Sebagian Besar Sopir Uber Keluhkan Pengalamannya Pahitnya. Ini Kisah Pilunya

  07 Juni 2016 PERISTIWA Denpasar

Google/Images

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com - Denpasar, Tidak seperti yang digembar-gemborkan sejumlah pihak selama ini, jika menjadi sopir yang bergabung dalam angkutan transportasi berbasis aplikasi online baik Grab, Uber dan GoCar itu enak dan pengasilannya besar. Buktinya, sebagian sopir yang dulunya bekerja di angkutan transportasi kovensional dan tergiur janji manis ikut-ikutin bergabung dalam angkutan online, kini memilih kembali keasal dengan menjadi sopir angkutan konvensional maupun sopir angkutan sewa 'freelance'.
 
Agung Awan salahsatu sopir yang sempat beberapa bulan bergabung dalam Uber, angkutan transportasi berbasis online dari luar negeri tersebut. Bapak 2 anak itu mengungkapkan sejumlah pahit getirnya menjadi sopir angkutan aplikasi Uber yang telah dilarang dan akhirnya belakangan dibekukan izin sewanya jika tetap membandel secara ilegal.
 
Agung menuturkan jika selama bergabung menjadi sopi Uber, ia bekerja bagaikan robot yang diwajibkan bekerja 20 jam dalam sehari dengan aplikasi Uber di handphone yang 'standby' digenggamannya. Untuk dapat istirahat baik siang maupun malam hari ia sehari-hari terpaksa tidur didalam mobil, meski hal itu membuat badannya kerap sakit.
 
"Saya harus kerja 20 jam dalam sehari karena itu ditarget oleh pemilik mobil maupun pihak Uber agar bisa memenuhi target syarat mendapatkan bonus yang tidak seberapa. Selama 20 jam itu saya dilarang mematikan aplikasi Uber karena gaji saya akan dipotong," ucap Agung, Selasa 7 Juni 2016.
 
"Pokoknya tidak boleh dimatiin dan tidak boleh 3 kali menolak order kalau tidak mau terkena sanksi. Kalau nolak 3 kali order aplikasi Uber akan dimatikan oleh pihak Uber," imbuhnya.
 
Agung mengakui sejujurnya jika awalnya ia bergabung dengan transportasi Uber dengan seorang vendor atau pihak pemilik mobil dikawasan Renonn Denpasar karena menganggur dan tidak ada pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan perekonomian keluarganya. Selain kurang manusiawi, Agung menyatakan ada perasaan was-was dan takut menjadi sopir angkutan aplikasi Uber.
 
"Gimana kerja tidak takut dan was-was. Wong Uber dilarang dan ditolak dimana-mana sama sopir lokal di kawasan obyek wisata dan tempat strategis lainnya. Misalnya, jika ambil tamu di Tanah Lot, saya sering bertengkar karena Uber ditolak warga lokal disana," ungkapnya.
 
Bahkan yang lebih parah, lanjut Agung, mobil yang dikemudikannya dirusak baik itu bagian spion, kaca mobilnya serta bodynya dibaret warga lokal yang menolak beroperasinya Uber di Bali. Ia mengaku perasaan yang sama juga dirasakan oleh rekannya sesama sopir yang bergabung di Uber. Yang lebih menyayat hati dan bertentangan dengan hati nuraninya yakni Agung mengaku sebagian besar sopir Uber terkadang demi mendapatkan uang lebih untuk dibawa pulang bagi menafkahi anak istrinya, kerap melakukan praktek kotor dengan jurus 'ngeret argo' yakni argo hidup terus meski penumpangnya sudah turun.
 
"Taktik jahat itu diterapkan bagi para penumpang yang menggunakan kartu kredit. Khan kebanyakan pengguna Uber bayarnya pakai kartu kredit. Jadi kesannya murah hanya puluhan ribu tapi faktanya akan mahal kalau pas tagihan kartu kredit. Penumpang yang pakai kartu kredit akan kepotong tarif besar sebenarnya tapi mereka tidak sadar kita kibuli, tapi sampai kapan kita kerja berbohong begitu," tuturnya dengan raut muka penyesalan.
 
Cerita suram juga dirasakan sopir angkutan Uber lainnya bernama Rio. Pria lajang asal NTT itu bahkan merasakan lebih lama kepedihan menjadi sopir Uber. Rio bahkan mengaku telah bergabung dengan angkutan online Uber selama kurang lebih 11 bulan itu juga merasa kerja di Uber tidak nyaman karena kerap kerja kucing-kucingan lantaran banyak larangan untuk angkutan aplikasi online disana sini.
 
"Saya merasa kerja di Uber tidak nyaman dilapangan. Tidak ada rasa aman dan tidak ada rasa nyamanlah. Kebanyakan teman saya juga tidak tahan kerja di Uber dari pagi sampai malam sementara uangnya tidak seberapa. Tidak seperti sebagian orang bilang gabung jadi sopir Uber itu enak. Enak apanya, kerja dikejar target begitu tidak sesuai kerjanya dengan pendapatannya," jelasnya.
 
Rio memaparkan kalau dirinya dapat narik Uber sebesar 300 ribu sehari, maka sama pemilik mobil dikasi hanya 30 ribu, sehingga untuk mendapatkan pendapatan lebih dirinya harus mendapatkan setoran diatas itu. Ia mengaku memang mendapatkan gaji pokok namun uang itu tidak seberapa dengan pengeluaran yang harus dirogoh untuk makan diluar saat bekerja.
 
Parahnya lagi, sambung Rio, aplikasi Uber juga harus ia beli, termasuk untuk upgrade aplikasi setiap waktu yang juga harus dibayarnya. Yang tambah mengelus dada, kata Rio, uang jaminan kesehatan tidak ada sebagai sopir di Uber. Rio berterus terang sebelum bergabung dengan Uber ia memiliki pekerjaan lain, namun karena iming-iming pendapatan besar menjadi sopir Uber sehingga ia mencoba adu nasib dan banting stir menjadi sopir Uber.
 
Pria rambut keriting itu juga mengakui jika banyak temannya yang menjadi sopir Uber mengeluh. Mereka pada berkata buang sepatu pakai sandal, yang istilahnya dulu pekerjaan lebih baik namun sekarang malah pekerjaannya lebih jelek. Pasalnya, udah dapat uang sedikit dipotong lagi, tapi kerjanya capek banget. Bagaimana tidak, ia merasa capek di fisik ditambah ongkosnya yang juga kecil.
 
"Wong penumpang bayarnya murah. Iya namanya kerja dijalan banyak susahnya, apalagi nyuri-nyuri penumpang dan ngumpet ambil penumpang saya sering diancem orang terutama sopir lokal. Saya pernah dikeprok orang, mobil saya pernah kaca bagian belakang dilempar batu sama orang sampai pecah di daerah Pantai Bingin Jimbaran. Ngeliat yang lempar saja tidak berani apalagi mau marah. Ngeri sama pihak desa adat di Bali kalau sudah dilarang. Saya takut akhirnya kabur, habis itu saya berhenti kerja sama Uber. Pokoknya ndak enaklah kerja model begitu," pungkasnya.