Bangun Budaya 'Sadar Bencana', BPBD Bali Imbau Masyarakat Tetap Waspada

  03 Oktober 2018 OPINI Denpasar

ilustrasi nett

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Tata ruang idealnya mengakomodir mitigasi bencana. Bangunan dibuat agar tahan gempa. Konstruksi dan komposisi bangunan di Bali yang sejalan dengan konsep Asta Kosala Kosali telah mengakomodir mitigasi bencana dan tahan gempa.
 
 
Hal itu dikemukakan Plt.Kalaksa BPBD Provinsi Bali, Dewa Putu Mantera, SH,MH saat ditemui Rabu (3/10/2018). “Tingkat kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana disinyalir masih kurang, tetapi cenderung mulai meningkat setelah adanya gempa dan diikuti tsunami Aceh,” ujar Mantera yang juga Kepala Kesbangpol Provinsi Bali itu.
 
Menurutnya, pengalaman berharga surutnya air laut sesaat setelah gempa, masyarakat yang berduyun-duyun bahkan berlomba-lomba menangkap ikan di pesisir pantai justru menjadi korban dihantam dasyatnya terjangan tsunami.
 
“Idealnya, minimal 1 persen dari anggaran baik APBN maupun APBD diperuntukkan untuk penanggulangan bencana, tetapi kondisi sekarang ketersediaan anggaran hanya nol koma nol nol nol sekian saja,” kata Mantera yang didampingi Kabid Rehabilitasi dan Rekonstruksi, I Made Rentin.
 
Ket foto : Plt.Kalaksa BPBD Provinsi Bali, Dewa Putu Mantera dan Kabid Rehabilitasi dan Rekonstruksi, I Made Rentin
 
 
Oleh karena itu, Mantera menilai perlunya kerja sama semua pihak (tri angulasi) dalam penanggulangan bencana yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, dalam membangun kesiapsiagaan menuju masyarakat sadar bencana bahkan menjadi budaya sadar bencana.
 
Pemprov Bali melalui BPBD Provinsi Bali, gencar melakukan edukasi kepada publik terutama masyarakat, dalam rangka kesiapsiagaan bencana, tapi mengingat kejadian bencana tidak terprediksi dan tidak dapat ditolak terjadinya, maka disamping paradigma kesiapsiagaan sekarang sudah bergeser mengarah ke paradigma pengurangan risiko bencana (PRB),
 
“Artinya ketika bencana terjadi maka langkah utama yang harus dilakukan adalah mengurangi risikonya. Sehingga dalam PRB dikenal dengan tagline kenali risikonya, jauhibahayanya," kata Mantera. Hal ini berati bahwa masyarakat diedukasi untuk mengenali tanda-tanda akan terjadinya bencana, dan jika bencana itu terjadi maka lakukan upaya menjauhi bencana itu sendiri yaitu proses penyelamatan diri. 
 
Membangun ketangguhan masyarakat harus dimulai dari diri sendiri, karena di saat terjadi bencana maka diri sendirilah yang pertama bisa memberikan pertolongan (upaya penyelamatan), bukan menunggu bantuan orang lain atau dari pemerintah. 
 
 
Selama ini peran dari dunia usaha sudah sangat bagus, disamping memberi bantuan material ketika ada bencana, erupsi gunung agung misalnya, juga secara aktif melakukan edukasi secara internal, mulai dari karyawan dan karyawati pada perusahaan tersebut, secara rutin dilakukan pelatihan atau simulasi dalam menghadapi bencana, minimal dengan melakukan pengecekan peralatan kebencanaan yang dimiliki, mengecek tabung apar misalnya atau simulasi gempa bumi yang ditandai dengan membunyikan sirene. 
 
Sementara itu Rentin menambahkan, peran serta dan kesadaran masyarakat menjadi hal terpenting, dalam upaya mewujudkan budaya sadar bencana. Bali yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari Indonesia yang memiliki ring of fire (cincin api), maka potensi bencana terutama gempa bumi dan tsunami sebagai ikutannya (ibarat kakak adik), tidak dapat dihindarkan, pasti akan terjadi tetapi belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan akan terjadinya. “Oleh karena itu, kata kuncinya adalah mari kita tetap waspada,” kata Rentin. (BB)