Bercermin Praperadilan Unud, Rektor PTN Lain Bisa Ditersangkakan Dulu, Alat Bukti Kerugian Negara Dicari Belakangan

  02 Mei 2023 HUKUM & KRIMINAL Denpasar

Foto: Sidang putusan praperadilan dalam kasus penetapan status tersangka Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. I Nyoman Gde Antara, dalam kasus dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) di PN Denpasar pada Selasa 2 Mei 2023.

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Sidang putusan praperadilan dalam kasus penetapan status tersangka Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. I Nyoman Gde Antara, dalam kasus dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) di PN Denpasar pada Selasa 2 Mei 2023 yang dipimpin hakim tunggal yakni Agus Akhyudi, memutuskan untuk menolak semua permohonan terkait kasus yang menjadi perhatian publik tersebut. 

Padahal, pada sidang sebelumnya, sejumlah saksi ahli telah menegaskan kalau penetapan tersangka harus dilengkapi dengan hasil audit kerugian keuangan negara. Hakim lainnya juga menolak praperadilan dari tiga pejabat Unud, yakni I Ketut Budiartawan, Nyoman Putra Sastra, dan I Made Yusnantara. 

Pasca Putusan, Tim Kuasa Hukum Unud Dr. Nyoman Sukandia, S.H., M.H. mengaku menghormati apapun keputusan hakim dan pihaknya akan tetap menunggu kelanjutan nanti dimana tetap yakin terhadap pernyataan dari saksi-saksi ahli yang berkompeten dari universitas ternama dan kredibel bahwa penetapan tersangka Rektor Unud Prof Antara tidak sah karena terlebih dahulu harus dibuktikan ada hasil audit kerugian keuangan negara.  

"Saya masih berharap mudah-mudahan kejaksaan melakukan ekspos sendiri berdasarkan hasil auditnya. Kalau nanti hasil audit sama dengan BPK, silahkan," kata Nyoman Sukandia.

Sementara, Tim Kuasa Hukum Unud Gede Pasek Suardika S. H., M.H. menegaskan jika hakim berpendapat bahwa, secara formil sudah terpenuhi, namun secara materiil masih belum. Pihaknya meyakini dengan munculnya putusan MK no 25 tahun 2016, itu kerugian negara harus muncul dulu, baru orang itu ditersangkakan. 

"Kalau memang seperti ini konsepnya, kita uji di pokok perkara. Artinya kedepan, orang boleh ditersangkakan dulu, nanti kerugian dicarikan belakangan," sentil Pasek Suardika.

Selain itu, dengan keputusan ini, lanjut Pasek Suardika, tentu seluruh perguruan tinggi negeri di Indonesia bisa diperlakukan sama karena modelnya sama. Penolak praperadilan Unud ini akan menjadi preseden buruk bagi rektor di Universitas Negeri terkait adanya dana dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) ini.

"Dengan keputusan ini, paling tidak publik sudah punya pandangan bahwa Rektor Unud dipersangkakan dalam kasus korupsi yang katanya kerugiannya berbeda beda, faktanya  belum ada audit hasil perhitungan kerugian keuangan negara. Namun ini menurut hakim, tidak masalah," ungkap Pasek Suardika.

Ke depan, kata Pasek Suardika, untuk kasus korupsi, ia khawatir, orang bisa ditersangkakan dulu, nanti alat bukti kerugian bisa dicari belakangan. Tentu perguruan tinggi negeri lainnya mesti waspada pasca penetapan Rektor Unud tanpa diketahui pasti ada kerugian negaranya. "Tentu hal itu bisa menjadi efek domino ke berbagai instansi dan lembaga. Untuk PTN karena SPI ini berlaku di Satker, BLU maupun PTN BH, tentu ini bisa linier semua," terangnya. 

Selaku pihak kuasa hukum pemohon menyampaikan, mau tidak mau, akan lanjut di materi pokok perkara. "Nanti kita ngomong di pokok perkara. Misalnya kalau dikatakan 330 miliar lebih potensi kerugian perekonomian negara, gimana hitungnya. Kalau ada 105 miliar ada kerugian infrastruktur bagaimana buktinya, ini akan kita tunggu pembuktiannya," katanya 

Menurut Pasek Suardika, meski hasil keputusan praperadilan ditolak, Ia mengaku sebenarnya masih ada ruang untuk pintu SP3, karena hasil audit belum keluar. Begitu setelah audit keluar, ternyata tidak ada kerugian negara, bisa saja SP3. "Tim hukum Unud menyampaikan, suka tidak suka mau tidak mau, maka memang masuk ke pokok perkara, kalau berkasnya dilanjutkan," tegasnya.

