Akademisi Soroti Benang Kusut Perkawinan Padagelahang

  06 Agustus 2016 OPINI Denpasar

Baliberkarya/ist

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar, Sejak kehadirannya, Perkawinan Padagelahang memang menuai kontroversi. Namun, belakangan tak sedikit  diadopsi oleh pasangan pengantin untuk menempuh jenjang grahasta. Hal itu juga diperkuat dengan berbagai penelitian, bahwa perkawinan ini bisa menjadi solusi dengan menitikberatkan kesepakatan antar keluarga.
 
 
Memang perkawinan ini bisa menjadi altetnatif. Namun kenyataanya, disatu sisi sistem pernikahan ini nampaknya meninggalkan berbagai persoalan serius. Mulai dari  perebutan keturunan, melaksanakan kewajiban, hingga perdebatan sengit dalam pembagian warisan. Benang kusut perkawinan padehelang pun rumit untuk diluruskan kembali. 
 
 
Sistem perkawinan yang dipopularkan Pakar Hukum dan Adat Bali  Prof Wayan P. Windya tersebut menjadi perbincangan hangat dalam  Diskusi Kamisan yang digagas  Akademisi IHDN  Denpasar dengan  mengusung tema "Menyoal Dampak Hukum Adat Perkawinan Padegelahang di Bali" yang berlangsung di kantor PHDI Bali Jl Ratna no 71, Denpasar, Jumat ( 5/8).
 
 
Perkawinan padagelahang sendiri merupakan sebuah model perkawinan dengan konsep saling memiliki yang dilatarbelakangi dengan masing-masing pasangan pengantin  dalam keluarga sebagai anak tunggal. Atau bisa juga sebagai anak yang dipercaya untuk meneruskan kewajiban dan warisan. Sistem perkawinan ini dibeberapa daerah di Bali memiliki berbagai nama diantaranya negen dua, mapanak bareng, hingga nadua umah.
 
 
"Yang berat juga bagi mereka yang berbeda wangsa. Ini sangat dilema sekali. Atau tidak menutupkemungkinan bagi mereka yang menikah dengan etnis lain atau agama lain. Bahkan dengan WNA meskipun mustahil (menggunkan perkawinan Padegelahang, red),"kata Antroplog IHDN Dr I Nyoman Yoga Segara.
 
 
Meskipun perkawinan  Padegelahang kian popular di masyarakat namun  tak sepenuhnya diterima baik oleh krama Bali. Mengingat berbagai faktor internal yang masih mengganjal. Seperti garis  keturunan (purusa), kepercayaan reinkarnasi hingga pembagian warisan. Sehingga implikasi-implikasi bidang budaya, agama dan sosial masih membelit.
 
 
Disamping itu, sejauh ini awig-awig di desa pakraman belum mengakomodir  perkawinan Padagelahang. Sehingga porsi tawar sistem perkawinan ini belum diakui secara legal oleh desa adat. "Yang masih bisa diterima adalah memandik, nyentana  dan ngerorod,"kata Gede Sutarya, Dosen Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar menambahkan.
 
 
Pengalaman sulitnya menerim konsep kawin pagelahang diakui   I Gusti Nara Kusuma. Warga Gianyar yang juga peserta diskusi, kemarin itu dalam waktu dekat, ia akan melangsungkan pernikahan putra tunggalnya dengan calon pengantin asal Badung. 
 
 
Namun, sayang perkawinan yang dilangsungkan tidak mulus. Sebab, sang calon mantu merupakan pewaris tunggal dalam keluarga besarnya. Sehingga, pihak perempuan menawarkan perkawinan padagelagang sebagai solusi. Namun, Nara Kusuma beserta keluarga belum sepenuhnya bisa menerima mengingat berbagai pertimbangan.
 
 
"Bukan bermaksud membangkitkan feodalisme. Memang wangsa kami berbeda. Disamping itu pertimbangan status keturunan nantinya. Karena kami percaya reinkarnasi.  Sehingga saya masih bingung sebagai orang tua.
 
 
Memang anak saya dan pacarnya saling cinta sejak lama,"tuturnya. Ia berharap forum diskusi tersebut bisa mencarikan solusi terbaik. Sehingga kedua belah keluarga bisa menerima.I Nyoman Alit  Putrawan dari pihak PHDI Bali memaparkan tujuan dari perkawinan dalam agama Hindu untuk melanjutkan keturunan, dan melaksanakan yadnya. Dalam prosesnya, apa pun bentuknya, perkawinan tidaklah diatur baku dalam Hindu.  
 
 
Melainkan fleksibel asalkan ada kesepkatan antar duabela pihak keluarga. Bahkan, dalam Hindu ia  menegaskan  perkawinan sah dilakukan dengan siapa saja atas dasar cinta. Tidak memandang jabatan, status sosial atau kasta. "Karena reinkarnasi  itu ditentukan oleh karma wasana masing-masing. 
 
 
Embel-embel wangsa, titel dan seterusnya tidak berarti,"tambahnya. Terkait sistem perkawinan, dalam diskusi menekankan pentingnya kesepakatan bersama. Jika padagelahang dIpilih, tentu perlu diatur batasan-batasan hak dan kewajiban secara tertulis.
 
 
Para akademisi pun mendesak agar PHDI memikirkan lembaga khusus dalam menangani pra nikah dalam menyikapi berbagai kasus pernikahan  dalam umat Hindu semacam lembaga konseling. Diskusi diikuti oleh akademisi, PHDI Bali, mahasiswa, Peradah Bali dan elemen masyarakat.(BB)