30 Jenazah Warga Blungbang Digali dari Kuburan. Ini Ceritanya!

  20 Agustus 2016 PERISTIWA Bangli

baliberkarya

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Bangli. Sedikitnya 30 sawa (jenazah) digali dan diangkat dari lahan kuburan atau setra adat Banjar Blungbang, Desa Pakraman Kawan, Kabupaten Bangli, Sabtu (20/8/2016).

Prosesi menggali kubur dan mengangkat kembali jenazah yang dikenal dengan istilah "ngagah sawa" atau "ngangkid sawa" ini menjadi bagian dari tradisi Ngaben di Br.Blungbang, yang untuk kelima kalinya digelar dalam kemasan upacara Pitra Yadnya  tahun 2016 ini.

Ke-30 jenazah yang di-angkud ini akan di-aben bersamaan dengan 10 jenazah yang sudah dibakar (makingsan di geni) sebelumnya, Minggu (21/8/2016). Pada tahun 2016 ini, hanya dengan modal Rp 4 juta, warga bisa mengupacarai leluhurnya melalui upacara Ngaben. Nilai sebesar itu sedikit lebih tinggi jika dibandingkan ngaben-ngaben sebelumnya yang bahkan bisa hanya bermodalkan Rp 1,5 juta.

Kelihan Adat Br.Blungbang, Bangli, Drs.I Putu Rupadana, MSi.,menjelaskan,  untuk tahun ini Ngaben akan digelar pada Minggu (21/8/2016). Rangkaian upacara sudah berjalan dalam hari-hari sebelumnya. “Kami menggelar Ngaben seperti ini sejak tahun 2001,” ujar Rupadana.

Ngaben yang dimaksud Rupadana adalah Ngaben massal. Pasalnya, dari krama pengarep sebanyak 116 KK, sebanyak 34 KK di antaranya ikut dalam upacara massal ini. Jumlah peserta Ngaben kali ini adalah 40 sawa (kerangka jenazah). Biaya Ngaben yang totalnya mencapai Rp 155 juta bisa dibagi secara adil, sehingga beban upacara Ngaben per  sawa hanya Rp 4 juta. Kalau dalam 1 KK menyertakan lebih dari 1 sawa, biayanya tak serta merta dikalikan begitu saja. Jika ikut 2 sawa maka biayanya menjadi Rp 7 juta.

Sedangkan untuk Nglungah atau Ngaben untuk jenazah orok atau bayi yang belum lahir, pesertanya sebanyak  17 sawa yang masing-masing hanya kena biaya upacara Rp 500 ribu per sawa.

Tentu saja, jika dibandingkan dengan menyelenggarakan upacara Ngaben individual alias tidak massal, biaya itu sangat jauh lebih ringan. “Bayangkan jika Ngaben secara individual saat ini mungkin biaya Rp 75 juta-Rp 100 juta per sawa bisa ludes,” kata Rupadana.

Tradisi Ngaben massa di Br.Blungbang, Bangli telah dilembagakan dalam awig-awig banjar adat setempat. Dan, ketentuan tentang penyelenggaraan Ngaben secara missal sangat dipatuhi warga dan dirasakan sangat meringankan.

Menurut Ketua Panitia Upacara Pitra Yadnya Br.Blungbang, Drs.I Dewa Gede Meranggi Adnyana,selain Ngaben, rangkaian upacara Pitra Yadnya “Suasta Geni” akan dilanjutkan dengan upacara Peroras atau Nyekah plus Mepandes (potong gigi).  

Upacara Peroras yang diperkirakan menelan biaya Rp 454 juta, diikuti  102 sekah dari  64 KK di mana per sekah hanya dikenakan biaya Rp 5 juta. Jika 2 sekah, hitungannya bayar Rp 9 juta. Sedangkan upacara Mepandes yang totalnya menghabiskan biaya Rp 45,9 juta diikuti 153 orang yang jika dihitung per orangnya kena biaya Rp 300 ribu.

Jika ditotal secara keseluruhan upacara Pitra Yadnya ini menelan biaya Rp 662 juta. Tetapi karena dibagi secara merata dan adil, setiap sawa yang dimiliki masing-masing KK bisa di-aben dan peroras dengan biaya tak lebih dari Rp 10 juta. Hemat, bukan?

Tak hanya di Br.Blungbang, Ngaben massal kini sepertinya menjadi semacam trend di kalangan orang Bali. Walaupun, kemunculan tradisi ini sesungguhnya tidak bisa dibilang baru.

Dulu, raja-raja atau keluarga puri kerap menggelar Ngaben bersama melibatkan masyarakat pendukung Puri. Namanya ngaben ngiring. Biaya upacara biasanya ditanggung pihak puri, sedangkan warga yang ikut hanya ngayah menyelesaikan sarana upakara. atau, warga yang ikut dikenai biaya yang cukup murah.

Dari segi biaya, ngaben massal memang jauh lebih hemat. Biaya sekali ngaben yang biasanya sekitar Rp 75 juta- 100 jutaan bisa dihemat menjadi hanya sekitar Rp 15 juta-Rp 20 juta. 

"Selain hemat biaya, Ngaben massal juga menjadi momentum untuk membangun kembali kebersamaan dan kegotong-royongan di kalangan krama desa adat. Dalam ngaben massal, seluruh warga melebur menjadi satu,” kata Rupadana.

Mengutip pernyataan Rektor Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Prof. Dr. I Made Titib beberapa tahun lalu, pelaksanaan upacara ngaben dan nyekah massal memang patut terus ditradisikan. Menurut Titib, pola massal sangat membantu warga yang tidak mampu. “Paradigma bahwa meyadnya harus besar itu mesti diubah karena itu hanya akan membebani umat,” kata Titib.

Hal senada diungkapkan mantan Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. Menurutnya, beragama jangan sampai menjadi beban. Dalam teks-teks agama Hindu pun, beragama mestilah dilakonkan dengan kesederhanaan dan kebersahajaan. (BB)