Pasca penolakan praperadilan Rektor Unud dan pejabat Unud lainnya ini di PN Denpasar, sejumlah pihak banyak khawatir supremasi dan penegakan hukum menimbulkan ketidakpastian. Penetapan tersangka yang terburu-buru dan terkesan dipaksakan diprediksi kedepannya menyebabkan pihak kejaksaan akan sangat kesulitan membuktikan dakwaannya. Sementara kalaupun pihak kejaksaan ada opsi menyatakan SP3 lantaran tidak cukupnya bukti dan kurang kuatnya dakwaan maka hal itu dinilai akan jadi persoalan gengsi semata.

Sebelumnya, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Dr Dewa Gede Palguna, SH, MHum. merasa heran dan tidak habis pikir Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof Nyoman Gde Antara bersama 3 pejabat Unud lainnya yang telah lebih dulu ditetapkan tersangka Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali atas dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru seleksi Jalur Mandiri Universitas Udayana Tahun 2018 sampai dengan Tahun 2022.

Dewa Palguna yang telah lama malang melintang dalam dunia hukum kini masih bertanya-tanya dan tercengang lantaran Kejati Bali melontarkan angka kerugian negara dalam kasus ini Rp300 miliar lebih seraya mempertanyakan dari mana pihak kejaksaan menghitungnya. Baginya, angka kerugian negara yang di sebar ke publik sangat fantastis padahal pihak Kejati Bali dalam menghitung kerugian negara tidak melibatkan 5 auditor yaitu BPKP, BPK, Inspektorat, Satuan Pengawas Internal, dan Akuntan Publik.

"Darimana datangnya itu (perhitungan kerugian negara), bagaimana cara menghitungnya, apa itu uang negara, apa itu kerugian uang negara, siapa yang boleh menghitung kerugian uang negara itu, apakah boleh keuangan negara itu diperkirakan dan dikira-kirakirakan. Kalau boleh siapa melaksanakan itu, itu khan harus jelas," tanya Dewa Palguna dengan nada keheranan.

"Ini yang selama ini tidak terjadi pemberitaan tidak seimbang. Inspektorat, BPK, BPKP, Satuan Pengawas Internal, kalau ndak salah ada lima itu. Kenapa terjadi dua obyek yang sama yang diselidiki banyak pihak tetapi melahirkan kesimpulan yang berbeda, ini khan pasti ada sesuatu yang salah," imbuhnya.

Sebagai ahli hukum, Dewa Palguna pun menjabarkan salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara. Ia pun bertanya kembali kalau menghitung kerugian keuangan negara maka apa yang dimaksud dengan keuangan negara, kemudian apa yang dimaksud kerugian keuangan negara, dan siapa yang boleh mengatakan itu, termasuk jumlahnya.

"Khan mesti itu harus jelas dulu maka tidak boleh sembarangan membuat pernyataan itu. Kalau yang boleh menghitung kerugian negara adalah BPK, BPKP, Inspektorat, Satuan Pengawas Internal, dan Akuntan Publik. Kalau perhitungan mereka itu diabaikan sama dengan anda mengatakan mereka tidak kredibel untuk menghitung kerugian negara, sama dengan mengatakan mereka tidak layak dipercaya untuk menghitung kerugian negara," sebutnya.

"Apa benar kesimpulan seperti itu. Kalau saya jadi BPK tersinggung saya. Kalau saya jadi BPKP tersinggung saya. Jadi beritakanlah secara wajar ndak usah terlalu berlebihan. Jangan menghukum dulu sebelum ada keputusan berkekuatan hukum tetap dan pentingnya menjunjung asas praduga tak bersalah itu agar itu tidak menjadi life servis saja. Tidak menjadi gincu dibibir saja. Dan itu harus meresap dan terutama harus meresap  bagi penegak hukum. Aparat penegak hukum karena dialah nanti yang menegakkan hukum kalau dia sudah meresapkan prinsip sungguh-sungguh kedalam dirinya masyarakat akan melihat karena teladan yang diterapkan aparat penegak hukum dasar dari publik trust," imbuhnya kembali.

