FH Unud Bersama INI Bali Gelar Seminar dan Bedah Buku Karya Pria Dharsana

  19 Januari 2023 HUKUM & KRIMINAL Denpasar

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud) bekerja sama dengan Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia (INI) Bali menggelar Seminar dan Bedah Buku.

IKUTI BALIBERKARYA.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Baliberkarya.com-Denpasar. Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud) bekerja sama dengan Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia (INI) Bali menggelar Seminar dan Bedah Buku bertajuk, "Perkembangan Hukum Indonesia dalam Perspektif Tanah, Penanaman Modal, dan Hak Kekayaan Intelektual", di Aula Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jl. Pulau Bali No. 1 Denpasar, pada Kamis siang (19/1/2023).

Notaris alumni FH Unud Dr. I Made Pria Dharsana, SH., M.Kn., bersama rekannya Dr. Habib Adjie, SH., M.Hum, dan Dr. Muhamad Hafidh, SH, M.Kn., meluncurkan buku berjudul "Buku Tanah, Rakyat dan Penanaman Modal Pasca Undang-Undang Cipta Kerja". Kali ini, pembedah buku diamanatkan kepada Dr. AA. Wira Santosa

Koordinator Prodi Kenotariatan FH Unud Prof. Dr. Made Subawa, SH.,MS. dalam sambutannya menekankan perlu kehati-hatian bagi pihak terkait dalam hal pemanfaatan tanah dari penanam modal dalam berinvestasi di wilayah Bali khususnya. "Kita tidak membatasi orang menanam modal, namun perlu dibatasi tanah mana yang bisa dikormersiilkan. Kalau di Bali, identitas tanahnya sangat banyak, ada duwen pura, karang pura, duwen desa, dan lain sebagainya," harapnya.

Dekan FH Unud yang berhalangan hadir diwakili Wakil Dekan Bidang Akademik dan Perencanaan Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.Hum, yang menyatakan hukum tanah merupakan hukum yang benar-benar sudah urgensi untuk diselesaikan. Hal ini karena terlalu banyak permasalahan-permasalahan di bidang pertanahan yang belum bisa diselesaikan dari segi hukum maupun pemanfaatannya.

"Semoga dari buku yang sudah disampaikan oleh beliau-beliau para penulisnya, dapat memberikan jalan keluar maupun petunjuk bagi masyarakat maupun para praktisi dan akademisi dalam penyelenggaraan pemanfaatan tanah untuk kepentingan ekonomi dan masyarakat pada umumnya," ucap Dr. Desak Putu.

Sementara, Dr. Made Gde Subha Karma, SH., M.Kn., yang didaulat sebagai keynote speaker menyampaikan persoalan tanah amatlah penting karena memiliki ikatan sosio relijius yang dalam masyarakat. Ia pun bercerita bahwa pernah baca kutipan dari Confusius, yang menyampaikan bahwa, ketika kita ingin membangun, yang kita butuhkan itu adalah, bukan papan, bukan kayu, tetapi lahan.

"Kalau kita bicara kulit bumi yang terluar adalah tanah, itu memiliki makna yang luar biasa, terutama di Indonesia, tapi ini bukan semata kita bicara investasi, tapi memiliki ikatan sosio relijius yang sangat kuat khususnya di Bali," tuturnya.

Tak lupa, Subha juga mengingatkan tanah tak bisa lepas dengan penanaman modal. ia pun teringat dengan Hukum Bangunan Ekonomi bahwa ada suatu klasifikasi digambarkan di dunia ini. Menurutnya, ada dua pembagian tipe negara dalam konteks ekonomi. Pertama adalah negara maju dan negara berkembang. Negara maju memiliki skill, modal, capital, yang memiliki human resources yang kuat. Sedangkan negara berkembang memiliki sumberdaya alam dan sumber daya manusia.

"Inilah yang menyebabkan dalam konteks penanan modal, seolah-olah penanaman modal itu tertujunya kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kemudian sumber daya alamnya yang banyak, yang bisa dieksploitasi, lahannya luas bisa digunakan gudang dan lain sebagainya, atau pabrik-pabrik dibangun," sebutnya.

Lebih lanjut ia menerangkan pada poin berikutnya, berbicara Hukum Pertanahan. Perjalanan Hukum Pertanahan di negara ini menurut Subha Karma sangat dramatis dan luar biasa. Dampaknya pertumpahan darah di mana-mana, perang, begitupun kolonialisme.

Namun Undang-Undang Pokok Agraria, UUPA, itu merupakan produk legislasi pertama Indonesia yang sampai saat ini masih bertahan. Di sana lah rezim-rezim pendaftaran tanah menjadi sangat penting memberikan klasifikasi-klasifikasi hak atas tanah, tentu saja hak-hak milik atas tanah.

"Sering terjadi objeknya yang tidak halal, klausal yang palsu dan timbul persoalan-persoalan hukum dalam praktiknya  pendaftaran tanah memiliki tujuan untuk kepastian hukum, nyatanya sampai saat ini tanah-tanah tersebut masih belum terdaftar," ungkap Subha Karma.

