Pengacara "Dipaksa" Buat STLD Per Tiga Bulan 100 Ribu di Banjar Dukuh Pesirahan, Togar Situmorang Minta Sosialisasikan Pungutan Agar Transparan

  18 Juni 2021 HUKUM & KRIMINAL Denpasar

Foto: Advokat Rudi Hermawan, S.H. memegang Surat Tanda Lapor Diri (STLD) yang dikeluarkan oleh Desa Adat Pedungan dengan biaya Rp. 100.000 di tangan kiri.

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Rudi Hermawan, S.H. seorang Advokat atau pengacara muda yang berkantor di Togar Situmorang Law Firm sangat terkejut ketika didatangi sejumlah orang yang memperkenalkan diri sebagai Pecalang dari Banjar Dukuh Pesirahan, Desa Adat Pedungan, Kota Denpasar.

Kejadian tersebut terjadi pada hari Selasa tanggal 15 Juni 2021, sekira kurang lebih Pukul 19.00 WITA, sekelompok orang yang jumlahnya kurang lebih ada 10 orang mendatangi kediaman Advokat Rudi Hermawan, S.H. Ketika ditanya oleh Advokat muda tersebut sekelompok orang ini menjelaskan jika mereka merupakan Pecalang dari Banjar Dukuh Pesirahan, Desa Adat Pedungan, Kota Denpasar.

Adapun maksud tujuan pecalang tersebut adalah untuk memeriksa identitas dari Rudi Hermawan, S.H. yang tentu saja kemudian Advokat Muda tersebut memberikan identitas dirinya berupa Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-EL) yang merupakan identitas resmi bagi Warga Negara Indonesia. 

Namun keanehan terjadi setelah Advokat Muda Rudi Hermawan, S.H. menunjukkan identitas berupa Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-EL) miliknya kepada salah satu Pecalang tersebut, dimana karena Rudi Hermawan, S.H. adalah seorang pendatang dan dari identitasnya bukan merupakan warga dari Desa Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali maka kemudian salah satu Pecalang yang namanya tidak diketahui tersebut menanyakan terkait kepemilikan Surat Tanda Lapor Diri (STLD) yang dikeluarkan oleh Desa Adat Pedungan, yang tentunya tidak dimiliki oleh Advokat Rudi Hermawan, S.H. 

Bahwa kemudian karena Advokat Rudi Hermawan, S.H. tidak memiliki Surat Tanda Lapor Diri (STLD) maka Pecalang tersebut mengatakan akan menahan identitas milik Advokat Rudi Hermawan, S.H. tersebut berupa Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-EL) yang merupakan hak konstitusional setiap Warga Negara Indonesia untuk memilikinya.

Terkait hal itu, tentunya Advokat Muda tersebut menyatakan keberatan atas upaya Pecalang  untuk menahan Identitas miliknya sehingga mengambil kembali Identitas miliknya tersebut dari salah satu Pecalang. 

Pertanyaanpun kemudian ia sampaikan "Atas dasar apa bapak bisa menahan KTP saya dikarenakan saya tidak memiliki Surat Tanda Lapor Diri (STLD) yang dikeluarkan oleh Desa Adat Pedungan?" tanyanya kepada Pecalang tersebut. 

Pecalang tersebut pun tidak dapat menunjukan dasar hukum yang jelas dan hanya menjawab dengan jawaban semua jika itu sudah merupakan peraturan Desa Adat Pedungan sejak dahulu dengan tidak menunjukan dimana peraturan tersebut dimuat. 

Berkenaan dengan penyampaian Pecalang tersebut Advokat Muda Rudi Hermawan, S.H. menolak apabila KTP nya ditahan tanpa dasar hukum yang jelas dimana penolakan tersebut ditanggapi secara tidak baik oleh para Pecalang yang jumlahnya kurang lebih 10 orang tersebut dengan mengatakan "kamu ini ngelawan saja" yang kemudian langsung dijawab oleh Advokat muda tersebut "Saya tidak melawan, saya hanya menanyakan kapasitas bapak-bapak apa untuk menahan KTP dan dimana hal tersebut diatur,” ucapnya. 

Mendapat jawaban yang tidak memberikan kejelasan tersebut Rudi Hermawan, S.H. kembali menanyakan siapa yang bisa memberikan dasar hukum yang membenarkan atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pecalang tersebut, dimana kemudian para pecalang tersebut meminta Advokat tersebut untuk bertemu dengan Kelian Banjar Dukuh Pesirahan kemudian Advokat tersebut menuju lokasi Banjar Dukuh Pesirahan dengan diantarkan oleh salah satu Pecalang yang sebelumnya melakukan pemeriksaan dikediaman Advokat Rudi Hermawan, S.H. 

Setelah bertemu dengan Kelian Adat di Banjar Dukuh Pesirahan yang beralamat di Jl. Pulau Roti No.21, Pedungan, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, kembali Advokat Muda tersebut menanyakan terkait dasar hukum Pecalang atau Desa Adat dapat menahan KTP Pendatang dikarenakan tidak memiliki Surat Tanda Lapor Diri (STLD) yang dikeluarkan oleh Desa Adat Pedungan.

