Rampok Hak Milik, Pemilik Tanah Eks KNPI Adukan Eksekusi ke KPK

  19 Mei 2016 PERISTIWA Denpasar

baliberkarya.com

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com. Denpasar- Pengadilan Negeri (PN) Denpasar hari ini melakukan eksekusi tanah milik Agus Wijaya dan PT Stepup di kawasan Jimbaran, Badung, Bali. 
 
Namun, eksekusi ini diituding sebagai merampokan hak milik warga terkait sengketa lahan yang sertifikatnya sudah dicabut dan beralih kepemilikan, justru dipaksakan bisa dieksekusi atas permohonan Putra Mas Agung. 
 
Eksekusi 'babak kedua' ini berjalan tanpa perlawanan sebab pihak Agus Wijaya tak terima dan memilih akan melaporkan ke KPK. Untuk mendapatkan keadilan, pihak korban eksekusi, Agus Wijaya melalui kuasa hukumnya pun akan segera mengadukan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
 
Edward T.P.H. Hasibuan, kuasa hukum Agus Wijaya mengaku dengan tegas menolak rencana eksekusi tersebut. Alasannya, proses peradilan tidak diijalankan dengan baik dan benar. 
 
"Saya dalam posisi pihak pelawan. Yang memiliki hak atas tanah itu selama ini atas nama Agus Wijaya. Tanah itu sudah dibeli sah dari Loeana dan Andre Kanginnadhi. Klien kami tidak dalam posisi para pihak dalam perkara itu. Mengapa ikut dieksekusi?" tanya Edward, Kamis (19/5/2016).
 
Apalagi, dalam perkara itu Edward mengaku telah melakukan perlawanan yang didaftarkan di PN Denpasar dengan nomor perkara 139/Plw/2016. "Kami mengajukan perlawanan, kok diabaikan. sidang masih masih berjalan, eksekusi dilakukan. Kan aneh," sesalnya.
 
Menurut Edward, apa yang dilakukan PN Denpasar adalah perbuatan yang melanggar hukum, bahwa SHM sertifikat No.4038 dan SHGB No.744 sudah tidak ada atau sudah dimatikan dan dicabut oleh pihak BPN tahun 2004. 
 
"Alangkah anehnya sertifikat yang sudah dicabut dan beralih kepemilikan, namun dieksekusi lagi sertifikat seluas 3.840 m2 tersebut. Padahal eksekusi dilakukan dengan batas kepemilikan yang tidak jelas dan sebagian milik klien kami Pak Anton. Bahkan besok akan ada eksekusi lanjutan untuk memenuhi pemohon eksekusi," ujar Edward.
 
Awal sengketa ini, kata Edward, berawal dari sertifikat induk No.4038 atas nama Loeana Kanginnadhi yang sebagian sudah dibeli oleh kliennya Anton Kanginnadhi dengan SHM no 17191/jimbaran dengan luas 7720 m2 dan SHM 13015/jimbaran dengan luas 7590 m2 yang berlokasi di Jimbaran, Badung. Sebenarnya sertifikat atas nama Leona tersebut seluas 33 ribu meter persegi, bukan seluas 3.840 meter persegi seperti amar putusan PN Denpasar dan dipecah menjadi dua sertifikat. 
 
Dalam perkara antara Loeana dan Putra Mas Agung yang menyeret kliennya itu terdapat dua obyek yang dieksekusi. "Salah satunya adalah obyek dengan nomor sertifikat 4038 dengan luas lahan 3840 meter persegi," jelas dia. 
 
Padahal, ia melanjutkan, sertifikat yang disengketakan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. "Sertifikat itu sudah tidak berlaku lagi karena sudah dipecah dan beralih kepemilikan. Otomatis jangan diterjemahkan SHM itu pecahannya yang dieksekusi secara terpisah," kata Edward.
 
Obyek lainnya adalah dengan tanah dengan nomor sertifikat 744 dengan luas lahan 12.000 meter persegi yang akan dieksekusi. Dalam perkara itu, lanjutnya, luas lahan itu adalah 20.000 meter persegi. 
 
"Tapi kan jauh sebelum ada gugatan itu tanah itu sertifikatnya dipecah karena telah dijual. Kien saya, Agus Wijaya membeli tanah dengan SHGB ni 5166/jimbaran dengan luas 3180 m2 dan SHGB 5168/jimbaran dengan luas 900 m2 dari PT. Trisetya Bali sakti dimana PT. Trisetya Bali Sakti tidak pernah berperkara dengan pihak Putra Mas Agung. Ini sangat tidak masuk akal," ulas Edward.
 
Ia pun mengaku bingung lantaran dalam perkara yang menyeret kliennya itu terdapat tiga penetapan dengan putusan yang berbeda-beda. Penetapan itu antara lain pada tanggal 7 September 2015, 29 September 2015 dan 9 Mei 2016. "Tanggal dan isinya beda meski dikeluarkan oleh institusi yang sama. Kan aneh kalau ada amar putusan yang berbeda dengan penetapan," sindirnya.
 
Bagi dia, penetapan-penetapan tersebut seolah-olah diberikan penafsiran sendiri tanpa mempertimbangkan aspek hukum. "Hukum acara sudah salah penerapannya. Ini ada apa. Jangan seperti perkara titipan dong. Eksekusi kok kayak sinetron bersambung. Hari ini beda, besok beda lagi. Mestinya sekali tuntas eksekusinya," ucapnya kesal.
 
Ia mengaku telah melaporkan perkara yang menyeret kliennya itu kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA). Tak hanya itu, Edward juga telah melaporkan perkara yang membelit kliennya kepada Komisi Yudisial. Ia juga mengaku akan melaporkan perkara ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
 
"Kami juga sudah disampaikan keberatan ke PN Denpasar dan PT Bali untuk paling tidak menunda keputusan ini sampai perlawanan kami memiliki kekuatan hukum tetap. Kami menolak tegas eksekusi ini. Akan kita laporkan juga ke KPK. Sudah ada suratnya, sudah dibuat. Akan kita kirimkan segera," tandas Edward. (bb)