Kasus “Lubang Buaya” Giri Emas, Anggota DPRD Bali Berang dan akan Sidak ke Buleleng

  08 Oktober 2016 PERISTIWA Buleleng

istimewa

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Buleleng. Kasus penyerobotan tanah negara milik Provinsi Bali di kawasan “Lubang Buaya” Giri Emas, Kecamatan Sawan, Buleleng, membuat anggota Komisi I DPRD Provinsi Bali, Dewa Nyoman Rai SH MH, geram.
 
 
Tanah asset Kantor Inseksi Landuse seluas 3,5 hektare yang rencana digunakan untuk pendirian RS Pratama. Pasalnya, lokasi tersebut dipastikan merupakan tanah Nngara (TN) yang menjadi asset Provinsi Bali dan wajib mendapatkan persetujuan legislatif provinsi.
 
 
“Kalau memang itu asset Pemkab Buleleng, ngapain harus memohon lagi ke Provinsi (Hak pengelolaan). Coba suruh baca Undang-undang nomor 1 tahun 2004 dan PP 27 tahun 2014. Ini kok sepertinya Pemkab Buleleng tidak mengerti dengan aturan perundang-undangan,” ujar Dewa Rai saat dihubungi wartawan Jumat (7/10/2016).
 
 
Menurut Dewa Rai, dalam BAB VII Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah tepatnya pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sudah disebutkan dengan kalimat yang jelas dan tegas bahwa pemindahan barang milik negara/daerah baru bisa dilakukan setelah mendapat persetujuan dari DPR/DPRD.
 
 
Politisi PDIP asal Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Buleleng itu menguraikan bahwa pemindahan tangan asset yang harus mendapatkan persetujuan Dewan adalah tanah. Dan dalam masalah lokasi tanah negara yang ada di Desa Giri Emas, Rai memastikan berdasarkan dokumen awal status tanah tersebut diyakini merupakan TN asset milik Pemerintah Provinsi Bali.
 
 
Dengan nada berang Rai yang menjabat Sekertaris Komisi I DPRD Bali ini menyebutkan aturan aturan pelaksana dari UU No 1 Tahun 2004 pun telah dijabarkan secara tegas dalam PP 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Milik Negara/Daerah.
 
 
“Jelas-jelas tidak boleh ada pemindahan hak dengan tujuan untuk memiliki secara permanen. Karena sudah ditegaskan juga dalam aturan pelaksananya tentang sejauh apa cara pengelolaan asset milik negara,” papar Dewa Rai yang merujuk pasal 27 PP 27/2014.
 
 
Bersumber dari PP 27/2014 sebagaimana dimaksud Rai di pasal 27 intinya menyebutkan pemanfaatan barang milik negara hanya terbatas pada Sewa, Pinjam Pakai, Kerjasama Pemanfaatan, Bangunan Guna Serah atau Bangunan Serah Guna, dan Kerjasama dalam bentuk penyediaan infrastruktur.
 
 
Dan lama waktu terkait dengan pemanfaatan barang milik negara pun sudah jelas diatur dengan waktu kerjasama paling panjang selama 50 tahun serta dapat diperpanjang. Lalu, apakah bisa diusulkan oleh Pemkab Buleleng atau Adat?
 
 
Berdasarkan PP27/2014, lanjut Rai, aturan tentang pinjam pakai barang milik negara yang dalam sengketa hak pengelolaan di Desa Giri Emas seluas 3,5 hektare oleh pemerintah daerah pun diatur paling lama hanya 5 tahun dan sekali perpanjangan.
 
 
Dan untuk pemanfaatan dalam bentuk kerjasama penyediaan infrastruktur yang berlaku paling lama 50 tahun tersebut hanya bisa dilakukan antar pemerintah dengan badan usaha dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT), BUMN, BUMD, dan Koperasi. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 39 PP 27/2014.
 
 
“Kami di Komisi I DPRD Provinsi akan segera mungkin turun ke Buleleng untuk meninjau langsung. Karena selama ini, objek tersebut memang luput dari pendataan Agraria walau sudah berulang kali Komisi I minta untuk segera dilakukan pendataan asset milik Provinsi Bali,” pungkas politisi asal Desa Tembok, Kabupaten Buleleng.
 
 
Diberitakan sebelumnya, Pemkab Buleleng berencana membangun RS Pratama di lokasi tanah negara yang total luasannya mencapai 3,5 Hektare di Desa Giri Mas. Bersumber dari keterangan Ketua DPRD Buleleng, Gede Supriatna, menyebutkan tanah yang dimohonkan hanya seluas 2 Hektare dan akan digunakan untuk pembangunan RS Pratama hanya 1 hektare.
 
 
Sisa dari yang digunakan Pemkab Buleleng kemudian akan dimanfaatkan oleh adat setempat untuk pembangunan pasar yang nantinya dikelola oleh pihak adat. Ironisnya, masih belum ada persetujuan dari pihak Provinsi Bali atas permohonan yang konon telah diajukan.
 
 
Dan berdasarkan rekomendasi BPN Singaraja, Supriatna menyebut menjadi dasar Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana untuk mulai bergerak dengan menyurati masyarakat yang kini tinggal di TN asset Provinsi Bali itu.
 
 
Surat Bupati terhadap 3 orang warga di Desa Giri Mas dengan nomor register sama yakni 390/4394/Pem tanggal 11 September 2016, pun akhirnya menimbulkan reaksi hukum.
 
 
Pasalnya, muncul perjanjian yang tidak memiliki batas waktu pada dokumen Kantor Inspeksi Landuse Provinsi Bali tanggal 16 Oktober 1968 dengan almarhum Wayan Djapa. Perjanjian tersebut pun muncul lebih dahulu sebelum regulasi yang ada saat ini yakni UU 1/2004 dan PP 27/2014.
 
 
Bahkan, pengelolaan tanah tersebut pun sudah dilakukan lama sebelum munculnya perjanjian antara ayah Suada Cs (Djapa) dengan Kantor Inspeksi Landuse Provinsi Bali. Lalu, bagaimana kelanjutan surat Somasi tersebut?
 
 
Suada melalui kuasa hukumnya mengatakan, tidak ingin dibenturkan dengan kepentingan pembangunan RS Pratama. Pihaknya hanya merasa terkejut dengan surat yang disampaikan Pemkab Buleleng atas pemberian izin menempati tanah tersebut.
 
 
“Klien kami bukan tidak setuju. Karena jika memang benar akan ada Rumah Sakit (RS) di Giri Emas, itu sangat bagus dan tentu didukung. Tapi bagaimana dengan rumah klien kami serta hak pengeolaan yang sampai saat ini belum pernah dibatalkan secara hukum,” ujar Nyoman Sunarta SH.
 
 
Menurutnya, ini harus ada jalan tengah dan telah dilakukan upaya mediasi dengan Pemkab Buleleng yang diwakili Sekertaris Kabupaten (Sekkab) Buleleng, Dewa Ketut Puspaka. (BB/balieditor)