Dewa Palguna akan selalu memberikan semangat kepada siapapun terlebih-lebih kepada Rektor Unud dan lembaga yang membesarkan namanya yakni Kampus Unud. Menurutnya, dana SPI Unud sah, kalau itu dianggap tidak sah maka semua perguruan tinggi yang masih BLU memungut dana SPI terjerat korupsi, apalagi Unud sudah dari tahun 2018 memungut dana SPI sementara perguruan tinggi negeri lain ada yang lebih dulu memungut dana SPI.

"Kalau soal dana SPI yang menjadi persoalan maka bukan masalah hukum jadinya, tapi mengada-ada atau kalau ada kesalahan administrasi berati bukan soal pidana berati tapi soal administratif," jelasnya.

Terkait Kejati Bali terkesan terburu-buru menetapkan kerugian negara, Dewa Palguna menjawab hal itu yang menjadi pertanyaan dirinya lantaran jika memang ada kerugian negara mengapa auditor lainnya yang resmi yang memiliki kewenangan atas hal tersebut tidak dilibatkan pihak Kejati Bali. "Anda percaya ndak dengan BPK, percaya ndak dengan BPKP, percaya ndak dengan inspektorat jenderal karena mereka mengatakan clear tidak ada kerugian negara. Dan yang menyatakan clear lembaganya lebih dari satu, lalu ada satu yang mengatakan ada kerugian negara kira-kira secara nalar sehat kemana anda menjatuhkan pilihan kepercayaan," selorohnya.

Dewa Palguna pun menilai selama ini banyak pemberitaan terbalik terkait kasus dana SPI Unud. Ia pun bingung karena pihak Kejaksaan tidak melibatkan 5 institusi yang berhak dan memiliki kewenangan dalam menghitung kerugian negara namun menyampaikan terdapat kerugian negara dengan jumlah yang bombastis. Ia pun mengaku ikut membuat keputusan di Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa kerugian negara harus nyata, tidak boleh diperkirakan dan harus dihitung oleh institusi yang memiliki kewenangan untuk itu, seperti BPK, BPKP, inspektorat jenderal, akuntan publik.

"Saya ndak ngerti dari mana hitung-hitungan kejaksaan kerugian negara 300 miliar lebih itu. Saya ktemu Rektor Unud saya bilang bapak kaya raya sekarang. Saya katakan ke Pak Rektor (Unud) jangan menunduk kalau memang yakin tidak bersalah. Berjalanlah dengan kepala tegak sebagai seseorang yang diberi jabatan dan diberi amanah untuk melaksanakan tugas sebagai Rektor dan apa yang dilakukan adalah benar, kecuali memang ada uang yang masuk kantong pribadi pernyataan itu akan saya tarik. Tapi kalau sudah melakukan sesuatu yang benar jangan jalan menunduk jalan lah dengan kepala tegak saja maka hukum akan berada di pihak bapak saya bilang begitu," tuturnya.

Selain itu, Dewa Palguna juga berharap masyarakat juga harus siap menerima kemungkinan tidak bersalah atas seseorang namun kalau pemberitaannya sudah mengadili khan masyarakat tidak salah nanti berpikir kok begitu sih jadinya padahal hakim sudah memutuskan dengan benar, pertimbangan hukumnya sudah benar tapi ternyata terbukti tidak bersalah. Bagaimana belum apa-apa sudah lebih dulu menghakimi, bagaimana nanti akan memulihkan nama baik orang yang sudah tercemar dan terlanjur tercoreng. 

"Sebagai orang Bali kita khan seneng dengan melihat prinsip melihat kedalam mulatsarira. Bagaimana kalau kita sendiri yang berada di pihak dihakimi namun belum tentu bersalah? Kira-kira gimana perasaan kita kalau kita yang mengalami dibegitukan. Saya katakan berita Unud tidak berimbang yang kemudian membuat persepsi masyarakat seolah-olah bahwa Rektor dan Universitas Udayana sebagai person dan institusi yang bersalah. Itu yang mesti harus kita pikirkan," terangnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud) ini pun mengibaratkan jika terhadap suatu fakta ada dua orang yang terkait dengan fakta itu, kemudian dua orang keterangan yang berbeda maka salah satunya pasti berbohong. "Khan begitu penalarannya, kalau terhadap suatu fakta ada dua orang terkait fakta itu memberikan keterangan yang berbeda salah satunya pasti berbohong. Nah siapa sekarang yang berbohong ini nah inilah yang dibuktikan proses hukum," ungkapnya.

