Penetapan Tersangka Unud Abaikan Audit 5 Lembaga Resmi, Mantan Hakim MK Dewa Palguna: Kerugian Negara Harus Nyata Tak Boleh Dikira-kira

  27 Maret 2023 OPINI Denpasar

Foto: Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Dr Dewa Gede Palguna, SH, MHum.

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Dr Dewa Gede Palguna, SH, MHum. merasa heran dan tidak habis pikir Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof Nyoman Gde Antara bersama 3 pejabat Unud lainnya yang telah lebih dulu ditetapkan tersangka Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali atas dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru seleksi Jalur Mandiri Universitas Udayana Tahun 2018 sampai dengan Tahun 2022.

Dewa Palguna yang telah lama malang melintang dalam duni hukum kini masih bertanya-tanya dan tercengang lantaran Kejati Bali melontarkan angka kerugian negara dalam kasus ini Rp300 miliar lebih seraya mempertanyakan dari mana pihak kejaksaan menghitungnya. Baginya, angka kerugian negara yang di sebar ke publik sangat fantastis padahal pihak Kejati Bali dalam menghitung kerugian negara tidak melibatkan 5 auditor yaitu BPKP, BPK, Inspektorat, Satuan Pengawas Internal, dan Akuntan Publik.

"Darimana datangnya itu (perhitungan kerugian negara), bagaimana cara menghitungnya, apa itu uang negara, apa itu kerugian uang negara, siapa yang boleh menghitung kerugian uang negara itu, apakah boleh keuangan negara itu diperkirakan dan dikira-kirakirakan. Kalau boleh siapa melaksanakan itu, itu khan harus jelas," tanya Dewa Palguna dengan nada keheranan saat ditemui awak media Baliberkarya.com di Denpasar, Senin (27/3/2023).

"Ini yang selama ini tidak terjadi pemberitaan tidak seimbang. Inspektorat, BPK, BPKP, Satuan Pengawas Internal, kalau ndak salah ada lima itu. Kenapa terjadi dua obyek yang sama yang diselidiki banyak pihak tetapi melahirkan kesimpulan yang berbeda, ini khan pasti ada sesuatu yang salah," imbuhnya.

Sebagai ahli hukum, Dewa Palguna pun menjabarkan salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara. Ia pun bertanya kembali kalau menghitung kerugian keuangan negara maka apa yang dimaksud dengan keuangan negara, kemudian apa yang dimaksud kerugian keuangan negara, dan siapa yang boleh mengatakan itu, termasuk jumlahnya.

"Khan mesti itu harus jelas dulu maka tidak boleh sembarangan membuat pernyataan itu. Kalau yang boleh menghitung kerugian negara adalah BPK, BPKP, Inspektorat, Satuan Pengawas Internal, dan Akuntan Publik. Kalau perhitungan mereka itu diabaikan sama dengan anda mengatakan mereka tidak kredibel untuk menghitung kerugian negara, sama dengan mengatakan mereka tidak layak dipercaya untuk menghitung kerugian negara," sebutnya.

"Apa benar kesimpulan seperti itu. Kalau saya jadi BPK tersinggung saya. Kalau saya jadi BPKP tersinggung saya. Jadi beritakanlah secara wajar ndak usah terlalu berlebihan. Jangan menghukum dulu sebelum ada keputusan berkekuatan hukum tetap dan pentingnya menjunjung asas praduga tak bersalah itu agar itu tidak menjadi life servis saja. Tidak menjadi gincu dibibir saja. Dan itu harus meresap dan terutama harus meresap  bagi penegak hukum. Aparat penegak hukum karena dialah nanti yang menegakkan hukum kalau dia sudah meresapkan prinsip sungguh-sungguh kedalam dirinya masyarakat akan melihat karena teladan yang diterapkan aparat penegak hukum dasar dari publik trust," imbuhnya kembali.

Dewa Palguna akan selalu memberikan semangat kepada siapapun terlebih-lebih kepada Rektor Unud dan lembaga yang membesarkan namanya yakni Kampus Unud. Menurutnya, dana SPI Unud sah, kalau itu dianggap tidak sah maka semua perguruan tinggi yang masih BLU memungut dana SPI terjerat korupsi, apalagi Unud sudah dari tahun 2018 memungut dana SPI sementara perguruan tinggi negeri lain ada yang lebih dulu memungut dana SPI.

