Gugatan Perdata Berakibat Kasepekang

Ini Tiga Sanksi "Kasepekang" Menimpa Puluhan Warga Desa Adat Tanjung Benoa

  22 Desember 2018 OPINI Badung

Baliberkarya

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Badung. Sebanyak 11 Kepala Keluarga (KK) atau 65 jiwa keluarga besar I Nyoman Darna, warga Desa Adat Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung di "kasepekang" atau dikucilkan secara adat. Hal itu akibat gugatan perdata yang dilayangkan keluarga I Nyoman Darna terhadap Desa Adat Tanjung Benoa di Pengadilan Negeri Denpasar.
 
 
"Kami melakukan gugatan secara  perdata untuk menuntut keadilan dan mempertanyakan status tanah yang keluarga kami garap secara turun temurun. Jadi kami keberatan dengan putusan paruman desa adat bahwa keluarga kami kasepekang," ujar I Wayan Sutaya adik I Nyoman Darna didampingi sejumlah anggota keluarga yang kasepekang dalam keterangannya di kediamannya di Tanjung Benoa.
 
Putusan "kasepekang" ini tertuang dalam Peraturan Pemutus Wicara Paruman Agung Krama Desa Adat Tanjung Benoa tentang Pengenaan Sanksi Adat kepada Keluarga I Nyoman Darma, Nomor: 01/SA/PDA-TB/XI/2018 tertanggal 18 November 2018. Hasil paruman ini ditandatangani Bendesa Adat Tanjung Benoa dr. I Made Sugianta bersama prajuru adat lainnya.
 
Kasus "kasepekang" ini bermula ketika keluarga I Nyoman Darna mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Denpasar atas dua objek tanah negara yang sejak puluhan tahun digarap namun belakangan disertifikatkan oleh Desa Adat Tanjung Benoa. 
 
Tanah yang diklaim sebagai milik desa adat tersebut yakni Sertifikat Hak Milik (SHM) No.406 atas nama Pura Segara Desa Adat Tanjung Benoa seluas 1.227 m2 dan SHM No.80 atas nama Pura Penataran Desa Adat Tanjung Benoa seluas 1.669 m2.
 
Padahal menurut I Wayan Sutaya  selaku adik I Nyoman Darna, tanah tersebut awal merupakan tanah milik Provinsi Bali yang diberikan hak untuk mengelola bidang tanah Dana Bukti /Tanah Negara Persil 54 klas II dengan luas 1.490 Ha per 1 Januari1972 kepada orang tua I Wayan Darna yang juga sudah menggarap tanah tersebut sebelum keluarnya surat Keputusan (SK) Gubernur Bali. 
 
Kemudian diturunkan hak menggarap, mengelola dan membayar pajak tanah ini hingga tahun 1989 kepada I Nyoman Darna. Akhirnya sampai terbit Buku Dasar Tanah Dana Bukti No. 185 dengan persil 54 klas IIA Banjar Tanjung Benoa tanggal 1 Juni 1979 dengan letak tanah di Desa Tanjung Benoa yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Provinsi Bali.
 
"Dalam perjalanannya ada pengambilalihan tanah tersebut dan tahu-tahu sebagian sudah  disertifikatkan pada tahun 2011 oleh Desa Adat Tanjung Benoa," terang Sutaya.
 
 
 
Pada tahun 2015 keluarga I Nyoman Darna mulai bersikap dan berdiskusi dengan Bendesa Desa Adat Adat Tanjung Benoa saat itu yakni I Made Wijaya. Namun karena tidak ada titik temu, Bendesa menyarankan agar permasalahan ini diselesaikan di jalur hukum.
 
"Maka kami sekeluarga sepakat untuk memperjuangkan hak kami sesuai data yang kami miliki dan juga saran dari Jro Bendesa Desa Adat Tanjung Benoa, dengan menempuh jalur hukum sesuai hukum positif yang berlaku," jelas Sutaya.
 
Gugatan kembali dilakukan ke PN Denpasar atas dua objek tanah yakni SHM No.406 seluas 1.227 m2 dan SHM No.80 seluas 1.669 m2. Gugatan atas objek tanah seluas 1.669 m2 ditolak PN Denpasar. Tidak puas dengan putusan PN ini, pihak I Nyoman Darna mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sementara gugatan terhadap objek tanah seluas 1.227 m2 masih bergulir di PN Denpasar. Jadi belum ada putusan inkrah.
 