"Kalau misalnya Pak Rektor Unud mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk menyatakan diri beliau tidak bersalah kita harus bela. Tapi sebaliknya jika terjadi tindak pidana iya tidak usah diadili lewat media gitu lo maksud saya, biarlah proses hukum itu berjalan," harapnya.

Menurut Dewa Palguna, layaknya kasus-kasus lain yang lebih parah masyarakat harus biasa dididik dalam hal pokok dalam perkara pidana yaitu presumption of innocense atau asas praduga tak bersalah. Untuk itu, pihaknya ingin pemberitaan yang relatif berimbang dan tidak tendensius serta jangan memojokkan seseorang yang belum tentu terbukti bersalah.

"Saya merasa mungkin pendapat saya ini subyektif karena saya orang Unud, saya merasa pemberitaan terjadi belakangan ini sudah sifatnya nuansanya mengadili. Jadi sudah terjadi "trial by the press" terhadap sesuatu yang sesungguhnya belum pasti," katanya.

Apa yang menyebabkan begitu, Dewa Palguna melanjutkan karena ketidakseimbangan informasi. Informasi yang diterima selama ini selalu datang dari pihak kejaksaan yang mengemukakan alasan-alasan dan kemudian alasan itulah yang dikutip oleh media, jadi media juga tidak salah tetapi karena alasan-alasan itu datangnya sepihak sehingga prinsip kramat dalam dunia jurnalisme yaitu "cover both side" tidak berjalan akhirnya terjadilah kasus pemberitaan yang timpang.

"Sebagai orang Unud saya berkepentingan, bukan membela kesalahan lo tetapi menegakkan prinsip praduga tak bersalah itu penting buat saya supaya juga masyarakat mengerti. Kalau memang nanti Pak Rektor kami bersalah iya silahkan salahkan tapi jangan diadili sebelum proses hukum itu benar-benar berjalan," pintanya.

"Nah ini yang penting untuk kita sampaikan. Pertanyaan-pertanyaan mendasarnya khan harus terjawab dulu, kasus ini kasus apa, ini khan persoalan SPI itu khan. SPI itu apa, ini khan mesti dijelaskan. Jangan tiba-tiba berbicara soal kerugian negara, jangan tiba-tiba berbicara tindak pidana korupsi," tambahnya.

Baginya, masyarakat awam akan menangkapnya sesuatu yang benar dan terbentuklah persepsi yang belum tentu secara hukum itu kemudian benar. Sehingga menurutnya hal ini berbahaya karena disadari atau tidak, apalagi kalau disengaja seolah-olah sudah terjadi framing bahwa Rektor Universitas Udayana bersalah melakukan korupsi atau menyalahgunakan uang SPI dengan jumlah yang mengagumkan itu. 

Dewa Palguna pun menegaskan bagaimana misalnya kalau nanti ternyata Rektor Unud terbukti tidak bersalah sementara kerugian negara keburu diberitakan sehingga nama baik sudah tercoreng, anaknya sudah menderita secara psikologis, keluarga dan keluarga besarnya sudah merasa sangat tersudutkan, bahkan kampus Unud sebagai institusi sudah tersudutkan. Bagaimana kalau nanti misalnya oleh pengadilan Rektor Unud diputus tidak bersalah, siapa yang akan mengembalikan nama baik ini, walaupun pengadilan memutuskan mengembalikan martabat dan kehormatannya.

"Khan itu putusan formal tapi image yang terbentuk sudah keburu merusak. Kerusakan sudah keburu terjadi, ini yang berbahaya. Saya kira apa yang bicarakan sudah fair kok saya sudah mengcover kedua belah pihak khan. Janganlah caranya seperti itu biarkanlah "fair play" berjalan secara normal, jangan juga terlalu dibesar-besarkan yang tidak sebesar itu, tapi jangan juga menyederhanakan jika memang persoalan serius, itu khan acap kali terjadi seperti itu," sentilnya.

Hal itu diperkuat dengan sejumlah fakta persidangan praperadilan secara maraton di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar dalam beberapa hari terungkap jika penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana makin terang benderang muncul kepermukaan publik.