Terkait buku karya Made Pria Dharsana, Subha Karma menjelaskan bahwa sebagai negara, Indonesia adalah negara agraris dan menempatkan tanah pada kedudukan yang teramat penting. Begitu pentingnya tanah, sehingga konstitusi memberikan amanat kepada negara untuk melindunginya. Ia berharap dengan terbitnya kedua buku ini dapat berkontribusi dalam penanganan konflik agraria yang turut melibatkan mafia tanah di Indonesia.

“Kami harap buku ini bisa berkontribusi kepada Pemerintah dan pengambil kebijakan pertanahan agar ke depannya mampu menyelesaikan konflik agraria, termasuk di antaranya ketimpangan penguasaan tanah, tumpang tindih dan juga mafia tanah yang tahun 2022 lalu cukup marak dan menyita perhatian publik,” ungkap Pria Dharsana.

Pria Dharsana yang dikenal membidani terbentuknya Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Unud ini menerangkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan kepada negara bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah sebagai bagian dari bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang ada di Indonesia harus dan wajib untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia.

Terkait mandat itu, Perkumpulan Pemerhati Pertanahan dan Agraria Terpadu Indonesia (P3ATI) berharap melalui Book Chapter ini dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam dan menyeluruh terkait akar persoalan tanah, perubahan paradigma dan pendekatan holistik. Pria menegaskan, penguatan kelembagaan pertanahan sehingga menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan di bidang pertanahan.

“P3ATI berharap bisa mendorong perubahan paradigma para elite politik dan jajaran kepemimpinan di birokrasi dalam melihat dan menyikapi persoalan pertanahan yang tantangannya semakin berat menghadapi era 5.0 serta tantangan dalam meningkatkan iklim investasi berdaya saing global,” papar Ketua Bidang Perundang-Undangan PP Ikatan Notaris Indonesia (INI) Provinsi Bali ini.

Baginya, Book Chapter ini merupakan hasil dari gagasan besar dengan menghimpun karya ilmiah dari penelitian dan gagasan konseptual yang berkaitan dengan ilmu hukum, khususnya berbagai perkembangan hukum pertanahan, serta problematika hukum pertanahan di lapangan. Kupasan rekan-rekan penulis berkaitan dengan dikeluarkannya UU Cipta Kerja nomor 11 Tahun 2020 khususnya klaster pertanahan.

Pria Dharsana yang juga sebagai Dosen Prodi Magister Kenotariatan FH Universitas Warmadewa ini mengakui alam Book Chapter kali ini, selain ia selaku penulis, juga tersusun dari kumpulan atas tulisan dan pemikiran-pemikiran para akademisi dan praktisi hukum yang terdiri dari para Guru Besar, dosen, Notaris - PPAT, Mahasiswa Magister Kenotariatan.

“Seluruh tulisan dalam Book Chapter ini pada intinya berupaya mengupas tuntas berbagai kondisi realita, harapan, tantangan dan pembaharuan hukum pertanahan guna mencapai tujuan pembangunan dan menarik investasi dan penanaman modal di Indonesia,” tutur Pria Dharsana.

Ia menyebut isi dan hal yang dibahas dalam buku ini dinilai sangat aktual dan bisa menjadi satu referensi untuk dibaca siapa saja, dengan 12 materi pokok bahasan dalam tulisan ini yang terkait erat dengan masalah pertanahan. Diantaranya berisi materi Politik Hukum Pertanahan Terkini, Tanah dan Rakyat, Tanah dan Penanaman Modal, Penguasaan Orang atau Badan Hukum Asing Atas Tanah, Penguasaan Tanah oleh Para Pihak Penanaman Modal.

Selain itu ada materi Bank Tanah dalam Perspektif Pengaturan Penguasaan Tanah Yang Berkeadilan, Landreform Pengaturan Penguasaan Tanah Suatu Keniscayaan, Hak Pengelolaan (HPL) Atas Hak Ulayat antara Penguatan Penggerusan Hak, Mengkaji Hak atas Ruang Bawah Tanah sebagai Pengembang Hak Atas Tanah, dan mengidentifikasi Mafia Tanah dan membuka Kemungkinan Perseroan Terbatas Perorangan Berhak atas Tanah Berdasarkan UUPA.

"Kami berharap layanan pertanahan dan pengambil kebijakan dapat memegang prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik atau 'Good Government Governance' (GGG) yang menghendaki kepatuhan terhadap Undang-Undang serta peraturan pelaksana ditambah nilai-nilai yang baik dengan tata kelola  pemerintahan yang baik, akuntabel dan transparansi," harap Staf Pengajar pada Prodi Magister Kenotariatan FH Universitas Indonesia ini.

Menurutnya, melalui penerapan prinsip dimaksud kata Pria, dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha. Publik dalam hal ini tentunya dapat bermitra kepada pemerintah, baik sebagai  penanaman modal, kreditur maupun masyarakat umum. Bagi stakeholders, bidang pertanahan dan kemudahan berusaha dalam berinvestasi (penanaman modal), tata pemerintahan yang baik adalah satu hal yang mutlak untuk dijadikan sikap atau keputusan dalam masalah bidang pertanahan.

"Para penanaman modal akan merasa lebih aman dan nyaman karena lembaga pertanahan dijalankan dengan prinsip yang mengutamakan kepentingan semua pihak terutama tanah bagi rakyat. Bukan sebaliknya," jelas Pria Dharsana mengakhiri.(BB).