Pemprop Diminta Jujur, Pasek: Bantu Warga Jika "Lockdown ala Bali", Pakai Saja Istilah Eka Brata?

  07 April 2020 OPINI Denpasar

Gede Pasek Suardika beri saran dan masukan ke Pemprop Bali, MDA dan PHDI Bali

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Majelis Desa Adat (MDA) bersama PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia) dan diketahui oleh Gubernur Bali rencananya akan memutuskan Nyepi Desa Adat atau "Nyipeng" serentak di semua Desa Adat di Bali selama tiga hari yaitu pada Senin tanggal 18 hingga Senin 20 April. Hal itu dilakukan dalam upaya melengkapi upaya Skala lan Niskala untuk mempercepat penanggulangan Virus Corona atau Covid-19. 

Salah satu tokoh Bali yang kini menjabat Sekjen Partai Hanura Gede Pasek Suardika (GPS) tidak setuju memakai istilah Nyepi selama tiga hari, karena menurutnya Nyepi sudah ada standar ajarannya. Bagi Pasek, hal itu lebih baik Bali memakai istilah lockdown berbasis kearifan lokal Bali atau lockdown ala Bali. Selain itu, Pasek usulkan istilah Eka Brata atau Ngeka Brata selama tiga hari karena ebih ada dasarnya.

"Haruskah pakai istilah Nyepi, kemudian haruskah logika bahwa sasih keenam, kepitu, sampai kesanga ini harinya Butha Kala?. Saya kira kita jadinya kebingungan mencari formasi kebenaran cara berpikir yang lebih sehat, lebih terukur karena begitu sering ada hal yang mendadak. Jangan kita pakai Nyepi karena hitungan Nyepi ini terkait hitungan I Caka," ucap Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini kepada awak media Baliberkarya.com, Selasa (7/4/2020).

"Biar bisa kita luruskan sekarang muncul lagi istilah Nyepi tiga hari atau Nyipeng, tata ritualnya seperti apa? Dimana sastra itu diatur? Dilontar mana? Atau dimana ditemukan tradisi itu? Jangan dadakan begini," imbuhnya.

Mantan Anggota DPD RI ini berharap Pemprop Bali jujur jika memang akan melakukan "Lockdown Khas Bali" untuk mencegah Virus Corona, tapi jangan Nyepinya diambil karena Nyepi hitungan I Caka dimana siklus yang sudah berjalan dari dulu sampai sekarang. Meski kejadian hari ini adalah hal yang luar biasa, namun Pasek berharap janganlah mengubah istilah untuk dipadankan dan disatukan biar orang mau nurut dan mengikuti imbauan tersebut.

"Tidak bisahkah kita jujur bahwa Bali akan mengambil posisi lockdown Khas Bali. Kita ikuti imbauan Pemerintah tetapi kita harus tetap kritis janganlah pakai istilah Nyepi. Sudahlah putuskan bersama MDA (Majelis Desa Adat), PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia) dan Pemprop Bali untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona atau Covid-19 kita menggunakan cara tradisonal Bali, cara kearifan lokal Bali yaitu Lockdown ala Bali," tegas mantan pengacara ini.

"Saya kawatirkan istilah Nyepi dengan Lockdown ini khan satu sisi dari sudut agama, satu sisi dari sudut Undang-undang. Kalau memakai istilah lockdown atau karantina wilayah Pulau Bali misalnya tiga hari maka Pemprop Bali harus menyiapkan anggaran untuk masyarakatnya selama tiga hari ada dirumah. Mungkin menghindari itu karena penganggarannya masih bingung, penatannya masih bingung akhirnya memakai istilah keagamaan," tambah Pasek.

Mantan Wartawan ini berharap jangan semua simbol-simbol Bali dipakai pembenaran dimana sebenarnya itu tidak ada kaitan langsung dengan siklus Tahun Caka. Pasek menilai Pemprop Bali bersama MDA maupun PHDI mempertontonkan kebingungan didalam mengatasi masalah. Pasek berpandangan hal ini penting perlu disampaikan bahwa sebagai warga dan krama harus tetap melaksanakan bakti Catur Guru yaitu mentaati, menuruti apa yang diputuskan oleh Guru Wisesa tetapi jangan sampai kehilangan daya dan nalar kritis untuk meluruskan hal-hal yang kurang pas.

"Jangan sampai kita mempertontonkan kebingungan terus, tiba-tiba Dinas Pemajuan Desa Adat membuat surat tentang Nasi Wong-wongan dan lainnya sehingga warga berbondong-bondong beli banten khusus menimbulkan keramaian dan antrian sehingga melanggar sosial distancing serta harga bahan dasar serba naik berlipat-lipat jadinya yang menimbulkan kesulitan dan kebingungan warga," sentilnya.

Demi kemajuan dan keselamatan serta kesehatan bersama, Pasek setuju jika Pemprop Bali bersama MDA maupun PHDI memilih istilah lockdown berbasis lokal Bali, atau istilah lainnya seperti Eka Brata atau Ngeka Brata selama tiga hari yang dianggapnya lebih ada dasarnya. Pasek juga mengingatkan jangan mencampuradukkan dan dipaksakan semua istilah-istilah Bali untuk mengatasi Virus Corona agar tidak "campah". 

Sekali lagi, Pasek menyampaikan kritik dan saran bagi Gubernur Bali, Satgas Covid-19, MDA (Majelis Desa Adat) maupun PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia) agar jangan memakai istilah Nyepi atau Sipeng dan menyarankan memakai istilah Eka Brata atau Ngeka Brata selama tiga hari yang dinilai lebih sesuai lockdown berbasis lokal Bali.

"Orang ini baru habis Nyepi kok Nyepi lagi. Itu khan tidak bisa begitu, dasarnya apa? Tradisinya apa? Ini harus dijelaskan dulu kalau mau memaksakan posisi itu. Jangan menuduh Butha Kala penyebab selama sekian sasih. Mari kita jaga taksu Bali, jangan semua istilah-istilah Bali yang selama metaksu ditempelkan dimana-mana yang tidak pas dengan maknanya," tutup Pasek.

Seperti dalam pesan berantai yang beredar santer di media sosial bahwa Majelis Desa Adat (MDA) bersama PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia) dan diketahui oleh Gubernur Bali rencananya akan memutuskan Nyepi Desa Adat atau "Nyipeng" serentak di semua Desa Adat di Bali selama tiga hari. 

Hal itu secara Niskala sangat berkaitan dengan menghormati Bhuta Kala sebelum Tilem Kadasa yaitu tanggal 22 April 2020, disertai dengan Upacara Bhuta Yadnya yang berskala Kecil. Krama Adat hanya tidak boleh keluar rumah atau tinggal dirumah saja selama 3 hari, kecuali yang mempunyai tugas-tugas khusus, dan mendapatkan dispensasi. 

Sedangkan Umat yang bukan Krama Desa Adat dihimbau untuk berpartisipasi. Sebelum diputuskan, pada Rabu tanggal 8 April 2020 Majelis Desa Adat bersama PHDI Bali akan melakukan rapat atau paruman untuk memfinalisasi rencana Nyepi atau Nyipeng Desa Adat ini.(BB).