"Kalau soal dana SPI yang menjadi persoalan maka bukan masalah hukum jadinya, tapi mengada-ada atau kalau ada kesalahan administrasi berati bukan soal pidana berati tapi soal administratif," jelasnya.

Terkait Kejati Bali terkesan terburu-buru menetapkan kerugian negara, Dewa Palguna menjawab hal itu yang menjadi pertanyaan dirinya lantaran jika memang ada kerugian negara mengapa auditor lainnya yang resmi yang memiliki kewenangan atas hal tersebut tidak dilibatkan pihak Kejati Bali. "Anda percaya ndak dengan BPK, percaya ndak dengan BPKP, percaya ndak dengan inspektorat jenderal karena mereka mengatakan clear tidak ada kerugian negara. Dan yang menyatakan clear lembaganya lebih dari satu, lalu ada satu yang mengatakan ada kerugian negara kira-kira secara nalar sehat kemana anda menjatuhkan pilihan kepercayaan," selorohnya.

Dewa Palguna pun menilai selama ini banyak pemberitaan terbalik terkait kasus dana SPI Unud. Ia pun bingung karena pihak Kejaksaan tidak melibatkan 5 institusi yang berhak dan memiliki kewenangan dalam menghitung kerugian negara namun menyampaikan terdapat kerugian negara dengan jumlah yang bombastis. Ia pun mengaku ikut membuat keputusan di Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa kerugian negara harus nyata, tidak boleh diperkirakan dan harus dihitung oleh institusi yang memiliki kewenangan untuk itu, seperti BPK, BPKP, inspektorat jenderal, akuntan publik.

"Saya ndak ngerti dari mana hitung-hitungan kejaksaan kerugian negara 300 miliar lebih itu. Saya ktemu Rektor Unud saya bilang bapak kaya raya sekarang. Saya katakan ke Pak Rektor (Unud) jangan menunduk kalau memang yakin tidak bersalah. Berjalanlah dengan kepala tegak sebagai seseorang yang diberi jabatan dan diberi amanah untuk melaksanakan tugas sebagai Rektor dan apa yang dilakukan adalah benar, kecuali memang ada uang yang masuk kantong pribadi pernyataan itu akan saya tarik. Tapi kalau sudah melakukan sesuatu yang benar jangan jalan menunduk jalan lah dengan kepala tegak saja maka hukum akan berada di pihak bapak saya bilang begitu," tuturnya.

Selain itu, Dewa Palguna juga berharap masyarakat juga harus siap menerima kemungkinan tidak bersalah atas seseorang namun kalau pemberitaannya sudah mengadili khan masyarakat tidak salah nanti berpikir kok begitu sih jadinya padahal hakim sudah memutuskan dengan benar, pertimbangan hukumnya sudah benar tapi ternyata terbukti tidak bersalah. Bagaimana belum apa-apa sudah lebih dulu menghakimi, bagaimana nanti akan memulihkan nama baik orang yang sudah tercemar dan terlanjur tercoreng. 

"Sebagai orang Bali kita khan seneng dengan melihat prinsip melihat kedalam mulatsarira. Bagaimana kalau kita sendiri yang berada di pihak dihakimi namun belum tentu bersalah? Kira-kira gimana perasaan kita kalau kita yang mengalami dibegitukan. Saya katakan berita Unud tidak berimbang yang kemudian membuat persepsi masyarakat seolah-olah bahwa Rektor dan Universitas Udayana sebagai person dan institusi yang bersalah. Itu yang mesti harus kita pikirkan," terangnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud) ini pun mengibaratkan jika terhadap suatu fakta ada dua orang yang terkait dengan fakta itu, kemudian dua orang keterangan yang berbeda maka salah satunya pasti berbohong. "Khan begitu penalarannya, kalau terhadap suatu fakta ada dua orang terkait fakta itu memberikan keterangan yang berbeda salah satunya pasti berbohong. Nah siapa sekarang yang berbohong ini nah inilah yang dibuktikan proses hukum," ungkapnya.

"Kalau misalnya Pak Rektor Unud mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk menyatakan diri beliau tidak bersalah kita harus bela. Tapi sebaliknya jika terjadi tindak pidana iya tidak usah diadili lewat media gitu lo maksud saya, biarlah proses hukum itu berjalan," harapnya.

