(Sopir Grab, Uber dan GoCar Mulai Frustasi)

YLKI Protes Angkutan Online Mainkan Tarif

  19 Juli 2016 OPINI Denpasar

istimewa

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com - Denpasar. Industri transportasi di Indonesia termasuk di Bali makin tercoreng akibat ulah angkutan berbasis aplikasi online yang beroperasi tidak mau mengikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah. 
 
Moda angkutan umum yang menggunakan aplikasi seperti Grab, Uber dan GoCar ini kembali dituding menjadi pemicu bisnis transportasi semakin tidak sehat, seperti yang terjadi di negara berkembang lainnya.
 
Wajar saja, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Pusat, Sudaryatmo belum lama ini, kembali mengingatkan tindakan liar angkutan umum berbasis aplikasi, seperti taksi online yang mulai panik dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terkait keamanan dan kenyamanan menjadi konsumen angkutan online. 
 
Bahkan, mereka disebutkan menaikkan tarif secara sepihak, sehingga mereka dapat dilaporkan kepada Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
 
Pihak YLKI Pusat juga menanggapi maraknya keluhan dan pengaduan masyarakat terhadap kenaikan tarif ataupun argo taksi sepihak oleh sejumlah taksi berbasis aplikasi tanpa menginformasikan terlebih dahulu kepada penumpang. 
 
Hal itu sangat merugikan konsumen karena sudah melanggar aturan dan bisa dijerat dengan sanksi yang tegas. "Sanksinya bisa dikenakan denda apabila taksi berbasis aplikasi online itu sampai menaikkan tarif tidak sesuai dengan regulasi yang sudah ditetapkan," katanya.
 
Seperti diketahui, selama ini beredar keluhan masyarakat melalui media sosial mengenai tarif taksi berbasis online yang sangat mahal. Sebagai contoh disebutkan di media online tersebut, pada 8 Juli 2016, salah satu pengguna taksi  harus membayar Rp492 ribu dari Bandara Soeta ke Margonda-Depok, Jakarta. 
 
Padahal, biasanya tarif untuk jarak tersebut hanya Rp190 ribu. Sudaryatmo menilai tindakan taksi berbasis aplikasi online menaikkan tarif secara sepihak sudah melanggar persaingan usaha yang sehat, padahal perusahaan tersebut seharusnya mengikuti kebijakan tarif taksi sesuai yang ditetapkan pemerintah.
 
Pihaknya juga melihat taksi berbasis aplikasi telah melakukan predatory pricing yakni suatu strategi yang dilakukan dengan cara mengenakan tarif sangat rendah dengan tujuan mematikan pesaing, setelah berhasil memimpin pasar mereka kemudian mengenakan tarif sesukanya. 
 
Sudaryatmo juga menduga telah terjadi dugaan pengerukan keuntungan yang sebesar-besarnya dari perusahaan penyelenggara taksi berbasis aplikasi kepada konsumen melalui kebijakan tarif tinggi atau dikenal sebagai excessive margin.
 
Dari dua dugaan tersebut predatory pricing dan excessive margin seharusnya KPPU sudah dapat melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan taksi berbasis aplikasi. Apabila dugaan itu terbukti benar, KPPU dapat mengenakan sanksi berupa denda. 
 
Senada dengan YLKI, pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan sejak awal pemerintah telah menegaskan taksi berbasis aplikasi/daring harus mengikuti regulasi yang tertuang dalam Peraturan Kementerian Perhubungan No. 32 tahun 2016 termasuk mengenai tarif.
 
Tarif itu harus diawasi pemerintah sehingga perusahaan pengelola taksi tidak dapat seenaknya angkutan online menaikkan atau menurunkan tarif. Djoko mengatakan seharusnya identitas perusahaan penyelenggara taksi online yang dilegalkan sesuai dengan badan hukum yang berlaku di Indonesia. 
 
"Saya khawatir tidak semua masyarakat paham kenaikan tarif taksi ini. Karena anggapannya selama ini taksi online jauh lebih murah," imbuhnya.
 
Djoko mengatakan berdasarkan laporan masyarakat seharusnya Dinas Perhubungan (Dishub) sudah bisa melakukan tindakan terhadap penyelenggara taksi online. Sehingga mereka mengikuti seluruh peraturan yang berlaku sebagai perusahaan penyelenggara layanan taksi. 
 
"Perusahaan taksi online ini harus diberlakukan sama dengan perusahaan taksi konvensional. Seharusnya aplikasi itu hanyalah alat sebagai cara mudah untuk mendapatkan layanan," tandasnya.
 
Diketahui sebelumnya, Ketua Organda Bali, Ketut Eddy Dharma Putra menyatakan sudah melarang seluruh anggotanya ikut menggunakan aplikasi online berbisnis angkutan. 
 
Hal itu sesuai dengan instruksi DPP Organda Pusat yang memutuskan melarang aplikasi online Grab, Uber maupun GoCar. Bahkan akibat pelarangan tersebut, salah satu sumber di Organda Bali yang enggan namnya dikorankan, juga menyebutkan oknum Organda yang tergabung di aplikasi online terlarang tersebut mulai kebingungan, karena terungkap sudah resmi bekerjasama dengan aplikasi tersebut.
 
Kepanikan tersebut makin kentara setelah salah satu aplikasi online, yakni Grab kembali memajang reklama dengan berbagai promo sesuai tuntutan sopir Grab kepada operator aplikasi Grab di Bali selama ini. 
 
"Itu sudah banyak lagi reklama Grab diseputaran Denpasar dan Badung yang kini diprotes angkutan sopir lokal. Padahal harapan sopir Grab jika ada tamu yang mau naik Grab dan makan di Jimbaran Bay, maka pengemudi bisa dapat komisi 25% dari harga makanan di sana. Tapi tidak disebutkan pasti Jimbaran Bay yang mana?," tanya sumber tersebut saat dihubungi awak media, Selasa (19/7/2016).
 
Dijelaskan soal reklama itu sebenarnya cuma bentuk protes dari sopirnya Grab. Karena selama ini tidak ada tiping buat tambahan sopirnya. Karena itu, berdasarkan atas desakan sopirnya diminta dibuatkan iklan seperti itu. 
 
"Kalau kelas tamunya nyari transport murah tanpa peduli keamanannya, apa mungkin pergi ke tempat makan yang mahal? Makanya iklan itu bentuk kefrustrasian Grab dan sopirnya," pungkasnya.(BB)