Bahkan dalam sidang praperadilan sebelumnya terkait penetapan status tersangka Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. I Nyoman Gde Antara, dalam kasus dugaan korupsi dana SPI pada Jumat 28 April 2023, dengan agenda pengajuan alat bukti dari Termohon (Kejaksaan Tinggi Bali) serta menghadirkan dua orang Saksi baik Saksi Fakta dan Saksi Ahli terungkap bahwa penyidik dari Kejaksaan Tinggi Bali tidak dapat menunjukkan adanya hasil audit kerugian keuangan negara dalam kasus dugaan korupsi Unud.

Adapun dua orang saksi yang dihadirkan Termohon (Kejaksaan Tinggi Bali) yakni Saksi Fakta, Andreanto selaku Kasi Penyidikan pada Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Bali dan Saksi Ahli Hendri Jayadi yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta. Sementara dari Tim Hukum Unud hadir diantaranya Dr. Nyoman Sukandia, S.H., M.H., Gede Pasek Suardika, S.H., M.H., Agus Saputra, S.H., M.H., dan Erwin Siregar, S.H., M.H. 

Pada sidang Praperadilan ini terungkap Kejaksaan Tinggi Bali menetapkan tersangka dalam kasus SPI tanpa adanya hasil audit tentang nilai kerugian keuangan negara dari lembaga yang berwenang yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sehingga ketika pemohon (Rektor Unud) dijadikan tersangka belum ada hasil audit BPK.

Kejaksaan Tinggi Bali mengakui melakukan audit sendiri dengan menunjuk tim audit internal untuk melakukan audit terhadap keuangan SPI namun baru dilakukan setelah proses penetapan tersangka dan sampai saat ini audit internal tersebut juga belum selesai sehingga belum bisa dikatakan ada temuan nilai kerugian keuangan negara sebagaimana sebelumnya yang sempat disampaikan pihak Kejati Bali kepada publik melalui masifnya pemberitaan media.

Selaku Saksi Fakta, Andreanto dalam kapasitasnya sebagai Kasi Penyidikan pada Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Bali ketika menjawab pertanyaan tim kuasa hukum Unud apakah ada hasil audit dari BPK mengenai nilai kerugian keuangan negara dalam kasus dugaan korupsi SPI, mengakui pihaknya tidak mengacu kepada hasil audit BPK. Penyidik berdalih memiliki keyakinan dalam menetapkan tersangka dengan keterangan saksi, keterangan ahli dan dokumen yang dikumpulkan sebagai alat bukti sehingga sudah ada potensi kerugian keuangan negara.

Saat didesak lagi tim hukum Unud dengan pertanyaan kepada pihak penyidik mengakui tidak meminta BPK melakukan audit terhadap dana SPI Unud. Andreanto mengungkapkan pihaknya selaku penyidik telah meminta bantuan auditor internal di Kejaksaan Tinggi Bali untuk melakukan audit guna memperkuat bukti yang ada.

“Kita minta auditor internal kejaksaan namun hingga saat ini hasil audit ini belum selesai,” jawabnya singkat. 

Selama persidangan ini, pertanyaan dari Tim Hukum Unud tersebut berkaitan dengan tiga pasal UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yani Pasal 2 ayat 1, Pasal 3 dan Pasal 12e  yang disangkakan kepada Pemohon (Rektor Unud). Dimana dua pasal pertama harus mensyaratkan adanya nilai kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti jumlahnya sehingga hal itu berimplikasi harus ada penilaian kerugian keuangan negara terlebih dahulu melalui audit yang dilakukan lembaga berwenang yakni BPK.

Jika ada kerugian keuangan negara yang ditemukan baru bisa dikatakan ada dugaan korupsi. Lalu ketika tidak ada hasil audit terkait temuan nilai keuangan negara, pertanyaannya mengacu pasa pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 yang disangkakan, sehingga tudingan korupsinya dianggap tidak sah.

Sesuai Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Sedangkan Pasal 3 UU Tipikor berbunyi “3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Tim Kuasa Hukum Unud kemudian mencecar Saksi Fakta dengan pertanyaan seputar kewenangan melakukan audit untuk menemukan adanya kerugian negara yang nyata dan jumlahnya pasti adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tim Kuasa Hukum Unud merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan dan juga putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016.

SEMA 4/2016 ini mengatur bahwa kerugian keuangan negara hanya bisa dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Apapun substansinya, SEMA itu tentu harus dipatuhi oleh para hakim sebagai pedoman memutus perkara. Dalam point Rumusan Hukum Kamar Pidana pada angka 6 pada SEMA ini disebutkan bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. 

Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara. Sedangkan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 

Putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).