Menurut Dewa Palguna, layaknya kasus-kasus lain yang lebih parah masyarakat harus biasa dididik dalam hal pokok dalam perkara pidana yaitu presumption of innocense atau asas praduga tak bersalah. Untuk itu, pihaknya ingin pemberitaan yang relatif berimbang dan tidak tendensius serta jangan memojokkan seseorang yang belum tentu terbukti bersalah.

"Saya merasa mungkin pendapat saya ini subyektif karena saya orang Unud, saya merasa pemberitaan terjadi belakangan ini sudah sifatnya nuansanya mengadili. Jadi sudah terjadi "trial by the press" terhadap sesuatu yang sesungguhnya belum pasti," katanya.

Apa yang menyebabkan begitu, Dewa Palguna melanjutkan karena ketidakseimbangan informasi. Informasi yang diterima selama ini selalu datang dari pihak kejaksaan yang mengemukakan alasan-alasan dan kemudian alasan itulah yang dikutip oleh media, jadi media juga tidak salah tetapi karena alasan-alasan itu datangnya sepihak sehingga prinsip kramat dalam dunia jurnalisme yaitu "cover both side" tidak berjalan akhirnya terjadilah kasus pemberitaan yang timpang.

"Sebagai orang Unud saya berkepentingan, bukan membela kesalahan lo tetapi menegakkan prinsip praduga tak bersalah itu penting buat saya supaya juga masyarakat mengerti. Kalau memang nanti Pak Rektor kami bersalah iya silahkan salahkan tapi jangan diadili sebelum proses hukum itu benar-benar berjalan," pintanya.

"Nah ini yang penting untuk kita sampaikan. Pertanyaan-pertanyaan mendasarnya khan harus terjawab dulu, kasus ini kasus apa, ini khan persoalan SPI itu khan. SPI itu apa, ini khan mesti dijelaskan. Jangan tiba-tiba berbicara soal kerugian negara, jangan tiba-tiba berbicara tindak pidana korupsi," tambahnya.

Baginya, masyarakat awam akan menangkapnya sesuatu yang benar dan terbentuklah persepsi yang belum tentu secara hukum itu kemudian benar. Sehingga menurutnya hal ini berbahaya karena disadari atau tidak, apalagi kalau disengaja seolah-olah sudah terjadi framing bahwa Rektor Universitas Udayana bersalah melakukan korupsi atau menyalahgunakan uang SPI dengan jumlah yang mengagumkan itu. 

Dewa Palguna pun menegaskan bagaimana misalnya kalau nanti ternyata Rektor Unud terbukti tidak bersalah sementara kerugian negara keburu diberitakan sehingga nama baik sudah tercoreng, anaknya sudah menderita secara psikologis, keluarga dan keluarga besarnya sudah merasa sangat tersudutkan, bahkan kampus Unud sebagai institusi sudah tersudutkan. Bagaimana kalau nanti misalnya oleh pengadilan Rektor Unud diputus tidak bersalah, siapa yang akan mengembalikan nama baik ini, walaupun pengadilan memutuskan mengembalikan martabat dan kehormatannya.

"Khan itu putusan formal tapi image yang terbentuk sudah keburu merusak. Kerusakan sudah keburu terjadi, ini yang berbahaya. Saya kira apa yang bicarakan sudah fair kok saya sudah mengcover kedua belah pihak khan. Janganlah caranya seperti itu biarkanlah "fair play" berjalan secara normal, jangan juga terlalu dibesar-besarkan yang tidak sebesar itu, tapi jangan juga menyederhanakan jika memang persoalan serius, itu khan acap kali terjadi seperti itu," sentilnya.

Seperti diberitakan, sebelumnya beberapa waktu lalu Universitas Udayana (Unud) diobok-obok dan digeledah pihak Kejati Bali sebelum akhirnya ada Senin (13/03/2023) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali menetapkan Rektor Unud Prof Nyoman Gde Antara sebagai tersangka dugaan korupsi dana SPI dalam seleksi mandiri mahasiswa baru Unud tahun 2018 sampai 2022, bersama 3 pejabat Unud lainya yang telah lebih dulu ditetapkan tersangka.

Kejati Bali menjerat Prof Gde Antara dengan Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3, Pasal 12 huruf e juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dari hasil penghitungan penyidik mengindikasikan korupsi dana SPI mahasiswa baru seleksi jalur mandiri Unud kurun 2018 sampai 2022 menyebabkan kerugian keuangan negara Rp 109,33 miliar dan merugikan perekonomian negara Rp 334,57 miliar.(BB).