hal tersebut menunjukkan kebingungan dan kegelisahan dari Tim PH mengetahui bagaimana fakta dalam persidangan yang telah menyibak tirai kelam pemungutan SPI penerimaan mahasiswa baru seleksi jalur mandiri yang dilakukan tanpa dasar hukum yakni tanpa mendapatkan penetapan yang dituangkan dalam peraturan menteri keuangan sebagaimana ketentuan PP 23 tahun 2005.

"Hal tersebut telah secara gamblang dijelaskan oleh saksi WR I dan juga Kepala Biro Akademik dan Hubungan Kerjasama," sebutnya.

Eka Sabana juga menyampaikan selain dari keterangan para saksi telah jelas terungkap bahwa pemungutan SPI sudah dilakukan tanpa adanya PMK kemudian hanya dieksekusi dengan SK rektor, namun apa yang tertuang dalam SK rektor tersebut dalam pelaksanaannya disimpangi lagi karena besaran yang diunggah dalam aplikasi penerimaan mahasiswa baru berbeda dengan SK Rektor tentang Sumbangan SPI dan Terungkap pula ada beberapa program studi yang tidak seharusnya di pungut SPI namun telah dikenakan SPI.

Kepanikan Tim PH semakin jelas terlihat ketika mengetahui keterangan saksi dipersidangan yang mengemukakan adanya rekomendasi dari tim gabungan inspektorat Jendral dan KPK yang memberikan 7 rekomendasi yang mana diantaranya adalah : aplikasi sistem penerimaan mahasiswa baru seleksi jalur mandiri mudah diintervensi pimpinan dan penerimaan SPI belum didasarkan atas aturan yang jelas.

Fakta yang sangat telak dikemukakan oleh saksi yang bertugas dibiro akademik yang dipersidangan mengemukakan bahwa perintah untuk menggunggah besaran SPI kedalam aplikasi penerimaan mahasiswa hanya berdasarkan draft adalah atas perintah Ketua Panitia yaitu Terdakwa Prof. I Nyoman Gede Antara.

"Hal tersebut telah mematik reaksi Tim Penasihat Hukum dengan berusaha menggiring saksi untuk menyatakan bahwa hal tersebut hanya asumsi saksi saja. Jadi, apa yang dikemukakan Tim PH merupakan gaya lama dan sangat konsisten untuk membangun frame yang bertolak belakang dengan fakta sebenarnya," tulisnya.

Diberitakan di Baliberkarya.com, sidang kasus dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana (Unud) dengan terdakwa mantan Rektor Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.ENG. IPU yang berlangsung Kamis 23 November 2023 menghadirkan dua orang saksi, Drs.I.G.N. Indra Kecapa, M.ED, dan I Ketut Gede Oka Wiratma di gelar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar. 

Disela persidangan, Gede Pasek Suardika (GPS) selaku salah seorang tim Penasehat Hukum (PH) terdakwa Prof Antara mengatakan kalau sidang kali ini juga sebagai pembuka fakta rekayasa hukum. Bahwa, terjadi perbedaan pengaturan terhadap sebuah peristiwa yang sama, proses yang sama, tata cara yang sama, dimana prof. Antara ketika itu menjadi ketua panitia penerimaan kemudian dijadikan tersangka dan menjadi terdakwa.

"Sedangkan ketua panitia yang lain, kenapa tidak dijadikan terdakwa, seperti Kabiro Humas dan Akademik, WR II, WR IV dan rektor Unud sebelumnya tahun 2017 kesini dibiarkan bebas," sentil Pasek Suardika. 

Perlakuan yang sama, lanjut Pasek, peristiwa yang sama, tanggung jawab yang sama, keputusan yang sama, tetapi untuk Rektor Raka Sudewi dan lainnya yang sebelumnya menjabat, tidak menjadi terdakwa, namun anehnya hanya Prof Antara yang justru dijadikan terdakwa. 

“Varian perbedaan perlakuan inilah yang disebut dengan diskriminasi Hukum. Dan ini sangat kita sesalkan karena memang peristiwanya bukan peristiwa pidana. Tidak ada peristiwa korupsi,” kata Pasek keheranan. 

Kalaupun ini adalah peristiwa korupsi, Pasek menyebut tentu harus ada kerugian negara disana. Namun dalam hal ini, disini justru uang masuk dalam kas negara, bunganya bertambah, ada fasilitas sarana dan prasarana dari dana SPI ini. Dengan melihat hal itu, dirinya kembali mempertanyakan, dimana unsur korupsinya?.

“Tapi kita saksikan saja ke depan. Apakah keadilan masih ada dalam sidang ini. Dalam sidang ini, nampaknya perbedaan perlakuan sudah muncul, jabatan yang sama, ternyata perlakuannya berbeda di depan hukum dan aparat penegak hukum untuk saat ini,” sebutnya 

Terkait dugaan adanya rekayasa hukum pada kasus ini, ia menyebutkan kalau hal itu sudah semakin jelas. Dugaan itu menurutnya, pertama ini bukan perbuatan personal. Karena kalau perbuatan personal, maka tanggung jawabnya juga personal. Namun dalam kasus ini, tanggung jawabnya kolektif kolegia. Pasalnya, proses SPI ini, melibatkan Wakil Dekan (WD) II bidang umum dan Keuangan di seluruh Fakultas. Setelah dibahas di WD II, baru naik ke atas melibatkan semua bagian keuangan, bukan melibatkan bagian akademik.

Lebih lanjut, kata Pasek, Karena SPI ini sampai keputusan Rektor, jalurnya ada di bagian keuangan yakni dari WD II bidang keuangan, WR II bidang keuangan, dan Rektor yang mengeluarkan SK. Prof. Antara yang saat itu sebagai ketua panitia tapi WR I bidang akademik. 

Saat itu tugas dari WR I adalah hanya mengurus rekrutmen mahasiswa masuk, tapi tidak ngurusin uang masuk. Namun dalam kasus ini, justru dia harus mempertanggung jawabkan terkait uang masuk, ini kan nyata sekali. Pasek  mengakui biasanya seseorang dihukum karena perbuatannya, karena deliknya. Bukan karena orangnya ditarget. 

'Ini jujur saja, miris saya melihat. Ini kasus korupsi, selama saya menjadi lawyer, selama saya memantau kasus-kasus korupsi, ini kasus korupsi yang paling aneh. Dimana orang dipaksa bertanggung jawab, untuk atas jabatan dan perbuatan yang tidak ada kaitan dengan dirinya. Kedua tidak ada kerugian negara, yang ada justru negara tambah kaya,” tegasnya.(BB).