Namun Rudi Hermawan, S.H. mendapatkan jawaban yang sama dengan sebelumnya yaitu jika peraturan tersebut sudah ada sejak dulu tanpa ditunjukkan dasar-dasar hukum yang jelas. Anehnya yang sangat mengejutkan lagi ternyata Advokat Muda Rudi Hermawan, S.H. juga mendapat penjelasan jika dalam membuat Surat Tanda Lapor Diri (STLD) ada biaya sejumlah Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).

Ternyata, Surat Tanda Lapor Diri (STLD) tersebut hanya berlaku untuk 3 (tiga) bulan dan harus diperpanjang setiap tiga bulan sekali dimana ketika memperpanjang Surat Tanda Lapor Diri (STLD) tersebut ada biaya yang harus dibayarkan lagi yaitu sebesarRp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). 

Mendengar hal tersebut Advokat Muda Rudi Hermawan, S.H. tetap bersikukuh tidak bersedia apabila identitasnya miliknya berupa KTP-EL ditahan oleh Pecalang atau Desa Adat Pedungan. Namun disisi lain baik Kelian maupun anggota Pecalang Banjar Dukuh Pesirahan tetap bersikukuh untuk menahan KTP milik Advokat Muda tersebut, yang kemudian akibat perdebatan tersebut membuat keadaan menjadi tidak kondusif. 

Mendapati keadaan yang menjadi kurang kondusif tersebut Rudi Hemrawan, S.H. dengan sangat berat hati dan terpaksa pada malam itu juga membuat Surat Tanda Lapor Diri (STLD) yang dibuatkan oleh salah satu pecalang dan membayar biaya pembuatan STLD sejumlah Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) sehingga KTP-EL miliknya tidak ditahan. 

Rudi Hermawan, S.H. Advokat Muda yang berkantor di Togar Situmorang Law Firm sangat menyayangkan peristiwa yang dialaminya tersebut. Pasalnya, dirinya yang merupakan asli Warga Negara Indonesia (WNI) yang dibuktikan dengan KTP Elektronik miliknya yang merupakan Identitas Resmi di Negara Republik Indonesia.

Ia juga merasa diperlakukan seperti orang asing di negerinya sendiri dimana untuk tinggal di lingkungan Banjar Dukuh Pesirahan, Desa Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali harus membayar sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk membuat dan memiliki Surat Tanda Lapor Diri (STLD)  tersebut dan harus diperpanjang setiap tiga bulan sekali serta harus membayar kembali Rp. 100.000,-.

Baginya, baik dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia maupun di seluruh  Perda Desa Adat terutama Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Provinsi Bali yang telah mengakui keberadaan Desa Adat di seluruh Bali, tapi tidak ada satupun klausul yang menerangkan jika seorang Pendatang di Bali harus membayar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk membuat dan memiliki Surat Tanda Lapor Diri (STLD) yang dikeluarkan oleh Desa Adat dan harus diperpanjang setiap tiga bulan sekali. 

Bahkan, atas terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Provinsi Bali, Desa Adat mendapatkan Anggaran Pendapatan Desa Adat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi, sehingga sudah tidak semestinya Desa Adat Pedungan masih menarik biaya dari pembuatan Surat Tanda Lapor Diri (STLD) dari para Pendatang yang bekerja di Bali. 

"Saya ingin bertanya, ketika tidak ada peraturan Perundang-undangan ataupun Perda yang mengatur terkait Pendatang yang harus membayar sebesar Seratus Ribu untuk memiliki atau membuat STLD yang dikeluarkan oleh Desa Adat. Apalagi STLD tersebut harus diperpanjang setiap tiga bulan sekali dengan ancaman Identitas Pendatang akan ditahan oleh Pecalang atau Desa Adat apabila tidak memilikinya, Apakah ini suatu perbuatan yang resmi dan tidak bertentangan dengan Undang-undang? Tolong berikan Dasar Hukum yang membenarkan atas tindakan tersebut kepada saya !! Terimakasih," tanya Advokat Muda Rudi Hermawan, S.H. kepada awak media. 

Terkait hal ini, Advokat dan Pengamat Kebijakan Publik Togar Situmorang menilai kalau memang demikian harusnya terkait tagihan tersebut dapat ditoleransi, namun yang memberatkan apabila warga atau pendatang yang tidak bisa membayar maka KTPnya akan ditahan. 

Menurut Togar sendiri ini ada unsur semacam pemaksaan, sehingga mohon kiranya bisa di sosialisasikan kembali terkait dana yang dipungut kepada warga setempat itu untuk apa agar lebih transparan. 

"Mohon jangan sampai ada gesekan yang tidak diharapkan kedepannya dan mohon diperhatikan bagi para pemimpin desa dan masyarakat setempat,” tutup CEO & Founder Law Firm “TOGAR SITUMORANG“ dengan kantor pusatnya di Jl. Tukad Citarum No.5 A, Renon, Denpasar Selatan dan Jl. Kemang Selatan Raya No.99, Gedung Piccadilly,Jakarta serta Jl. Pengalengan Raya No.355, Bandung, Jawa Barat.(BB).