Satgas Mafia Tanah Diminta Bertindak, Made Suka Ungkap Tanahnya Dibayar 'Cek Bodong' Kini Malah Mau Dieksekusi

  07 Februari 2022 HUKUM & KRIMINAL Denpasar

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Mafia tanah terus saja bergentayangan merampas hak tanah warga di Pulau Bali. Sayangnya, Satgas Mafia Tanah yang dibentuk pemerintah dengan jargon berantas mafia tanah hingga kini belum juga menunjukkan bukti untuk menindak mafia tanah yang sangat meresahkan masyarakat tersebut. 

Terbukti, banyak eksekusi tanah dan bangunan yang terjadi di wilayah Bali tanpa dasar keadilan dan mengabaikan aspek kebenaran meski fakta dan data kepemilikan sangat terang benderang. Contohnya, kasus sengketa tanah yang merugikan rakyat kecil di Bali yang menimpa seorang warga bernama Made Suka, pemilik lahan seluas 5,6 hektar yang hendak dieksekusi di wilayah Ungasan Kuta Selatan, Badung, Bali. 

Made Suka selaku ahli waris lahan yang menjadi korban mafia tanah ini mengaku sangat keberatan setelah mendengar adanya pihak juru sita dari Pengadilan Negeri (PN) Denpasar yang hendak mengeksekusi lahannya tersebut. Apalagi awalnya proses jual beli tanahnya dalam perjanjian disebut-sebut cacat hukum.

Awalnya tanah milik almarhum orang tuanya yang merupakan tanah warisan yang telah bersertifikat SHM No. 271/Ungasan atas nama I Made Nureg dikabarkan telah berubah menjadi 2 Surat Hak Milik (SHM) No. 507/Ungasan atas nama Lie Herman Trisna dan Lie Tonny Mulyadi dan SHM No. 508/Ungasan tercatat atas nama Irwan Handoko.

"Tanah tersebut dijadikan anggunan yang tidak pernah dibayarkannya di salah satu bank di Jakarta. Akhirnya tanah tersebut dilelang, sakit hati saya tanah belum lunas tetap saja dilelang oleh bank," ungkap I Made Suka kepada awak media, Senin (7/2/2022). 

Apalagi Made Suka mengaku selaku ahli waris belum sama sekali menerima pembayaran dari penjualan lahan tersebut, sementara sertifikatnya sudah balik nama dan diagunkan bank. Janggalnya, begitu uang dicairkan pihak pembeli dikabarkan kabur. Kasus ini mencuat berawal dari orang tuanya yang menjual tanah tersebut seluas 5,6 hektar kepada seseorang bernama Bambang Samiyono. 

Selanjutnya sekitar tahun 1992 setelah adanya kesepakatan didepan Notaris Putu Chandra, dengan nominal Rp 2 miliar lebih ternyata yang bersangkutan gagal bayar dan beberapa cek yang digunakan untuk transaksi jual beli tanah tersebut ada yang palsu. 

"Sebelumnya sudah ada kesepakatan dengan Bambang Samiyono selaku pembeli di depan notaris Putu Chandra. Kalau tanah tersebut akan dibeli dengan harga Rp 2 miliar lebih pada tahun 1992. Namun ternyata gagal bayar. Dan cek yang digunakan semua blong alias bodong," jelas Made Suka. 

Selanjutnya atas inisiasi, Notaris ingin melakukan penagihan kepada yang bersangkutan, namun justru mengalami kebuntuan, sehingga Notaris pun melakukan penarikan terhadap cek-cek yang diberikan kepada dirinya. Tanpa ada sepengetahuan dari pihaknya (Made Suka) sebagai ahli waris, kemudian diketahui bahwa surat-surat tanah tersebut ternyata telah dijadikan anggunan salah satu Bank di Jakarta, yang pada akhirnya Bank tersebut melakukan pelelangan terhadap bidang tanah tersebut. 

"Tanpa sepengetahuan saya, tanah tersebut sudah dijadikan anggunan pada salah satu bank di Jakarta, yang pada akhirnya tanah tersebut dilelang. Saya tidak terima, tanah belum lunas dibayar kok tiba-tiba dijadikan anggunan bank dan berakhir di pelelangan. Selanjutnya saya menanyakan semua, pihak badan lelang justru meminta saya untuk mengikuti lelang agar bisa mendapatkan tanah itu kembali. Bagaimana saya bisa disuruh ikut lelang atas apa yang saya miliki? Tidak masuk akal," sesalnya. 

Sementara, selaku Penasihat Hukum (PH) dari Made Suka, Siswo Sumarto, S.H mengatakan transaksi itu adalah temporary karena keuangan belum diterima penuh oleh pemilik lahan. Pihaknya juga sudah melakukan upaya gugatan baru ditahun 2021 dengan memunculkan novum terhadap pernyataan Bambang Samiyono yang mengamini bahwa Bambang Samiyono belum pernah melakukan pelunasan jual beli terhadap objek tersebut secara tertulis dan sudah berproses di pengadilan dan mohon sampai proses ini terang benderang. 

"Sepertinya Notaris terlalu ceroboh dan tidak berpegangan dengan sikap kehati-hatian, seharusnya itu temporary. Apabila dari perbankan itu cair, pembeli harus melunasi kepada pihak penjual, tetapi begitu cair bukannya membayar malah kabur begitu saja," sentil Bowo. 

Menurut Bowo, mestinya notaris melakukan prinsip kehati-hatian terhadap profesinya untuk mengcover penjual, apalagi penjual ini tidak pegang sesuatu semisal second agreement, semestinya pengacara membikin itu bahwa jual beli ini adalah temporary. 

"Apabila dari perbankan itu cair, pembeli harus melunasi kepada pihak penjual. Jadi begitu cair dengan leluasa Bambang Samiyono ini menghilang begitu saja," tegas Bowo. 

Bowo juga menerangkan bahwa sudah melakukan upaya gugatan perdata baru dan berniat mencegah aksi eksekusi yang dilakukan oleh pihak pembeli lelang. Bowo mengakui pihaknya saat ini masih fokus pada penetapan hak saja. 

"Jangan sampai hak ahli waris dari leluhur hilang begitu saja. Kita buktikan di pengadilan. Kita sudah dapat novum baru, ini adalah pernyataan tertulis dari Bambang Samiyono bahwa dia mengakui belum membayar lunas tanah tersebut," tutupnya.(BB).