Jelang Galungan, Umat Digoda Sang Bhuta Tiga. Ini Filosofinya!

  06 September 2016 OPINI Denpasar

istimewa

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Hari Raya  Galungan mengandung makna pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena telah diciptakan dengan segala isinya. Selain itu juga Galungan merupakan hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Galungan juga merupakan suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari Adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
 
 
Berdasarkan berbagai referensi Hindu, pada hari-hari menjelang Galungan, umat manusia menghadapi godaan tiada tara dari Sang Bhuta Tiga, sehingga dibutuhkan keteguhan sikap dan ritual untuk menetralisirnya.  
 
 
Pada hari Panyekeban/Penapian, Redite Pahing Wuku Dungulan atau 3 hari sebelum Galungan adalah hari turunnya Sang Bhuta Galungan yang menggoda manusia untuk berbuat adharma. Galung dalam bahasa kawi artinya perang. Bhuta Galungan adalah sifat manusia yang ingin berperang atau berkelahi. Manusia agar menguatkan diri dengan memuja Bhatara Siwa agar dijauhkan dari sifat yang tidak baik itu. Secara simbolis ibu-ibu memeram buah-buahan dan membuat tape artinya nyekeb (mengungkung/ menguatkan diri).
 
 
Hari Penyajaan, Soma Pon Wuku Dungulan atau 2 hari sebelum Galungan adalah hari turunnya Sang Bhuta yang menggoda manusia lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Dungul dalam bahasa kawi artinya takluk. Bhuta Dungulan adalah sifat manusia yang ingin menaklukkan sesama atau sifat ingin menang. Manusia agar lebih menguatkan diri memuja Bhatara Siwa agar terhindar dari sifat buruk itu. Secara simbolis membuat jaja artinya nyajaang (bersungguh-sungguh membuang sifat dungul).
 
 
Hari Penampahan pada Anggara Wage Wuku Dungulan atau 1 hari sebelum Galungan adalah hari turunnnya Sabg Bhuta Amangkurat yang menggoda manusia lebih-lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Amangkurat dalam bahasa kawi artinya berkuasa. Bhuta Amangkurat adalah sifat manusia yang ingin berkuasa. Manusia agar menuntaskan melawan godaan ini dengan memuja Bhatara Siwa serta mengalahkan kekuatan Sang Bhuta Tiga dengan simbolis memotong babi “nampah celeng” artinya “nampa” atau bersiap menerima kedatangan Sang Hyang Dharma. 
 
 
Babi dikenal sebagai simbol tamas (malas) sehingga membunuh babi juga dapat diartikan sebagai menghilangkan sifat-sifat malas manusia. Sore hari ditancapkanlah penjor lengkap dengan sarana banten pejati yang mengandung simbol “nyujatiang kayun” dan memuja Hyang Mahameru (bentuk bambu yang melengkung) atas anugerah-Nya berupa kekuatan dharma yang dituangkan dalam Catur Weda di mana masing-masing Weda disimbolkan dalam hiasan penjor sebagai berikut: Lamak simbol reg weda, bakang-bakang simbol atarwa weda, tamiang simbol sama weda, dan sampian simbol yayur weda. 
 
 
Di samping itu penjor juga simbol ucapan terima kasih ke hadapan Sang Hyang Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan sandang pangan yang disimbolkan dengan menggantungkan beraneka buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan kain putih kuning. Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya galungan.                                                           
 
Hari Galungan pada Buda Kliwon Wuku Dungulan merupakan perayaan kemenangan manusia melawan bentuk-bentuk adharma terutama yang ada pada dirinya sendiri. Bhatara-bhatari turun dari kahyangan memberkati umat manusia. Persembahyangan di pura, sanggah pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih kepada Sang Hyang Widhi atas anugrah-Nya itu.(BB)