“Apakah saudara tahu sesuai SEMA bahwa hanya BPK yang bisa menghitung kerugian keuangan negara?” tanya Tim Kuasa Hukum Unud.

Menjawab pertanyaan ini, Andreanto, selaku Saksi Fakta tidak menjawab secara gamblang.  “Audit internal masalah berwenang atau tidak bukan kewenangan kami,” dalihnya.

Saksi Andreanto tetap ngotot mengatakan kalau penyidik telah memiliki alat bukti yang cukup untuk menetapkan pemohon sebagai tersangka. Ketika ditemui wartawan usai memberikan keterangan pada persidangan, Andreanto sebagai saksi fakta tidak mau berkomentar. “Saya no komen, ini bukan ranah saya menjelaskan,” katanya singkat ketika ditanya wartawan soal audit internal yang dilakukan tim auditor Kejati Bali.

Disisi lain, Tim Kuasa Hukum Unud Dr. Nyoman Sukandia, S.H., M.H., menanggapi keterangan saksi ahli dari termohon, dengan tegas menyampaikan bahwa dalam penerapan pasal 2 dan 3 Undang Undang tipikor, itu harus atau wajib adanya audit dulu untuk kerugian keuangan negara. Sedangkan untuk pasal 12e, itu tidak perlu audit. Hal itu menjadi penting kata dia, karena dalam kasus ini, persoalan pokoknya adalah terkait kerugian keuangan negara.

“Dalam pembuktian di persidangan, juga belum ada yang diajukan bukti tentang hasil audit. Bahwa dijelaskan juga oleh saksi fakta, audit internal juga belum selesai dari termohon. Namun, dari saksi ahli, mengatakan, wajib ada audit sebelum menetapkan menjadi tersangka,” jelas Sukandia ditemui usai sidang.

Penegasan juga disampaikan Tim kuasa hukum Unud lainnya, Gede Pasek Suardika (GPS) SH, MM yang menurutnya, selain terkait penegasan wajib ada hasil audit sebelum penetapan tersangka, yang kedua juga disampaikan oleh ahli, bahwa uang yang masuk ke rekening milik lembaga pemerintahan, tidak bisa dikategorikan kerugian. Hal itu justru bisa dikategorikan dengan pendapatan dan kalaupun ada warga negara memasukkan itu harus mengembalikan, maka harus ada proses Administrasi atau perdata.

“Dilihat dari konteks itu, rekening Unud kan sama punya pemerintah juga, lembaga negara. Ketika orang memasukkan uang kesana, itu tidak merugikan keuangan negara, justru menambah. Dan saksi ahli juga sepaham bahwa itu menambah keuangan negara. Itu saya kira hal-hal prinsip kenapa orang dijadikan tersangka. Tetapi latar belakang orang dijadikan tersangka,” kata Pasek.

“Dalam sidang ini, hakim juga sempat bertanya kepada saksi ahli, untuk penerapan pasal 2 dan 3 apakah harus ada audit perhitungan kerugian negara. Itu tegas dipertanyakan oleh hakim dan tegas dijawab oleh saksi ahli bahwa harus ada hasil audit kerugian negara,” tegasnya.

Sementara, ditempat terpisah, Ahli Hukum Administrasi, Prof Dr I Wayan Parsa, yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud) menyampaikan tentang kewenangan menetapkan kerugian negara bahwa satu-satunya lembaga yang berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Menurut Prof Wayan Parsa, lembaga BPK inilah yang memperoleh kewenangan konstitusional dalam Undang-Undang Dasar. Apabila dari lembaga audit lain yang ditunjuk, boleh saja mereka menghitungnya namun yang mendeklarasikan atau yang menetapkan benar ada atau tidak kerugian negara itu tetap BPK.

“Lembaga lain boleh melakukan audit, namun yang mendeclare itu tetap kewenangan ada di BPK. Bila audit dilakukan oleh internal tanpa melibatkan BPK, ini tentu cacat kewenangan,” kata Prof Wayan Parsa.

Sebelum adanya hasil dari BPK, lanjut Prof Wayan Parsa, maka Kejaksaan belum boleh menetapkan tersangka atau penetapan tersangka tidak sah. “Untuk sahnya hasil audit itu harus ada 3 hal yang harus dipenuhi, yakni Kewenangan, Prosedur, dan Substansi. Satu saja itu tidak dipenuhi, tentu tidak sah,” tegas Prof Wayan Parsa mengakhiri.(BB).