Perlu Edukasi Cepat Tangkal Radikalisme dan Komunisme

  24 Juni 2016 PERISTIWA Tabanan

Baliberkarya/ist

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Tabanan. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) beserta Pancasila sebagai dasar negara menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk insan pers sebagai penyebar informasi ke tengah masyarakat. Terlebih lagi, dinamika bangsa Indonesia saat ini begitu kuatnya. Untuk itu diperlukan edukasi yang cepat agar bisa menangkal segala faham terutama radikalisme dan komunisme di masyarakat.

Hal itu mengemuka dalam diskusi kebangsaan dengan tema “Menegakkan Pers Pancasila dalam Rangka Menangkal Radikalisme dan Komunisme” yang digelar media online suaradewata.com pada Kamis (23/6/2016) di Warung Be Jawa 2, Tabanan.

“Saya rasa, masalah NKRI dan Pancasila merupakan tanggung jawab kita bersama,” ujar Wadir Intelkam Polda Bali AKBP Dekananto Eko Purwono selaku keynote speaker dalam diskusi tersebut.

Selain dihadiri Wadir Intelkam Polda Bali, diskusi itu juga menghadirkan beberapa orang narasumber dari unsur TNI yakni Dandim 1619/Tabanan Letkol Inf Herwin Gunawan. Sementara dari kalangan pers seperti Rofiqi Hasan selaku mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar dan Emanuel Dewata Oja selaku Sekretaris PWI Bali. Serta dari akademisi yakni Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa yang juga mantan Ketua KPU Bali.

AKBP Dekananto menambahkan, dalam dinamika bangsa Indonesia saat ini, persoalan radikalisme dan isu bangkitnya komunisme cukup relevan untuk diangkat. Sekalipun untuk isu bangkitnya komunisme melahirkan pro kontra di tengah masyarakat. Belum lagi radikalisme yang selalu merongrong keutuhan bangsa Indonesia.

“Akan muncul anarkisme bila dua hal ini tidak dibarengi dengan edukasi yang cepat kepada masyarakat. Apalagi di saat sekarang masyarakat begitu mudah mengakses informasi melalui internet, termasuk lewat media online. Karena itu peran wartawan dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia dan Pancasila sangat penting,” imbuhnya.

Menyinggung Pers Pancasila, Rofiqi Hasan selaku mantan Ketua AJI Denpasar mengaku sejatinya identifikasi pers dengan label Pancasila tidak ada dalam referensi manapun. Justru sebaliknya, identifikasi Pers Pancasila justru menggiring ke masa Orde Baru yang penuh dengan kontrol negara dalam pemberitaan.

 

“Tapi sekarang begitu kontrol itu dicabut, saya kira tanggung jawab pers itu ada pada publik. Terus terang, saya melihat kecenderungan sekarang ini pers bebas sekali dan liberal karena adanya tuntutan perusahaan bahkan ditunggangi kepentingan politik,” ungkapnya.

Sehingga, sambung dia, Pers Pancasila lebih condong pada kode etik jurnalistik yang menjadi pedoman wartawan dalam melakukan tugas-tugas jurnalistiknya. Bahkan, dia mengakui saat ini kontrol terhadap wartawan belum begitu efektif. Sekalipun ada organisasi wartawan. “Karena tidak adanya keharusan bagi wartawan untuk ikut organisasi kewartawanan,” imbuhnya.

Sekretaris PWI Bali Emanuel Dewata Oja menegaskan, Pancasila merupakan hal yang sudah final bagi dunia pers. Dan, ini telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta Kode Etik Jurnalistik.

“Saya rasa dalam KEJ itu sudah terkandung nilai-nilai Pancasila. Begitu juga dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Serta ditambah satu lagi Undang Undang no.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,” ujarnya.

Sementara itu, Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa memberikan kritik bahwa sejatinya persoalan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia bukan semata-mata munculnya radikalisme dan komunisme semata. Namun, liberalisme dan kapitalisme juga menjadi ancaman yang perlu disikapi serius.

“Bicara isme harusnya dilengkapi dengan liberalisme. Jangan sampai kita diperbudak juga oleh kapital,” katanya.

Menurutnya, Pancasila merupakan sumber dari segala aturan yang berlaku di Indonesia. Bahkan menjadi dasar negara dan tata nilai kehidupan bangsa Indonesia.

“Ini (Pancasila) sudah final. Masalahnya sekarang diimplementasinya. Premanisme masih muncul. Sementara sekarang ini zaman demokrasi, tapi kita di jalan melihat orang teriak-teriak bawa parang,” tukasnya.

Karena itu, sambung dia, tidak perlu terlampau ketakutan menyikapi radikalisme dan isu kebangkitan komunisme. Sebab, sebagai isme atau paham, mengatasinya tidak cukup dengan melakukan tindakan represif.

“Tidak cukup dengan bakar bendera atau buku-bukunya. Karena ini menyangkut alam pikiran. Saya rasa dikuatkan lagi pendidikan mengenai Pancasila. Tentu dengan ritme pembelajaran yang pas. Tidak seekstrim masa Orde Baru,” pungkasnya. (bb)