Namun setelah permasalahan ini dibawa ke ranah hukum dengan gugatan perdata, akibatnya malah keluarga I Nyoman Darna dijatuhi saksi adat kasepekang. Keputusan ini sangat  disesalkan dan tidak bisa diterima pihak keluarga I Nyoman Darna.
 
"Seminggu setelah kami ajukan banding ke Pengadilan Tinggi, keluar keputusan kesepekang ini. Tentu ini kami sangat sayangkan. Jalur hukum yang kami tempuh malah dilawan dengan putusan kasepekang terhadap keluarga besar kami. Semestinya ikuti proses hukum yang ada," ungkap Sutaya.
 
Pihaknya pun mengaku menghormati proses hukum yang berjalan dan siap menerima apapun putusan inkrah nantinya. "Kalau gugatan kami ditolak dan tanah itu dinyatakan milik desa adat kami akan terima dan hormati. Kami hanya menanyakan dan meminta kepastian tentang hak kami," imbuh Sutaya.
 
Pihaknya pun keberatan dan menolak jika dikatakan melakukan pelanggaran adat dan melawan desa adat. "Tidak ada pelanggaran adat yang kami lakukan di luar gugatan hukum perdata ini. Kami juga tidak punya masalah dengan desa adat," papar Sutaya.
 
Hal senada disampaikan I Made Sutanaya adik I Nyoman Darna. "Kami keberatan dianggap melawan desa adat. Kami tidak pernah melawan desa dan tidak berani . Juga sama sekali tidak ada niat melawan desa adat," ucap Sutanaya menimpali.
 
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemutus Wicara Paruman Agung Krama Desa Adat Tanjung Benoa tentang Pengenaan Sanksi Adat kepada Keluarga I Nyoman Darma, Nomor: 01/SA/PDA-TB/XI/2018 tertanggal 18 November 2018 disebutkan ada sejumlah kesalahan ada yang dilakukan I Nyoman Darna sekeluarga.
 
 
I Nyoman Darna sekeluarga dianggap telah mengingkari Hal Milik Desa Adat Tanjung Benoa dan ingin mengembalikan pada negara tanah seluas 1.227 m2 kepada I Nyoman Darna dan keluarga, yang secara jelas oleh Negara telah diberikan kepada Desa Adat Tanjung Benoa. Hal yang sama juga dianggap dilakukan terhadap objek tanah seluas 1.669 m2.
 
 
I Nyoman Darna sekeluarga juga dianggap mengingkari keberadaan Pura Penataran Desa Adat Tanjung Benoa. Jawaban perkara di pengadilan dan saksi-saksi yang diajukan juga dianggap melecehkan simbol-simbol kesucian pura tersebut.
 
Sanksi "kasepekang" yang dijatuhkan sesuai Paruman Desa Adat Tanjung Benoa kepada keluarga I Nyoman Darna memuat tiga hal utama. Pertama, Desa Adat Tanjung Benoa tidak memberikan pelayanan serta menghentikan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan peradatan. 
 
Kedua, Desa Adat Tanjung Benoa tidak memberikan izin bagi I Nyoman Darna sekeluarga untuk mendapatkan dan menggunakan fasilitas milik desa adat.
 
Ketiga, Desa Adat Tanjung Benoa memberikan hak kepada Pecalang Desa Adat Tanjung Benoa dan Prajurit Banjar bersangkutan (Banjar Tengah dan Banjar Purwa Santhi) untuk melaksanakan dan mengamankan keputusan ini.
 
Terkait puluhan warga yang "kasepekang' ini, Bendesa Adat Tanjung Benoa dr. I Made Sugianta saat dikonfirmasi awak media menjelaskan dengan singkat kasus yang menimpa warganya itu.
 
"Maaf saya tidak bisa jelaskan lebih jauh dulu karena hal ini harus saya sampaikan bersama Klian dan pengurus desa adat lainnya. Yang jelas mereka kini dikenai 3 point dari 4 point sanksi adat," jelasnya.
 
Sugianta juga membantah jika kasus "kasepekang" yang menimpa puluhan warganya itu tidak terkait adat. Meski begitu, ia mengaku pihak desa adat masih membuka pintu maaf bagi warganya itu asal mereka mengakui kesalahannya dan menyudahi sengketa tanahnya di ranah hukum.
 
"Siapa bilang kasus mereka tidak terkait adat? Wong mereka menggugat tanah pelaba pura milik desa adat kok. Setahun lebih waktu habis untuk menghadiri sengketa di pengadilan," tegasnya singkat.(BB).