'Jawa Bali Crossing' Dihambat, Bali Siap-Siap 'Minus Listrik' Tahun 2021

  23 Januari 2018 EKONOMI Denpasar

ilustrasi nett

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Tga persen penduduk Bali belum terlayani aliran listrik, terutama di wilayah pegunungan. Untuk itu, proyek Jawa Bali Crossing (JBC) yang mengalirkan listrik dari Jawa ke Bali melalui kabel tegangan tinggi yang melintasi selat Bali perlu dipercepat, sehingga 100 persen penduduk Bali menikmati fasilitas listrik.
 
 
Namun wacana JBC mendapatkan penolakan dari elemen masyarakat seperti PHDI Provinsi Bali, Majelis Desa Pakraman, akademisi, dan Bupati Buleleng, dengan alasan melanggar Bhisama PHDI tentang radius kesucian pura, dan dampak negatif terhadap lingkungan. 
 
Menanggapi hal itu, General Manager PLN Distribusi Bali Nyoman Suwarjoni Astawa menyatakan PLN perusahaan yang terbuka terhadap kritik dari seluruh ‘stakeholder’. "Kita ingin pembangunan berjalan dengan baik. Kita hargai semua pendapat. Kira-kira awal Februari 2018 kita undang pihak yang menolak, duduk bersama diskusi baik-baik, agar jelas persoalannya," ucap Nyoman Astawa di Denpasar, Selasa (23/1/2018).
 
Nyoman Astawa mengaku JBC pada dasarnya bertujuan meningkatkan transfer daya dari jawa ke Bali sebesar 1000 MW ditargetkan mulai 2019. Ia berpendapat, proyek tersebut telah melalui rangkaian studi yang panjang, dengan biaya yang besar. 
 
"JBC juga telah masuk ke dalam daftar proyek strategis nasional melalui Instruksi Presiden yang dikeluarkan awal 2016 lalu yang harus dipercepat pembangunannya. Saya juga orang Bali. Saya pun tidak ingin tulah dengan melanggar kesucian pura. Tapi kami mohon kejelasan," pintanya.
 
Baginya, interkoneksi listrik seperti JBC sangat diperlukan untuk menjamin kebutuhan listrik di Bali dengan harga yang lebih murah. Jika memanfaatkan pembangkit-pembangkit yang sudah ada di Bali, menurutnya akan memakan biaya yang sangat tinggi, terbentur kebutuhan lahan dan air sehingga tarif listrik menjadi mahal.
 
"Potensi energi baru terbarukan di Bali, kapasitasnya hanya 104 MW ditambah transfer kabel bawah laut dari Jawa sebesar 1.280 MW. Biaya membangkitkan listrik di Jawa lebih murah 40 persen daripada di Bali," terangnya.
 
 
 
Untuk itu, jika tidak ada tambahan pembangkit yang besar di Bali seperti JBC, maka 2021 Bali mengalami pemadaman bergilir. Padahal sumber listrik di Jawa sangat melimpah. Bali ini beruntung dekat dengan pulau yang kaya potensi listrik. Ia menegaskan setelah pertemuan dengan elemen masyarakat penolak, segala sesuatu diharapkan berjalan dinamis. 
 
"Bisa saja towernya kita pendekkan, atau kita geser lagi. Namun ada konsekuensi tambahan biaya. Dipilihnya jalur itu karena paling pendek jaraknya," jelasnya.
 
Ia mengakui, PLN memiliki tugas yang sangat vital, yakni menjamin kecukupan listrik dengan harga terjangkau atau kompetitif. Jika tarif terjangkau, maka akan merangsang pertumbuhan ekonomi, karena investor tertarik mendirikan industri di Indonesia daripada di negara lain. 
 
Sementara, Pengamat Energi sekaligus Executive Director IESR Fabby Tumiwa menjelaskan, saluran udara tegangan tinggi JBC yang melintas di Selat Bali tidak berdampak terlalu signifikan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Hal itu menurutnya berdasarkan hasil studi dan sumber-sumber dari jurnal internasional.
 
Fabby menyebut, radiasi gelombang elektromagnetik dari handphone jauh lebih berbahaya. Proyek JBC itu sudah wacana dari tahun 1992 yang dicetuskan putra Bali lulusan Jerman.
 
"Itu khan tower. Berbahaya jika manusia diam terus menerus persis di bawah tower itu. Tapi ini kan tidak diam di sana (manusia)," kata dia meyakinkan. 
 
 
 
Sementara, beberapa waktu lalu, Ketua Komisi II DPRD Bali Ketut Suwandi, menyebut kebutuhan listrik di Bali sangat urgent. Suwandi juga sepakat energi listrik di Bali ditambah. Namun, dia meminta tower digeser lebih jauh dari kawasan Pura Segara Rupek. 
 
"Digeser saja towernya dari jarak lebih 2 kilometer, agar tidak melanggar kesucian. Kami ingatkan, Bali juga urgent listrik, masih ketergantungan dari Jawa," kata politisi Golkar itu. 
 
Suwandi juga mengakui jika aliran listrik melalui kabel bawah laut sangat riskan. Beberapa tahun lalu saat pemasangan kabel bawah tanah, Suwandi ikut memantau. 
 
Dari empat kabel yang dipasang, tiga putus. Teknisi dari Jepang pun terheran dengan kondisi tersebut. Setelah diselidiki ternyata arus bawah laut di Selat Gilimanuk sangat deras. 
 
"Saya juga heran, lima tahun lalu PHDI mendukung Bali crossing, tapi sekarang menolak. ‎Mungkin ini masalah komunikasi. Semua saling membutuhkan," jelasnya.(BB).